Jumat, 21 Agustus 2009

Republika Online - Muhammadiyah Diminta Benahi Data Organisasi

Republika Online - Muhammadiyah Diminta Benahi Data Organisasi: "Muhammadiyah Diminta Benahi Data Organisasi

MALANG--Memasuki abad kedua, organisasi massa (ormas) Islam terbesar kedua di Tanah Air, Muhammadiyah, didorong untuk segera melakukan pembenahan data organisasi. Selama ini, ormas yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 itu masih tertatih-tatih dalam mendata seluruh aset dan kader yang dimilikinya.

'Data jumlah anggota harus menjadi prioritas karena hal tersebut penting untuk dapat mengetahui kekuatan Muhammadiyah secara riil. Sehingga, tidak ada lagi klaim-klaim pimpinan cabang atau ranting yang mengaburkan kekuatan Muhammadiyah sesungguhnya,' ungkap Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Muhadjir Effendy, seperti dikutip dari Muhammadiyah Online."

Selasa, 18 Agustus 2009

Minggu, 02 Agustus 2009

Din: Pembodohan, Partai Islam yang Sok Pluralis

Selasa, 23/12/2008 18:14 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

(Foto: Dok. detikcom)
Jakarta - Pemilu 2009 sudah di depan mata. Manuver partai politik pun banyak semakin banyak macamnya.

Partai-partai Islam misalnya, sebagian diantaranya mulai mencitrakan diri sebagai partai yang pluralis dan nasionalis. Akan tetapi menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, hal tersebut menunjukkan bahwa partai tersebut tidak memiliki jati diri.

"Kalau sudah tidak mau mutlak-mutlakan (Islam), berarti tidak punya identitas," tegas Din di sela-sela acara Refleksi Akhir Tahun Politik Keagamaan di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jl Menteng Raya, Jakarta Pusat, Selasa (23/12/2008).

"Kenapa mendirikan partai Islam? Kenapa mendirikan partai berbasis umat Islam?" tanya Din yang juga calon presiden dari Partai Matahari Bangsa tersebut.

"Kritik saya, mereka tidak menampilkan diri sebagai partai Islam. Sok pluralis tapi dasarnya Islam. Datang ke umat Islam kampanye dan jual kecapnya partai Islam. Ini pembodohan," sindirnya tajam.

Sebaliknya, Din memuji partai Islam yang konsisten mengusung identitas keislamannya. "Saya salut dengan beberapa partai Islam yang kadar jati dirinya Islam lalu ingin berbuat sesuatu," pujinya tanpa merinci nama partai yang dimaksud.

Pada kesempatan yang sama, Din juga mengkritik partai nasionalis yang dianggapnya tidak memiliki nasionalisme. "Saya tidak melihat nasionalisme dari kelompok yang menyebut diri mereka nasionalistik. Karena tidak punya jawaban terhadap masalah bangsa," imbuhnya.
(alf/gah)

Muktamar Muhammadiyah 1 Abad akan Digelar di Yogyakarta


Shohib Masykur - detikNews

(Foto: Dok. detikcom)
Jakarta - Muhammadiyah akan merayakan ulang tahunnya yang ke-100 tahun depan. Rencananya Muktamar Muhammadiyah 1 abad akan digelar di kota kelahirannya, Yogyakarta.

"Muktamar Muhammadiyah 1 abad akan diselenggarakan tahun 2010 di kota kelahirannya, yakni di Yogyakarta," ujar Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam rilis yang diterima detikcom, Minggu (18/1/2009).

Untuk menyongsong agenda besar tersebut, Din mengajak seluruh warga Muhammadiyah meningkatkan prestasi mereka. Din juga menegaskan, adalah sangat penting bagi Muhammadiyah untuk menjadi bagian dari solusi bagi persoalan yang dihadapi bangsa ini.

"Saya berharap, mulai saat ini Muhammadiyah harus bisa ikut menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Kita selama ini mungkin baru menjadi part of the problem, atau bagian dari masalah, dari sekian persoalan bangsa," ucapnya.

Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada 8 Dzulhijjah 1330, bertepatan dengan tanggal 18 November 1912, oleh seorang pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta bernama Muhammad Darwis. Tokoh ini di kemudian hari dikenal dengan sebutan KH Ahmad Dahlan. (sho/nrl)

Cabang Istimewa Aisyah Dibentuk Di Malaysia


Ramdhan Muhaimin - detikNews
Kuala Lumpur - Gerakan dakwah Muhammadiyah terus melebarkan sayapnya. Setelah Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) terbentuk, kini salah satu sayap ormas Islam terbesar kedua di Indonesia itu yakni 'Aisyiyah juga terbentuk di Kuala Lumpur.

"Menyadari pentingnya dukungan multi-dimensi dalam kekuatan pergerakan Muhammadiyah, dan betapa luasnya cakupan lahan dakwah, maka PCIM Kuala Lumpur memandang perlu untuk segera membentuk kepengurusan pergerakan 'Aisyiyah di Malaysia," ujar Ketua Umum PCIM Kuala Lumpur Prof Dr Akhyar Adnan dalam rilis yang diterima detikcom, Kamis (19/2/2009).

Akhyar mengatakan, warga Muhammadiyah di Kuala Lumpur merupakan mata rantai pergerakan dakwah bil-hal yang bertujuan mensinergikan potensi para wanita aktivis, anggota, dan simpatisan Muhammadiyah di Malaysia. Ditengah-tengah ribuan warga Muhammadiyah yang tersebar di negeri jiran ini, PCIA Malaysia diharapkan dapat meneruskan program kerja Muhammadiyah secara lebih efektif dan efisien terutama kepada komunitas wanita.

Pengurus Pengurus Pusat (PP) 'Aisyiyah Prof Dr Siti Chamamah Soeratno
mengatakan, 'Aisyiyah diminta dapat mengembangkan hubungan regional dan internasional yang selama ini telah dibina.

"PCIA Malaysia harus menjadi duta bagi PP dalam memainkan perannya ke depan," imbuh Chamamah.

Penasehat PCIM Malaysia yang juga Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kuala Lumpur, M Imran Hanafi menambahkan, PCIA harus mampu mengambil peran yang lebih intens dalam pembinaan dan pengayoman terhadap masyarakat Indonesia di Malaysia.

Dalam acara peresmian tersebut juga dihadiri dihadiri oleh jajaran PP 'Aisyiyah, pimpinan PCIM Kuala Lumpur dan perwakilan Muhammadiyah Singapura. PCIA Kuala Lumpur merupakan cabang 'Aisyiyah ketiga di luar negeri setelah di Mesir dan Belanda.
(rmd/ken)

Muhammadiyah Idul Fitri 20 September, Versi Kalender 21 September


Rachmadin Ismail - detikNews

Jakarta - Pengurus Pusat (PP) Muhammdiyah telah menetapkan awal puasa atau 1 Ramadan 1430 H jatuh Sabtu 22 Agustus 2009. Sedangkan Idul Fitri 20 September.

"Pimpinan Pusat Muhammadiyah Kamis (23/07/2009) melalui Maklumat Nomor : 06/MLM/I.0/E/2009 mengumumkan penetapan tanggal 1 Ramadan 1430 H bertepatan dengan hari Sabtu Pahing, tanggal 22 Agustus 2009," demikian isi pengumuman yang disampaikan lewat situs resmi Muhammadiyah.

Untuk hari Idul Fitri, Muhammadiyah sudah menetapkan jatuh pada tanggal 20 September 2009. Sedangkan 'Idul Adha (10 Dzulhijjah 1430 H) jatuh pada hari Jum’at, tanggal 27 November 2009.

Sementara itu versi kalender yang beredar saat ini, libur Idul Fitri jatuh pada 21-22 September. Jika pemerintah nantinya menetapkan Idul Fitri sesuai kalender, maka 1 Syawal akan ada 2 versi. (mad/nrl)

Di Balik Dapur Politik Syafii Maarif


DALAM sebuah kesempatan, Prof Ahmad Syafii Maarif, salah seorang sesepuh Muhammadiyah yang lebih akrab dipanggil Buya Syafii, pernah memaparkan alasannya secara panjang lebar tentang ”Mengapa Syafii mempromosikan JK dalam Pilpres 2009?” (25/7/09). Menarik mengkritisi terutama persinggungannya dengan Prof Amien Rais sebagai salah satu kontestan Pilpres 2004 lalu. Sejenak barangkali kita akan terkejut soal apa hubungannya Amien Rais dengan JK dalam benak buya.

Karenanya, tanggapan ini dimaksudkan sebagai bentuk kritik, pelurusan opini, dan berbagi fakta dalam wacana publik, terutama dalam rangka demi menjaga keutuhan bersama, khususnya maslahat warga besar Muhammadiyah sendiri.
Dalam pemaparannya, Buya Syafii membeberkan apa yang disebutnya ”rahasia” dapur politik pribadinya. Membaca pemaparannya, saya kira buya akan memfokuskan pembahasannya tentang (berbagai) alasannya mempromosikan JK. Tetapi sungguh di luar alur pembahasan itu, apa yang diutarakan Buya merembet ke mana-mana dan makin tidak jelas arahnya. Salah satunya ketika buya menyebut nama Amien Rais yang pernah didukungnya pada putaran pertama Pilpres 2004 ternyata kandas dan Buya merasa tak sedap dengannya.

Bercerita tentang Amien Rais dalam konteks itu sama sekali tidak ada relevansinya; tidak menambah bobot pernyataannya dan sebaliknya malah justru dapat merusak hubungan silaturahmi dan kebersamaan dalam keluarga besar persyarikatan (Muhammadiyah) sendiri.

Cara ”buka-bukaan” atau ”blak-blakan” yang dilakukan Buya Syafii bukan gaya khas orang Timur, tetapi lebih sebagai sekadar justifikasi terhadap apa yang disebutnya upaya memperjuangkan dan menyehatkan kultur demokrasi serta dongeng tentang latar belakang masalah yang diangkatnya.
Berbagi Tabu? Sulit untuk dimengerti seseorang yang banyak dikagumi karena kecerdasan dan keilmuannya yang mapan serta menjadi panutan umat selama ini, tetapi dalam satu hal mengambil langkah berisiko dengan membagi rahasia dapur politik pribadinya di tempat umum.

Mengapa masalah yang mengganjal dalam lipatan sejarah pribadi tersebut dibeberkan tanpa terlebih dahulu memikirkan ulang berbagai akibatnya? Bukankah kalau buya masih mencintai Muhammadiyah seharusnya dapat mengajak warganya untuk duduk bersama dan berbicara dari hati ke hati khususnya tentang rahasia dapur politik pribadinya itu.

Pembeberan masalah ini sebenarnya merupakan tindakan tabu. Tetapi itu bagi orang lain yang suka (dengan gaya politik) buka-bukaan. Apa yang disampaikan oleh buya dapat dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting, berharga, dan jantan.

Apa yang disampaikan, meskipun dianggapnya memang ada benarnya, tetapi sebaiknya dipikirkan ulang. Kalaupun perlu dijadikan wacana bersama, seyogyanya dapat dilakukan dengan cara-cara yang lebih santun dan sejuk. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Dia sudah mengobral masalah dalam negeri Muhammadiyah ke muka umum tanpa memikirkan ulang akibat-akibat yang akan ditimbulkannya di kemudian hari.
Fakta tentang Buya Tetapi kalau dalam kamus politiknya, Buya Syafii memang sengaja menerapkan demitologisasi politik tabu. Dalam konteks ini fakta tentang buya agaknya perlu juga untuk disingkapkan agar tersampaikan pesan-pesan keterbukaan (baca: buka-bukaan) yang fair dan dapat juga dimaknai sebagai wahana saling menyapa di muka umum atau sekadar wacana tanding. Sebagian kecil rahasia dapur politik pribadi saya sebagai seorang warga persyarikatan perlu disampaikan berkenaan dengan fakta tentang Buya Syafii.

Pertama, pada Pilpres 2004, Buya Syafii pernah mengatakan bahwa ”Muhammadiyah netral, boleh memilih siapa saja”. Tetapi dalam Pilpres Putaran II, Buya Syafii berkampanye untuk pasangan SBY-JK di Aceh. Semua keluarga Muhammadiyah di Aceh mengetahuinya dan menjadi saksinya. Kedua, salah satu statemen yang disukai Buya Syafii berbunyi, ”Muhammadiyah adalah tenda besar, tidak boleh berpolitik”.

Tetapi Buya sendiri malah menjadi pimpinan atau anggota Baitul Muslimin PDIP, sebuah lembaga politik yang dianggap sebagai sayap dakwahnya. Ketiga, pada Pilpres 2009, beliau terang-terangan mendukung pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win). Alasannya, karena ingin melihat Indonesia menjadi lebih baik.

Sekian tahun lalu, manuver gaya politik Buya Syafii seperti di atas mungkin masih dianggap layak. Tetapi sekarang, ketika masyarakat makin melek politik, mereka menjadi lebih mengetahui bahwa dengan gembar-gembor netral politik seperti itu menunjukkan bahwa sebenarnya Buya Syafii sedang bermain api politik. Dengan langkah politiknya, kasihan Muhammadiyah, juga kasihan buya.
Ontologi Dapur Membawa urusan dapur pribadi ke ranah publik pasti bukan tanpa maksud dan pesan. Barangkali Buya Syafii sudah mengukur risiko atau polemik yang bakal muncul. Karenanya, setiap orang berhak memberikan tafsirannya, terutama tentang apa saja yang membentuk opini buya tentang dapur pribadinya itu.

Melihat basis ontologis dapur pribadi Buya setidaknya tergambar kelesuan psikologis yang melatarbelakangi alur pikir. Pintu komunikasi internal Muhammadiyah macet karena benturan sayap liberal dan fundamentalis dalam tubuh persyarikatan ini. Buka-bukaan gaya Buya yang mengumbar perasaan tak sedap bukan bagian dari memperjuangkan kultur demokrasi, namun justru mendegradasi kualitas demokrasi kita menjadi sekadar curhat tanpa arah, seperti sebuah acara talkshow di televisi swasta.

Pendek kata, demokrasi yang menguat seharusnya dijaga oleh semua elemen sosial, termasuk buya sendiri sebagai seorang tokoh publik. Ada etika dalam ruang publik. Kultur demokrasi minus etika dapat melahirkan anarki, sesuatu yang tidak sadar telah diciptakannya sendiri. (80)

—Robby H Abror, SAg, MHum, pengajar filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta