Selasa, 27 Januari 2009

Din Minta Warga Muhammadiyah Pilih Caleg Bukan Karena Uang



E Mei Amelia R - detikPemilu




Jakarta - Sistem suara terbanyak dalam memilih caleg di pemilu legislatif dikritisi Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Alasannya para caleg akan berlomba mengimingi uang maupun materi kepada masyarakat. Dia pun meminta warga Muhammadiyah untuk mudah tidak tergoda.

"Agar warga Muhammadiyah memilih caleg bukan karena iming-iming uang, melainkan karena program-program yang ditawarkan," ujar Din, dalam siaran pers yang disampaikan PP Muhammadiyah, Senin (26/1/2009).

Lebih lanjut menurutnya, dengan suara terbanyak, para caleg justru bukan mengedepankan program atau visi misi partai. Dan ditakutkan hal ini akan membawa pada status demoralisasi.

"Para caleg akan berlomba meraih simpati rakyat bukan dengan adu program, melainkan dengan iming-iming materi dan uang. Jika ini terjadi, tentu ini sangat berbahaya bagi demokrasi. Maka sistem suara terbanyak hanya akan menimbulkan biaya kampanye yang mahal dan membawa masyarakat pada situasi demoralisasi," terang Din. ( ndr / anw )

Kamis, 01 Januari 2009

Buya Syafi’i Terima Magsaysay Award 2008

 

Manila, wahidinstitute.org
Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah dan Pendiri Maarif Institute, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif dianugerahi Magsaysay Award 2008 kategori Peace and International Understanding. Didampingi istri tercinta Nur Chalifah, acara penganugerahan berlangsung di Main Theather, Cultural Center of the Philippines, Manila, Sabtu (30/08/2008). 

Turut hadir pada acara penganugerahan ini beberapa tamu undangan dari Indonesia, antaranya Abdullah Kusumaningprang (Wakil Duta Besar RI di Manila), Charles F. Hutapea (Direktorat Diplomasi Publik Depu RI) dan Teten Masduki (Indonesian Corruption Watch-ICW).

Pria kelahiran Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935, ini dinilai punya komitmen dan kesungguhan tinggi membimbing umat Islam di Indonesia dan dunia untuk meyakini dan menerima toleransi dan pluralisme sebagai basis untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan berkeadilan.

Dalam sambutan singkatnya di hadapan Presiden dan Board of Trustee Ramon Magsaysay Award Foundation (RMAF) serta sekitar 2000 tamu undangan, Buya Syafii mengatakan, Magsaysay Award yang diterimanya ini terlalu besar baginya. Doktor dari Universitas Chicago, Amerika Serikat (1982) ini merasa apa yang dilakukannya belum banyak, belum signifikan, dan belum memberikan arti besar.

Buya Syafii menilai, penghargaan ini tidak ditujukan untuk dirinya semata. Banyak pihak lintas-agama, kultur, dan etnik yang juga membantunya mengembangkan penghargaan atas pluralisme dan toleransi. Sikapnya untuk terus mengembangkan hubungan antarmasyarakat lintas-iman diyakini didukung sebagian besar umat Islam di Indonesia.

“Untungnya, usaha saya bersama para tokoh lintas-agama untuk mempromosikan pluralisme, toleransi dan inklusivisme mendapat apresiasi dan dukungan dari arus besar masyarakat Indonesia,” jujurnya.

Bagi Guru Besar Filsafat Sejarah UNY ini, tidak hanya orang beriman (believers) yang berhak hidup di muka bumi, tapi juga orang yang tidak beriman (unbelievers) bahkan ateis sekalipun. Syaratnya, semuanya sepakat untuk hidup berdampingan dengan saling menghargai dan menghormati secara damai. “Saya sadar perdamaian mempunyai banyak halangan dan tantangan, tapi tanpa perdamaian hidup menjadi tidak relevan dan tidak bermakna,” ungkapnya

Ramon Magsaysay Award Foundation (RMAF) sendiri merupakan lembaga internasional yang didirikan pada April 1957 di Manila, dan sejak 1958 memberi penghargaan pada individu dan lembaga di Asia tanpa memandang suku, jenis kelamin, kewarganegaraan dan agama. Selain Peace and International Understanding, lima kategori penghargaan lain yang diberikan adalah Government Service, Public Service, Community Leadership, Journalism, Literature, and Creative Communication Arts, dan Emergent Leadership.

Putra Indonesia lainnya yang pernah menerima Magsaysay Award adalah Mochtar Lubis (1958), HB Jassin (1987), dan Pramudya Ananta Toer (1995) untuk bidang Journalism, Literature, and Creative Communication Arts, Abdurrahman Wahid untuk Community Leadership (1993), dan Dita Indah Sari untuk kategori Emergent Leadership (2001).

Profile
Achmad Syafii Maarif dilahirkan pada 31 Mei 1935 di desa udik di Sumpurkudus, Sumatra Barat, sebuah daerah yang sumber penghasilannya perdagangan serba kecil dan tani. Bungsu empat bersaudara pasangan Ma'rifah Rauf dan Fathiyah ini, waktu kecilnya mempunyai hobi menjala, memancing ikan dan menembak dengan ‘bedil’ angin. Dia juga aktif berolah raga jogging, badminton serta tenis meja. Sekarang yang tersisa hanya jogging dan badminton

Sebelum meraih doctor di Chicago, Syafii kecil memulai pendidikannya di sekolah rakyat negeri. Namun ia tidak memiliki ijazah, karena masih zaman revolusi. Ia juga sekolah di Madrasah Muallimin Lintau, Sumatra Barat sampai kelas tiga. Sebelum ke Lintau, ia nganggur tiga tahun karena revolusi. Ia lantas belajar di Muallimin Yogjakarta hingga tamat.

Selulus di Yogyakarta, ia diditugaskan ke Lombok Timur sebagai pengajar sekolah Muhammadiyah selama setahun. Lalu pindah ke Jawa memulai belajar di FKIP Cokroaminoto Solo hingga sarjana muda pada usianya yang ke-29 tahun. Di kampus inilah ia aktif di HMI Cabang Solo dan menjadi Ketua Bidang Pendidikan HMI Cabang Solo periode 1963-1964. Pada 1968 ia menyelesaikan sarjananya di FKIP Yogyakarta. Kemudian ia meninggalkan Indonesia untuk belajar sejarah pada Program Master di Universitas Ohio, AS.

Ia juga mendalami pemikiran Islam di Universitas Chicago, Illinois. Di sanalah ia meraih gelar doktor pada 1982 dengan disertasi Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.

Syafii juga pernah menjadi dosen Pascasarjana IAIN (kini UIN) Yogyakarta. Sebelumnya, tokoh yang juga pernah aktif di GPII dan pemuda Muhammadiyah ini terpilih menjadi Ketua PP Muhammadiyah pada 1999-2004, menggantikan Amien Rais yang memilih serius di PAN.

Suami Nur Chalifat dan ayah satu putra ini rajin berseminar dan menulis, termasuk di berbagai media massa. Sebagian besar karangannya mengenai Islam. Bukunya antara lain berjudul Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak? Keduanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Ada juga judulnya Islam dan Masalah Kenegaraan yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985.[]

Bangun Kebersamaan untuk Atasi Masalah Kebangsaan

Jakarta, Kompas - Kondisi krisis keuangan yang melanda dunia perlu dihadapi dengan membangun kebersamaan umat Islam. Selain itu, pemerintah dan segenap kekuatan nasional diimbau benar-benar memerhatikan nasib rakyat dan mengeluarkan mereka dari berbagai kesulitan hidup yang diakibatkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, sulitnya mencari pekerjaan, dan semakin kerasnya perjuangan hidup sehari-hari.

”Karena itu, para elite dan kelompok masyarakat yang berkecukupan diimbau keteladanannya untuk mewujudkan pola hidup sederhana dan mau berbagi serta memerhatikan nasib kelompok masyarakat yang berkekurangan. Jauhkan sikap hidup mewah, boros, dan berlebihan yang dapat merusak solidaritas dan ketahanan bangsa,” demikian pernyataan bersama 13 pimpinan ormas Islam yang dibacakan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Masykuri Abdillah di Jakarta, Selasa (30/12), seusai pertemuan silaturahim di Gedung Pusat Dakwah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Jakarta.

Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, krisis yang melanda bangsa ini telah menimbulkan banyak tekanan, yang bisa mengganggu kebersamaan elemen bangsa. Itu sebabnya bangsa ini perlu membangun ikhtiar politik untuk mengatasi krisis global.

Secara terpisah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Umar Shihab dalam evaluasi akhir tahun MUI Pusat juga menegaskan, krisis global yang ada saat ini telah membawa dampak sangat besar dan buruk terhadap perekonomian Indonesia. MUI mengimbau pemerintah dan dunia usaha untuk tidak lagi memercayai dan mempergunakan sistem ekonomi liberal. (MAM)