Jumat, 21 Agustus 2009

Republika Online - Muhammadiyah Diminta Benahi Data Organisasi

Republika Online - Muhammadiyah Diminta Benahi Data Organisasi: "Muhammadiyah Diminta Benahi Data Organisasi

MALANG--Memasuki abad kedua, organisasi massa (ormas) Islam terbesar kedua di Tanah Air, Muhammadiyah, didorong untuk segera melakukan pembenahan data organisasi. Selama ini, ormas yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 itu masih tertatih-tatih dalam mendata seluruh aset dan kader yang dimilikinya.

'Data jumlah anggota harus menjadi prioritas karena hal tersebut penting untuk dapat mengetahui kekuatan Muhammadiyah secara riil. Sehingga, tidak ada lagi klaim-klaim pimpinan cabang atau ranting yang mengaburkan kekuatan Muhammadiyah sesungguhnya,' ungkap Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Muhadjir Effendy, seperti dikutip dari Muhammadiyah Online."

Selasa, 18 Agustus 2009

Minggu, 02 Agustus 2009

Din: Pembodohan, Partai Islam yang Sok Pluralis

Selasa, 23/12/2008 18:14 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

(Foto: Dok. detikcom)
Jakarta - Pemilu 2009 sudah di depan mata. Manuver partai politik pun banyak semakin banyak macamnya.

Partai-partai Islam misalnya, sebagian diantaranya mulai mencitrakan diri sebagai partai yang pluralis dan nasionalis. Akan tetapi menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, hal tersebut menunjukkan bahwa partai tersebut tidak memiliki jati diri.

"Kalau sudah tidak mau mutlak-mutlakan (Islam), berarti tidak punya identitas," tegas Din di sela-sela acara Refleksi Akhir Tahun Politik Keagamaan di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jl Menteng Raya, Jakarta Pusat, Selasa (23/12/2008).

"Kenapa mendirikan partai Islam? Kenapa mendirikan partai berbasis umat Islam?" tanya Din yang juga calon presiden dari Partai Matahari Bangsa tersebut.

"Kritik saya, mereka tidak menampilkan diri sebagai partai Islam. Sok pluralis tapi dasarnya Islam. Datang ke umat Islam kampanye dan jual kecapnya partai Islam. Ini pembodohan," sindirnya tajam.

Sebaliknya, Din memuji partai Islam yang konsisten mengusung identitas keislamannya. "Saya salut dengan beberapa partai Islam yang kadar jati dirinya Islam lalu ingin berbuat sesuatu," pujinya tanpa merinci nama partai yang dimaksud.

Pada kesempatan yang sama, Din juga mengkritik partai nasionalis yang dianggapnya tidak memiliki nasionalisme. "Saya tidak melihat nasionalisme dari kelompok yang menyebut diri mereka nasionalistik. Karena tidak punya jawaban terhadap masalah bangsa," imbuhnya.
(alf/gah)

Muktamar Muhammadiyah 1 Abad akan Digelar di Yogyakarta


Shohib Masykur - detikNews

(Foto: Dok. detikcom)
Jakarta - Muhammadiyah akan merayakan ulang tahunnya yang ke-100 tahun depan. Rencananya Muktamar Muhammadiyah 1 abad akan digelar di kota kelahirannya, Yogyakarta.

"Muktamar Muhammadiyah 1 abad akan diselenggarakan tahun 2010 di kota kelahirannya, yakni di Yogyakarta," ujar Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam rilis yang diterima detikcom, Minggu (18/1/2009).

Untuk menyongsong agenda besar tersebut, Din mengajak seluruh warga Muhammadiyah meningkatkan prestasi mereka. Din juga menegaskan, adalah sangat penting bagi Muhammadiyah untuk menjadi bagian dari solusi bagi persoalan yang dihadapi bangsa ini.

"Saya berharap, mulai saat ini Muhammadiyah harus bisa ikut menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Kita selama ini mungkin baru menjadi part of the problem, atau bagian dari masalah, dari sekian persoalan bangsa," ucapnya.

Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada 8 Dzulhijjah 1330, bertepatan dengan tanggal 18 November 1912, oleh seorang pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta bernama Muhammad Darwis. Tokoh ini di kemudian hari dikenal dengan sebutan KH Ahmad Dahlan. (sho/nrl)

Cabang Istimewa Aisyah Dibentuk Di Malaysia


Ramdhan Muhaimin - detikNews
Kuala Lumpur - Gerakan dakwah Muhammadiyah terus melebarkan sayapnya. Setelah Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) terbentuk, kini salah satu sayap ormas Islam terbesar kedua di Indonesia itu yakni 'Aisyiyah juga terbentuk di Kuala Lumpur.

"Menyadari pentingnya dukungan multi-dimensi dalam kekuatan pergerakan Muhammadiyah, dan betapa luasnya cakupan lahan dakwah, maka PCIM Kuala Lumpur memandang perlu untuk segera membentuk kepengurusan pergerakan 'Aisyiyah di Malaysia," ujar Ketua Umum PCIM Kuala Lumpur Prof Dr Akhyar Adnan dalam rilis yang diterima detikcom, Kamis (19/2/2009).

Akhyar mengatakan, warga Muhammadiyah di Kuala Lumpur merupakan mata rantai pergerakan dakwah bil-hal yang bertujuan mensinergikan potensi para wanita aktivis, anggota, dan simpatisan Muhammadiyah di Malaysia. Ditengah-tengah ribuan warga Muhammadiyah yang tersebar di negeri jiran ini, PCIA Malaysia diharapkan dapat meneruskan program kerja Muhammadiyah secara lebih efektif dan efisien terutama kepada komunitas wanita.

Pengurus Pengurus Pusat (PP) 'Aisyiyah Prof Dr Siti Chamamah Soeratno
mengatakan, 'Aisyiyah diminta dapat mengembangkan hubungan regional dan internasional yang selama ini telah dibina.

"PCIA Malaysia harus menjadi duta bagi PP dalam memainkan perannya ke depan," imbuh Chamamah.

Penasehat PCIM Malaysia yang juga Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kuala Lumpur, M Imran Hanafi menambahkan, PCIA harus mampu mengambil peran yang lebih intens dalam pembinaan dan pengayoman terhadap masyarakat Indonesia di Malaysia.

Dalam acara peresmian tersebut juga dihadiri dihadiri oleh jajaran PP 'Aisyiyah, pimpinan PCIM Kuala Lumpur dan perwakilan Muhammadiyah Singapura. PCIA Kuala Lumpur merupakan cabang 'Aisyiyah ketiga di luar negeri setelah di Mesir dan Belanda.
(rmd/ken)

Muhammadiyah Idul Fitri 20 September, Versi Kalender 21 September


Rachmadin Ismail - detikNews

Jakarta - Pengurus Pusat (PP) Muhammdiyah telah menetapkan awal puasa atau 1 Ramadan 1430 H jatuh Sabtu 22 Agustus 2009. Sedangkan Idul Fitri 20 September.

"Pimpinan Pusat Muhammadiyah Kamis (23/07/2009) melalui Maklumat Nomor : 06/MLM/I.0/E/2009 mengumumkan penetapan tanggal 1 Ramadan 1430 H bertepatan dengan hari Sabtu Pahing, tanggal 22 Agustus 2009," demikian isi pengumuman yang disampaikan lewat situs resmi Muhammadiyah.

Untuk hari Idul Fitri, Muhammadiyah sudah menetapkan jatuh pada tanggal 20 September 2009. Sedangkan 'Idul Adha (10 Dzulhijjah 1430 H) jatuh pada hari Jum’at, tanggal 27 November 2009.

Sementara itu versi kalender yang beredar saat ini, libur Idul Fitri jatuh pada 21-22 September. Jika pemerintah nantinya menetapkan Idul Fitri sesuai kalender, maka 1 Syawal akan ada 2 versi. (mad/nrl)

Di Balik Dapur Politik Syafii Maarif


DALAM sebuah kesempatan, Prof Ahmad Syafii Maarif, salah seorang sesepuh Muhammadiyah yang lebih akrab dipanggil Buya Syafii, pernah memaparkan alasannya secara panjang lebar tentang ”Mengapa Syafii mempromosikan JK dalam Pilpres 2009?” (25/7/09). Menarik mengkritisi terutama persinggungannya dengan Prof Amien Rais sebagai salah satu kontestan Pilpres 2004 lalu. Sejenak barangkali kita akan terkejut soal apa hubungannya Amien Rais dengan JK dalam benak buya.

Karenanya, tanggapan ini dimaksudkan sebagai bentuk kritik, pelurusan opini, dan berbagi fakta dalam wacana publik, terutama dalam rangka demi menjaga keutuhan bersama, khususnya maslahat warga besar Muhammadiyah sendiri.
Dalam pemaparannya, Buya Syafii membeberkan apa yang disebutnya ”rahasia” dapur politik pribadinya. Membaca pemaparannya, saya kira buya akan memfokuskan pembahasannya tentang (berbagai) alasannya mempromosikan JK. Tetapi sungguh di luar alur pembahasan itu, apa yang diutarakan Buya merembet ke mana-mana dan makin tidak jelas arahnya. Salah satunya ketika buya menyebut nama Amien Rais yang pernah didukungnya pada putaran pertama Pilpres 2004 ternyata kandas dan Buya merasa tak sedap dengannya.

Bercerita tentang Amien Rais dalam konteks itu sama sekali tidak ada relevansinya; tidak menambah bobot pernyataannya dan sebaliknya malah justru dapat merusak hubungan silaturahmi dan kebersamaan dalam keluarga besar persyarikatan (Muhammadiyah) sendiri.

Cara ”buka-bukaan” atau ”blak-blakan” yang dilakukan Buya Syafii bukan gaya khas orang Timur, tetapi lebih sebagai sekadar justifikasi terhadap apa yang disebutnya upaya memperjuangkan dan menyehatkan kultur demokrasi serta dongeng tentang latar belakang masalah yang diangkatnya.
Berbagi Tabu? Sulit untuk dimengerti seseorang yang banyak dikagumi karena kecerdasan dan keilmuannya yang mapan serta menjadi panutan umat selama ini, tetapi dalam satu hal mengambil langkah berisiko dengan membagi rahasia dapur politik pribadinya di tempat umum.

Mengapa masalah yang mengganjal dalam lipatan sejarah pribadi tersebut dibeberkan tanpa terlebih dahulu memikirkan ulang berbagai akibatnya? Bukankah kalau buya masih mencintai Muhammadiyah seharusnya dapat mengajak warganya untuk duduk bersama dan berbicara dari hati ke hati khususnya tentang rahasia dapur politik pribadinya itu.

Pembeberan masalah ini sebenarnya merupakan tindakan tabu. Tetapi itu bagi orang lain yang suka (dengan gaya politik) buka-bukaan. Apa yang disampaikan oleh buya dapat dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting, berharga, dan jantan.

Apa yang disampaikan, meskipun dianggapnya memang ada benarnya, tetapi sebaiknya dipikirkan ulang. Kalaupun perlu dijadikan wacana bersama, seyogyanya dapat dilakukan dengan cara-cara yang lebih santun dan sejuk. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Dia sudah mengobral masalah dalam negeri Muhammadiyah ke muka umum tanpa memikirkan ulang akibat-akibat yang akan ditimbulkannya di kemudian hari.
Fakta tentang Buya Tetapi kalau dalam kamus politiknya, Buya Syafii memang sengaja menerapkan demitologisasi politik tabu. Dalam konteks ini fakta tentang buya agaknya perlu juga untuk disingkapkan agar tersampaikan pesan-pesan keterbukaan (baca: buka-bukaan) yang fair dan dapat juga dimaknai sebagai wahana saling menyapa di muka umum atau sekadar wacana tanding. Sebagian kecil rahasia dapur politik pribadi saya sebagai seorang warga persyarikatan perlu disampaikan berkenaan dengan fakta tentang Buya Syafii.

Pertama, pada Pilpres 2004, Buya Syafii pernah mengatakan bahwa ”Muhammadiyah netral, boleh memilih siapa saja”. Tetapi dalam Pilpres Putaran II, Buya Syafii berkampanye untuk pasangan SBY-JK di Aceh. Semua keluarga Muhammadiyah di Aceh mengetahuinya dan menjadi saksinya. Kedua, salah satu statemen yang disukai Buya Syafii berbunyi, ”Muhammadiyah adalah tenda besar, tidak boleh berpolitik”.

Tetapi Buya sendiri malah menjadi pimpinan atau anggota Baitul Muslimin PDIP, sebuah lembaga politik yang dianggap sebagai sayap dakwahnya. Ketiga, pada Pilpres 2009, beliau terang-terangan mendukung pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win). Alasannya, karena ingin melihat Indonesia menjadi lebih baik.

Sekian tahun lalu, manuver gaya politik Buya Syafii seperti di atas mungkin masih dianggap layak. Tetapi sekarang, ketika masyarakat makin melek politik, mereka menjadi lebih mengetahui bahwa dengan gembar-gembor netral politik seperti itu menunjukkan bahwa sebenarnya Buya Syafii sedang bermain api politik. Dengan langkah politiknya, kasihan Muhammadiyah, juga kasihan buya.
Ontologi Dapur Membawa urusan dapur pribadi ke ranah publik pasti bukan tanpa maksud dan pesan. Barangkali Buya Syafii sudah mengukur risiko atau polemik yang bakal muncul. Karenanya, setiap orang berhak memberikan tafsirannya, terutama tentang apa saja yang membentuk opini buya tentang dapur pribadinya itu.

Melihat basis ontologis dapur pribadi Buya setidaknya tergambar kelesuan psikologis yang melatarbelakangi alur pikir. Pintu komunikasi internal Muhammadiyah macet karena benturan sayap liberal dan fundamentalis dalam tubuh persyarikatan ini. Buka-bukaan gaya Buya yang mengumbar perasaan tak sedap bukan bagian dari memperjuangkan kultur demokrasi, namun justru mendegradasi kualitas demokrasi kita menjadi sekadar curhat tanpa arah, seperti sebuah acara talkshow di televisi swasta.

Pendek kata, demokrasi yang menguat seharusnya dijaga oleh semua elemen sosial, termasuk buya sendiri sebagai seorang tokoh publik. Ada etika dalam ruang publik. Kultur demokrasi minus etika dapat melahirkan anarki, sesuatu yang tidak sadar telah diciptakannya sendiri. (80)

—Robby H Abror, SAg, MHum, pengajar filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Senin, 27 Juli 2009

Muhammadiyah Minta MK Bekerja Profesional


Senin, 27 Juli 2009 | 03:06 WIB

Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi diminta bekerja dengan profesional, berintegritas, jujur, dan bertanggung jawab dalam menangani perkara sengketa hasil Pemilihan Umum Presiden 2009. Dengan demikian, MK diharapkan akan menghasilkan putusan yang obyektif untuk menentukan hasil akhir pemilu presiden.

Permintaan itu disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam jumpa pers di Jakarta, Sabtu (25/7). Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir juga hadir dalam jumpa pers itu.

Meski demikian, Din menegaskan, ia tidak terlibat dengan rencana pasangan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto yang akan mendaftarkan gugatan hasil Pilpres 2009 ke Mahkamah Konstitusi (MK). ”Saat masuk wilayah hukum, kami tidak terlibat. Apalagi kami bukan peserta pilpres,” kata Din.

Pada 5 Juli 2009, pasangan Megawati-Prabowo dan Kalla-Wiranto bertemu di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta. Pertemuan yang membahas persoalan daftar pemilih tetap Pilpres 2009 itu difasilitasi Din Syamsuddin.

Dalam jumpa pers kemarin, Din mengucapkan selamat kepada pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang untuk sementara telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pasangan yang memperoleh suara terbanyak. Din juga mengucapkan selamat kepada dua pasangan calon presiden-wakil presiden lainnya yang telah menghadapi hasil pilpres dengan sikap kenegarawanan.

”Sejak awal, PP Muhammadiyah mendorong pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat. Maka dari itu, kami mendukung agar masalah daftar pemilih tetap cepat diselesaikan,” ujarnya.

Selanjutnya, Din juga mengharapkan semua pihak mendukung proses konstitusional dan hukum melalui MK. Setelah ada putusan definitif tentang pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, harus diterima dengan ikhlas.

Perihal ketidakhadiran Megawati-Prabowo dalam penyampaian hasil pilpres di KPU dan penolakan Kalla-Wiranto terhadap hasil rekapitulasi penghitungan suara pilpres, menurut Din, tidak perlu dilihat sebagai suatu kesalahan. Pasalnya, undang-undang memang tidak mengharuskan demikian. (idr)

Kamis, 16 Juli 2009

Struktur Keilmuan Pesantren: Studi Komparatif antara Pesantren Tebuireng Jombang dan Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta

PENDAHULUAN

Epistemologi dapat diartikan sebagai salah satu cabang filsafat yang mengkaji tentang sumber, susunan, metode-metode dan validitas pengetahuan.[1] Epistemologi sebagai cabang filsafat ini merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang dan menemukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial dan alam sekitarnya. Sedang struktur keilmuan merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis. Evaluasi yang dimaksud, adalah sesuatu yang bersifat menilai terhadap suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat dan teori pengetahuan yang dibenarkan atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolak ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Sedangkan, kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran baik cara ataupun hasil kegiatan manusia mengetahui.[2]

Epistemologi juga dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pngetahuan.[3] Berdasarkan pengertian tersebut, epistemologi dapat dijadikan dua kategori, yaitu: epistemologi klasik dan epistemologi kontemporer. Epistemologi klasik adalah epistemologi yang menekankan aspek sumber dari ilmu pengetahuan. Sedangkan, epistemologi kontemporer adalah epistemologi yang menekankan pembahasan pada bagaimana proses, prosedur dan metodologi digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan.[4]

Dengan dua pengertian tersebut epistemologi telah memberikan andil dan perspektif dalam pendidikan, yang berkenaan dengan peletakan dasar pemikiran mengenai kurikulum dan dasar-dasar keilmuan serta metodologi pembelajarannya. Karenanya, epistemologi dapat dimasukkan ke dalam wilayah analisis mengenai jaringan nalar keilmuan pada berbagai lembaga-lembaga pendidikan, termasuk dunia pendidikan Islam. Dengan demikian, apabila epistemologi dikaitkan dengan masalah pendidikan, maka epistemologi akan bersentuhan dengan masalah kurikulum, terutama dalam hal penyusunan dasar-dasar epistemologi kurikulum.[5] Dalam struktur ini termasuk juga epistemologi buku-buku teks yang digunakan, metode pengajaran dan segala proses keilmuan terdapat dalam lembaga pendidikan.

Dalam konteks ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai watak utama, yaitu sebagai lembaga pendidikan yang memiliki ciri-ciri khas. Karena, pesantren memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi keilmuan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, seperti madrasah atau sekolah.[6] Salah satu ciri utama pesantren sebagai pembeda dengan lembaga pendidikan lain, adalah pengajaran kitab kuning, kitab-kitab Islam klasik yang ditulis dalam bahasa Arab baik yang ditulis oleh para tokoh muslim Arab maupun para pemikir muslim Indonesia.[7]

Dengan demikian, selama ini ranah epistemologi atau struktur keilmuan[8] Islam pesantren bisa dikatakan belum mendapatkan perhatian khusus dari para ilmuan muslim. Yang ada hanya sebatas keterkaitan antara struktur keilmuan dengan kurikulum atau kitab kuning atau hanya sekedar menyebutkan dan mengungkapkan isinya secara global, tidak sampai pada struktur nalar keilmuan kitab kuning yang paling fundamental. Dalam konteks ini, penelitian ini dibangun dengan mengambil sampel pesantren Tebuireng Jombang dan Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.

*****

Atas pemikiran di atas, masalah penelitian ini difokuskan pada tiga masalah. Pertama, bagaimana dasar-dasar filosofis-teologis penyeleksian kitab-kitab diajarkan pada kedua pesantren itu? Kedua, bagaimana pemetaan struktur keilmuan dalam nalar bayâni, ‘irfâni dan burhâni pada kedua pesantren tersebut? Ketiga, bagaimana hubungan metodologis antara nalar materi dan metode pengajaran pada kedua pesantren tersebut? Untuk itu, penelitian ini menggunakan kerangka teoretik strukturalisme, yang dalam hal ini pemetaan nalar keilmuan bayâni, ‘irfâni dan burhâni yang telah digagas oleh al-Jabiri dianggap representatif untuk membongkar struktur keilmuan yang ada di pesantren. Penelitian ini ditujukan untuk mencari hubungan antara materi dan corak nalar dan metode pengajaran pada kedua pesantren tersebut.

Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian literatur (library research) dan penelitian lapangan (field research). Untuk mengumpulkan literatur, peneliti menggunakan metode dokumentasi. Sementara itu, untuk mengumpulkan data di lapangan peneliti menggunkan metode observasi, wawancara dan diskusi. Selanjutnya, peneliti menganalisis literatur/data dengan metode komparatif untuk mengungkap lebih dalam persamaan dan perbedaan struktur nalar kedua pesantren tersebut dan keterkaitan nalar keilmuan dengan metodologi pengajarannya.

Fenomena Kitab Kuning
Pesantren Tebuireng dan Mu’allimin Muhammdiyah

Kitab kuning sebagai kurikulum pesantren ditempatkan pada posisi istimewa. Karena, keberadaannya menjadi unsur utama dan sekaligus ciri pembeda antara pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya. Pada pesantren di Jawa dan Madura, penyebaran keilmuan, jenis kitab dan sistem pengajaran kitab kuning memiliki kesamaan, yaitu sorogan dan bandongan. Kesamaan-kesamaan ini menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultur dan praktik-praktik keagamaan di kalangan santri.[9]

Secara keseluruhan kitab kuning yang diajarkan dalam pesantren dapat dikelompokkan dalam delapan bidang kajian, yaitu: nahwu dan sharaf, fiqh, ushul fiqh, tasawuf dan etika, tafsir, hadits, tauhid, tarîkh dan balaghah. Teks kitab-kitab ini ada yang sangat pendek, ada juga yang berjilid-jilid. Pengelompokan kitab kuning ini dapat digolongkan dalam tiga tingkat, yaitu: kitab tingkat dasar, kitab tingkat menengah dan kitab tingkat atas.

Selain itu, berdasarkan periode pengarang (mushanif) sebelum atau sesudah abad ke-19 M, kitab kuning dapat dikelompokkan menjadi dua: Pertama, al-Kutub al-Qadîmah, kitab klasik salaf. Semua kitab ini merupakan produk ulama pada sebelum abad ke-19 M. Ciri-ciri umumnya adalah: 1] Bahasa pengantar seutuhnya bahasa klasik, terdiri atas sastra liris (nadzam) atau prosa liris (natsar). 2] Tidak mencantumkan tanda baca, seperti koma, titik, tanda seru, tanda tanya dan sebagainya. 3] Tidak mengenal pembabakan alinea atau paragraf. Sebagai penggantinya adalah jenjang uraian seringkali disusun dengan kata kitâbun, bâbun, fashlun, raf’un, tanbîh dan tatimmatun. 4] Isi kandungan kitab banyak berbentuk duplikasi dari karya ilmiah ulama sebelumnya. Kitab sumber diperlukan sebagai matan, yang dikembangkan menjadi resume (mukhtashar atau khulâshah), syarah, taqrîrat, ta’liqât dan sebagainya. 5] Khusus kitab salaf yang beredar di lingkungan pesantren si pengarang harus tegas berafiliasi dengan madzhab sunni, terutama madzhab arba’ah. Sedangkan, kitab salaf yang pengarangnya tidak berafiliasi dengan madzhab sunni hanya dimiliki terbatas oleh kyai sebagai studi banding.

Kedua, al-Kutub al-‘Ashriyyah. Kitab-kitab ini merupakan produk ilmiah pada pasca abad ke-19 M. Ciri-cirinya, adalah: 1] Bahasanya diremajakan atau berbahasa populer dan diperkaya dengan idiom-idiom keilmuan dari disiplin non-syar’i. Pada umumnya karangannya berbentuk prosa bebas. 2] Teknik penulisan dilengkapi dengan tanda baca yang sangat membantu pemahaman. 3] Sistematika dan pendekatan analisisnya terasa sekali dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan umum pada zamannya. 4] Isi karangan merupakan hasil studi literer yang merujuk pada banyak buku dan seringkali tidak ada keterikatan dengan paham madzhab tertentu.[10]

Pada pesantren Tebuireng kitab yang diajarkan meliputi sebelas bidang kajian: al-Qur’an, tafsir, hadits, ilmu hadits, bahasa Arab, tauhid/aqidah, akhlak, tasawuf dan mantiq. Kitab-kitab kuning yang digunakan berdasarkan pola tingkatan. Pada tingkat dasar kitab yang digunakan masih bersifat elementer dan relatif mudah dipahami. Misalnya, ‘Aqîdah al-‘Awwâm (tauhid), Safînah al-Najâh (fiqh), Washâya al-Abnâ’ (akhlak) dan Hidâyah al-Shahibyân (tajwid). Pada tingkat menengah kitab yang digunakan, yaitu: Matan Taqrîb, Fath al-Qarîb dan Minhâj al-Qawîm (fiqh), Jawâhir al-Kalâmiyyah dan al-Dîn al-Islâmî (tauhid), Ta’lîm al-Muta’allim (akhlak), ‘Imrithi dan Nahwu al-Wâdhih (nahwu), al-Amtsilah al-Tashrîfiyyah, Matan al-Binâ’ dan Kaelani (sharaf) serta Tuhfah al-Athfâl, Hidâyah al-Mustafid, Musyid al-Wildân dan Syifâ al-Rahmân (tajwid).

Pada tingkat atas kitab yang digunakan, yaitu: Jalâlayn (tafsir), Mukhtâr al-Hadîts, al-Arba’în Nawâwi, Bulûgh al-Marâm dan Jawâhir al-Bukhâri (hadits), Minhâj al-Mughîts (musthalah hadits), Tuhfah al-Murîd, Husûn al-Hamîdiyyah, ‘Aqîdah Islâmiyyah dan Kifâyah al-‘Awwâm (tauhid), Kifâyah al-Akhyâr dan Fath al-Mu’în (fiqh), Waraqat al-Sulâm (ushul fiqh), Alfiyyah Ibnu Mâlik, Mutammimah, ‘Imrithi, Syabrawi dan al-‘Ilal (nahwu dan sharaf) serta Minhâj al-‘Âbidîn dan Irsyâd al-‘Ibâd (tasawuf/akhlak). Yang paling menarik, pada pesantren ini kitab al-Munawwarah digunakan sebagai pelajaran mantîq (logika formal), yang berisi logika Aristoteles dan lainya.[11]

Pada Mu’allimin Muhammadiyah kitab yang diajarkan hanya meliputi sembilan bidang kajian: Al-Qur’an, hadits, ilmu tafsir, ilmu hadits, bahasa Arab, aqidah, akhlak, fiqh dan ushul fiqh.[12] Kitab-kitab kuning yang digunakan, antara lain: Tafsîr Qurtubî, Tafsîr Ibnu Katsîr, Tafsîr Jalâlayn, Musnad Ahmad, Mushannaf ‘Abd al-Razaq, Majma’ al-Zawâ’id karya Haitsami dan al-Mu’jam al-Kabîr karya Ibnu Katsir.[13] Dalam kurikulum bahasa Arab, kitab-kitab kuning yang digunakan adalah al-Jurûmiyyah dan al-Mutammimah. Al-Qur’an dan hadits hanya digunakan sebagai muthâla’ah.[14]

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kajian keilmuan Islam, kitab kuning khususnya, di Pesantren Tebuireng lebih luas cakupannya daripada di Mu’allimin Muhammadiyah. Adalah suatu ironi, adanya pelajaran mantîq pada Pesantren Tebuireng, akan tetapi pada Mu’allimin Muhammadiyah pelajaran mantîq tidak diajarkan, padahal Muhammadiyah terkenal dengan rasionalitasnya, yang nota bene KH. Ahmad Dahlan adalah seorang penggemar mantîq. Diakui juga bahwa semenjak berdirinya hingga saat ini, pesantren Tebuireng senantiasa menggunakan kitab kuning sebagai materi pelajaran dalam kurikulum.

Pertimbangan Teologis-Epistemologis: Penyeleksian Kitab

Pengajaran kitab-kitab kuning pada pesantren Tebuireng tampak sulit diprediksi kapan selesai diajarkan kepada para santrinya. Karena, isi kitab-kitab itu sangat banyak, tebal, beratus-ratus, meski ada pula yang tipis. Misalnya, kitab Mutammimah (nahwu) yang tipis, diajarkan pada Madrasah Aliyah kelas I hingga kelas 2.[15] Berdasarkan pertimbangan teologis-epistemologis fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari prinsip pesantren Tebuireng yang memiliki kaitan dengan ideologi Nahdlatul Ulama (NU). Ideologi NU yang mempunyai tradisi, bahwa materi ‘aqîdah, syarî’ah dan ilmu bersambung dengan ulama-ulama klasik, khususnya lingkaran madzhab Syafi’i. Oleh karena itu, kitab-kitab kuning yang diajarkan merupakan upaya menyambung tradisi Islam klasik, yang dianggap mata rantainya sampai Rasullullah SAW.

Sedangkan, pada Mu’allimin Muhammadiyah secara epistemologis keilmuan Islam diberikan kepada para santri bukan merupakan transfer ilmu-ilmu klasik yang tertulis dalam kitab-kitab kuning, akan tetapi mengajarkan kitab berarti menyampaikan isi yang terkandung dalam kitab. Pemikiran ini banyak mempengaruhi para intelektual untuk menyusun materi keilmuan Islam. Oleh karena itu, materi pelajaran tersusun dalam bentuk muqarrar. Bentuk ini lebih mudah dan praktis bagi santri dalam mempelajari keilmuan Islam secara ketat dan diprediksi dapat diselesaikan dalam satu cawu.[16]

Secara teologis pengajaran keilmuan Islam didasarkan pada doktrin Muhammadiyah yang menjargonkan al-Rujû’ ilâ al-Qur’ân wa al-Hadîts al-Maqbûlah. Di samping, doktrin dalam Muqarrar al-‘Aqîdah bertendensi membasmi bid’ah, khurafat dan takhayul. Dengan demikian, tak mengherankan pertimbangan penyeleksian kitab-kitab yang digunakan, didasarkan pada semangat untuk mencetak kader dan mubâligh yang mumpuni dalam ‘aqîdah dan sekaligus dapat membawa misi Muhammadiyah dalam berdakwah amar ma’ruf nahi munkar.

Struktur Nalar Kitab-kitab Pesantren

Kitab-kitab yang diajarkan di Pesantren Tebuireng dan Mu’allimin Muhammadiyah, apabila menggunakan klasifikasi keilmuan Hassan Hanafi, dapat dikelompokkan menjadi keilmuan naqlî dan keilmuan naqli-’aqlî. Keilmuan naqlî termasuk keilmuan kebahasaan, sedangkan keilmuan naqli-’aqlî termasuk keilmuan keagamaan. Oleh karena itu, produk keilmuan yang diajarkan pada kedua pesantren hanya pada dataran menggunakan kadar penalaran interpretatif, elaboratif dan justifikatif. Dengan kata lain, proses penalaran diarahkan pada pemaknaan teks, penguraian makna dan penegasan ulang makna teks.

Meskipun sama-sama bercirikan penalaran tekstual, perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada pola penalaran tekstual yang dirujuk. Jika pada pesantren Tebuireng lebih mengembangkan pola penalaran tekstual madzhabi, maka Mu’allimin Muhammadiyah lebih mengembangkan pola penalaran tekstual non-mandzhabi. Yang dimaksud madzhabi adalah pola penalaran yang diikat oleh produk pemikiran ulama tertentu sebagai sebuah aliran. Karenanya, bukan berarti kitab-kitab yang diajarkan pada pesantren Mu’allimin Muhammadiyah sama sekali menafikan pemikiran ulama terdahulu, melainkan pemikiran ulama terdahulu (salaf) hanya sekedar dirujuk untuk mendasari pemahaman terhadap makna al-Qur’an dan al-Hadits.[17] Pesantren Tebuireng memiliki struktur keilmuan yang madzhabi, sehingga variasi pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits yang dikembangkan juga tetap dalam koridor madzhab.[18]

Struktur nalar kitab-kitab kedua pesantren mengakui otoritas sebagai salah satu sumber pengetahuan atau kebenaran. Otoritas yang dimaksud adalah pendapat ulama atau ahli (expert) yang dinilai otoritatif dalam kaitannya dengan pemahaman maksud al-Qur’an dan al-Hadits. Pun demikian, terdapat perbedaan antara keduanya. Pesantren Mu’allimin cenderung menjadikan otoritas sebagai rujukan konfirmatif bagi pemaknaan dan pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits.[19] Sedangkan, pesantren Tebuireng cenderung memposisikan otoritas sebagai kerangka pemahaman dan rujukan otoritatif (referential authority) terhadap al-Qur’an dan al-Hadits. Bahkan, seringkali tidak diungkap secara eksplisit pijakan al-Qur’an atau al-Haditsnya, seperti dalam kitab-kitab syarh yang diajarkan di pesantren Tebuireng.[20] Dengan demikian, kitab-kitab yang diajarkan di pesantren Mu’allimin tampak mengikuti tradisi keilmuan Modern dan masa Klasik, sedangkan pada pesantren Tebuireng tampak mengikuti tradisi keilmuan abad Pertengahan dan sedikit merujuk pada masa Klasik, dengan kitab-kitab kuningnya.[21]

Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa struktur keilmuan pesantren Mu’allimin didominasi oleh nalar “bayâni-burhâni.” Ideologi utama Muhammadiyah, yaitu purifikasi (pemurnian) dan dinamisasi (kembali ke al-Qur’an dan al-Hadits serta tajdîd). Ideologi ini merupakan misi dan visi yang diemban oleh pesantren Mu’allimin Muhammadiyah. Karena itu, implikasi epistemologis dari determinasi purifikasi menjadikan struktur keilmuan pesantren Mu’allimin Muhammadiyah cenderung bayâni. Dengan kata lain, keteguhan memegangi preskripsi teks normatif telah memunculkan pola penalaran istidlâli atau istinbâthi. Pola penalaran ini selalu mempresentasikan secara sirkuler analisis tekstual, yang bertolak dari dan bermuara pada teks. Oleh karena itu, cepat berkembang penilaian bid’ah dan khurafat terhadap pemikiran inovatif dalam lingkup aqidah dan fiqh. Sebagai konsekuensi dari tipologi rasionalitas tersebut, logika dan filsafat tidak diajarkan pada pesantren ini. Yang diajarkan adalah rasionalitas bayâni yang bernalar burhâni. Rasionalitas semacam ini tidak akan memposisikan rasio pada posisi independen-otonom dalam relasinya dengan teks wahyu. Karena, rasio difungsikan sebagai pendamping wahyu agar tidak terjadi distorsi pemahaman dan penafsiran. Rasio sekadar berfungsi sebagai instrumental metodologis bagi penalaran teks.

Sedangkan, pesantren Tebuireng didominasi oleh nalar “bayâni-‘irfâni.” Pada pesantren Tebuireng, akar historis tradisi keilmuan ala al-Ghazali[22] yang lebih mendapatkan apresiasi di dunia pesantren menjadi faktor penentu dominannya struktur nalar bayâni-‘irfâni dalam matra intelektual keagamaan pesantren Tebuireng. Dunia pesantren seperti ini memiliki dimensi metafisis, spiritual-keagamaan para santri.[23] Corak nalar ini memungkinkan lestarinya kepemimpinan kharismatik kyai. Hanya saja, seiring dengan derap modernisasi, pesantren pelan-pelan mengalami pergeseran dan perubahan. Dengan demikian, pembentukan tata nilai ditentukan oleh hukum fiqh dan adat kebiasaan kaum sufi sebagaimana diungkap oleh Abdurrahman Wahid.[24] Tentunya, implikasi metodologis keilmuan ini adalah dominasi model pemikiran deduktif-dogmatis agama dibanding model pemikiran induktif-rasional faktual[25]

Hubungan Metodologis
Nalar Materi dan Metode Pengajaran

Dalam dunia pesantren Tebuireng, metode pengajaran materi keagamaan Islam dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1] Metode sorogan. Metode ini digunakan untuk mengajarkan materi dalam kitab-kitab kuning. Dalam praktiknya, santri membaca kitab secara bergantian, kemudian kalau terjadi kekeliruan kyai atau ustâdz membetulkannya. 2] Metode bandongan atau weton. Metode ini digunakan oleh kyai atau ustâdz untuk menerangkan arti kitab-kitab kuning kepada santrinya dengan cara kyai atau ustâdz membaca kitab. Dalam praktiknya, santri hanya mencatat apa yang diterangkan kyai atau ustâdz. 3] Metode ceramah. Metode ini biasanya digunakan untuk menjelaskan materi di dalam lingkungan madrasah atau sekolah. Dalam praktiknya, materi disampaikan secara lisan oleh seorang guru atau ustâdz kepada murid atau santrinya dan terkadang ada tanya jawab antara guru dan murid. 4] Metode diskusi. Metode ini biasanya digunakan dalam kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan ilmiah untuk memahami kitab-kitab kuning. misalnya, kitab Fath al-Qarîb dan Kifâyah al-Akhyâr.[26]

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kitab-kitab kuning yang diajarkan pada pesantren Tebuireng cenderung bernalar bayâni dan ‘irfâni, yang disampaikan dengan menggunakan metode pengajaran yang bercorak bayâni. Misalnya, materi tasawuf. Lain dengan materi mantiq, yang materinya bercorak burhâni, namun diajarkan secara bayâni. Oleh karena itu, adalah keliru apabila ada anggapan bahwa setiap materi bernalar bayâni diajarkan secara bayâni atau materi bernalar ‘irfâni diajarkan secara ‘irfâni atau materi bernalar burhâni diajarkan secara burhâni. Yang terjadi di pesantren Tebuireng, adalah baik materi bernalar bayâni, ‘irfâni maupun burhâni tetap diajarkan secara bayâni.

Dalam dunia pesantren Mu’allimin Muhammadiyah, umumnya metode pengajaran yang digunakan adalah metode ceramah. Kecuali, pada bidang bahasa Arab dan bahasa Inggris, metode pengajaran yang digunakan adalah metode langsung (al-tharîqah al-mubâsyirah) dan metode kompetensi atau aktivitas.[27] Metode langsung digunakan untuk mengajarkan materi bahasa Arab di mana dalam praktiknya ustâdz meneriakkan langsung kosa kata-kosa kata bahasa Arab dan kemudian santrinya langsung menirukannya. Metode ini cenderung bernalar ‘irfâni. Sementara itu, metode kompetensi tersebut digunakan untuk mengajarkan bahasa Inggris, yang praktisnya santri dituntut aktif-kreatif mendemonstrasikan kemampuan-kemampuan berbahasanya baik secara lisan maupun tulis dan kemudian ustâdz hanya sekadar memberikan instruksi. Metode ini merupakan sebuah metode lompatan dari nalar ‘irfâni ke nalar burhâni. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa materi keislaman berada dalam dominasi nalar bayâni yang diajarkan secara metodologis menggunakan nalar bayâni juga. Kecuali, materi bahasa Arab yang bayâni, diajarkan dengan ‘irfani dan berkembang ke arah burhâni.

PENUTUP

Berdasarkan pada uraian-uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa baik pada pesantren Tebuireng maupun Mu’allimin Muhammadiyah kerangka keilmuannya didominasi oleh nalar bayâni, naqlî dan tekstual. Meski demikian, kerangka epistemologinya atau struktur fundamental keilmuannya tidak sama, karena masing-masing pesantren ini tidak bisa dilepaskan dari pemikiran ideologis keagamaan masing-masing organisasi. Selanjutnya, struktur kelimuan itu berimplikasi terhadap bangunan nalar materi atau kurikulum yang ada di kedua pesantren dan juga terhadap nalar metode pengajarannya.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa NU secara ideologis ingin mempertahankan pemahaman Islam yang berakar dari tradisi pemikiran di kalangan Syafi’iyah, atau pengikut madzhab empat, walaupun dalam praktiknya, banyak bersandar pada madzhab Syafi’i yang diyakininya bersambung pada sahabat dan selanjutnya berujung ke Rasulullah. Dalam kerangka pemikiran epistemologinya menjadi bertumpu pada kitab-kitab klasik di lingkungan Syafi’iyah, meskipun ada yang sedikit merujuk langsung pada nash, qiyâs, dan al-aqâ’id al-ushûliyyah. Karenanya, dalam praktik pendidikan, pada pesantren Tebuireng, materinya menjadi bertumpu pula pada kitab-kitab klasik di kalangan Syafi’iyah. Dengan kata lain, masih didominasi oleh kuasa salaf, dan ini adalah bagian dari sistem pemikiran bayâni.

Sementara itu, Muhammadiyah secara ideologis ingin memahami Islam secara puritan-rasional, langsung merujuk pada sumbernya yang utama, al-Qur’an dan al-Hadits, kemudian penalaran rasional, ijmâ’ dan qiyâs. Kerangka pemikiran ini berimplikasi pada kurikulum atau materi-materi yang diajarkan pada Mu’allimin Muhammadiyah, yaitu dengan menyusun materi sendiri yang penuh dengan taburan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits dengan sedikit dibumbuhi pemikiran rasional. Demikian juga, materinya diprogram sedemikian rupa sehingga sejalan dengan keinginan Muhammadiyah dalam mencetak kader-kadernya yang mempuni dalam agama dan kemuhammadiyahan. Kerangka berpikir ini juga didominasi oleh sistem berpikir ala bayâni.

Kaitan antara nalar materi dengan nalar metode pengajaran, dapat dipahami bahwa materi Islam pada Mu’allimin Muhammadiyah berada dalam dominasi nalar bayâni yang diajarkan secara metodologis menggunakan nalar bayâni pula. Karena, metode ceramah masih mendominasi dalam proses belajar mengajarnya, kecuali materi bahasa Arab yang bercorak bayâni namun diajarkan secara ‘irfâni. Belakangan ini dikembangkan ke arah nalar metode burhâni. Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada pesantren Tebuireng. Pada pesantren Tebuireng struktur keilmuannya adalah bayâni, ‘irfâni dan burhâni diajarkan dengan metode bernalar bayâni, atau dengan pemulaan burhâni tapi pada ujungnya bermuara pada bayâni lagi.

Dengan demikian, ada sebuah refleksi yang perlu diperhatikan dalam penelitian. Karena, wilayah penelitian itu masih sangat terbatas, yaitu pada struktur keilmuan pesantren dengan hasilnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Tentunya, ini bisa dijadikan prediksi untuk menatap masa depan keilmuan Islam di Indonesia dan dunia pesantren khususnya. Apakah kita umat Islam, NU dan Muhammadiyah khususnya, masih menginginkan model epistemologis pendidikan seperti yang ada ini, atau ingin mengadakan perubahan yang lebih dinamis-futuristis-rasional?

Kalau jawaban dari pertanyaan reflektif ini menjadi harapan kita, maka perlu diadakan penelitian-penelitian lanjutan untuk mencari model epistemologi pendidikan Islam lainnya, dengan sampel yang lain. Atau, kita mencari sampel di luar wilayah Indonesia yang memungkinkan untuk ditemukan struktur keilmuan Islam yang lebih rasional-futuristik seiring dengan derasnya arus Iptek yang berbasis pada nalar rasional.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’ân al-Karîm

Abdullah, M. Amin, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000.

­____________, “Epistemologi Pendidikan Islam: Mempertegas Arah Pendidikan Nilai dalam Visi dan Misi Pendidikan Islam dalam Era Pluralitas Budaya dan Agama,” dalam Makalah pada Seminar dan Lokakarya Ilmu Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 21 Pebruari 2000.

al-Abrasyi, Muhammad ‘Atiyah, Al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Dar a-Fikr al-Arabi, Kairo, t.t.

Abus, Abdul Gani, Fî al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Dar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1977.

Ali, H. B. Hamdani, Filsafat Pendidikan, Kota Kembang, Yogyakarta, 1993.

Anshori, Endang Saifuddin, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya, Pustaka Salman ITB, Bandung, 1983.

Arifin, M., Filsafat Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta, 1994.

Arkoun, Mohammed, Târîkhiyyat al-Fikri al-‘Arabî al-Islâmî, Markaz al-Inma’ al-Qaumi, Beirut, 1986.

Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989.

Al-Attas, Muhammad al-Naquib (Ed.), Aims and Objectives of Islamic Education, King Abdul Aziz University, Jeddah, 1979.

_________, Konsep Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999.

_________, Jaringan Ulama Timur Timur dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1994.

Banardib, Imam, Filsafat Pendidikan Islam: Sistem dan Metode, Andi Offset, Yogyakarta, 1994.

_________, Filsafat Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan, Andi Offset, Yogyakarta, 1986.

_________, Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1996.

_________ dan Sutari, Beberapa Aspek Substansial Ilmu Pendidikan, Andi Offset, Yogyakarta, 1986.

Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1995.

Brameld, Theodore, Philosophies on Education in Cultural Perspective, Holt, Rinehart and Winston, New York ,1955.

Brubacher, John S., Modern Philosophies of Education, Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd., New Delhi, 1978.

Bruinessen, Martin van, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru, LKiS, Yogyakarta, 1994.

_________, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995.

Burr, John R., and Guldinger Milton, Philosophy and Contemporey Issues, Upper Saddle River, New Jersey, 1995.

Butler, J.D., Four Philosophies and Their Practice in Education dan Religion, Harper and Brothers, New York, 1951.

Cottingham, John, (ed.), Western Philosophy: An Anthology, Blackwell Publishers Ltd., Oxford, 1996.

Dahlan, Dikdik L. Dkk., Pondok Pesantren Darul Arqam: Potret Sekolah Kader Ulama Muhammadiyah, PB IKADAM, Bandung, 1996.

Daradjat, Zakiyah dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Ditjen Binbaga Islam, Depag RI dan Bumi Aksara, Jakarta, 1991.

Dar, Bahir Ahmad, Etika Qur’an, terj. Yusuf Sobirin, Pustaka Litera antar Nusa, Jakarta, 1993.

Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996.

Departemen Agama RI, Pesantren: Profil Kyai, Pesantren dan Madrasah, Badan Litbang Agma, Jakarta, 1981.

_________, Direktori Pondok Pesantren, Direktorat Jenderal Pembinaan Klembagaan Agama, Jakarta, 2000.

Dhofier, Zakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pendangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1982.

Fakhruddin, A.R., Muhammadiyah Abad XV Hijriyah, 70 Langkah ke Depan, Harapan Melati, Jakarta, 1985.

_________, Mubaligh Muhammadiyah, Harapan Melati, Jakarta, 1985.

Grunber, Frederich C., Historical and Contempory Philosophies of Education, Thomas Y. Crowell Company, New York, 1973.

Hanafi, Hassan, Dirâsat Falsafiyyat, Maktabah al-Anjilo al-Mishriyah, Kairo, 1987.

_________, Dirâsat Islâmiyyah, al-Anjilo al-Mishriyah, Kairo, 1987.

Haniefah, Abu, Upaya Mencari Cara yang Tepat: Bagaimana Menghadapi Santri di Darul Arqam, PP. Darul Arqam Muhammadiyah Daerah Garut, Garut, 1987.

Harun, Luqman, Muhammadiyah dan Asas Pancasila, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1986.

Haryono, Abu Syam, Pendidikan Nahdlatul Ulama: Untuk Mengenal dan Menghayati Perjuangan Nahdlatul Ulama, 3 Jilid, Cahaya Ilmu, Surabaya, 1981.

al-Jabiri, Muhammad Abed., Al-Turâts wa al-Hadâtsah: Dirâsah wa Munâqasyah, Al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, Beirut, 1991.

_________, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyas, Beirut, 1991.

_________, Bunyah al-‘Aql al-Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyah li Nuzhûm al-Ma’rifah fî al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah, Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 1992.

_________, Nahnu wa al-Turâts: Qirâ’ah Mu’âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafi, Al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, Casablanca, 1986.

al-Jamali, Muhammad Fadil, Tarbyiyah al-Insân al-Jadîdi, Al-Syirkah al-Tunisiyah li al-Tauzi, Tunis, 1967.

_________, Nahnu al-Tarbiyyah al-Mukîminah, Al-Syirkah al-Tunisiyah li al-Tauzi, Tunis, 1977.

Jalal, Abdul Fattah, Azas-azas Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Ali, Diponegoro, Bandung, 1988.

al-Jumbulati, Ali, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. M. Arifin, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.

al-Kailani, Majid Irsan, Falsafatu al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Maktabah al-Hadi, Mekah, 1988.

_________, Tathawwuru Mafhûmi al-Nadhariyyah al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Maktabah Dar al-Turats, Madinah, 1987.

Karim, M. Rusli, Dinamika Islam di Indonesia: Suatu Tinjauan Sosial dan Politik, Hanindita, Yogyakarta, 1985.

Kneller, George F., Movements of Thought in Modern Education, John Wiley & Sons Inc., New York, 1984.

Knight, George R., Issues and Alternatives in Educational Philososphy, Andrews University Press, Michigan, 1982.

Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1980.

_________, Manusia dan Pendidikan, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1989.

Ma’arif, A. Syafi’i, Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, Pustaka Cidesindo, Jakarta, 2000.

Machfoedz, Maksoem, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, Yayasan Kesatuan Timmah, Surabaya, t.t.

Madjid, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, 1994.

_________, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Mizan, Bandung, 1998.

Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, “Menyemai Tunas Harapan Umat,” Booklet.

_________, Buletin Jumpa Pula, Yogyakarta, 1981.

Manzur, Ibnu, Lisân al-‘Arab, Dar al-Mishriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, Mesir, 1960.

Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1980.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.

Masyhuri, H.A. Aziz, NU dari Masa ke Masa, NP, Jombang, 1983.

al-Maududi, Abu A’la, Towards Understanding Islam, WAMY, Pakistan, 1976.

Meyer, Adolph E., The Development of Education in The Twentieth Century, Englewood Cliffs, N.J. Princes Hall Inc., Tokyo, 1949

Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1996.

_________, Ilmu Pengetahuan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori Pendidikan, Edisi IV, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1993.

Mulkan, Abdul Munir, Warisan Intelektual KH. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah, Percetakan Persatuan, Yogyakarta, 1990.

Munir, Abdul dan Ahmad Arwani Bauis, Pokok-pokok Ajaran NU dan Masa Depan Umat, Ramadhani, Solo, 1989.

Mursi, Muhammad Munir, Al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Maktabah al-Nahdah al-Mishriyah, Kairo, 1975.

al-Nadwi, Abu al-Hasan, Nahwa al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah al-Hurrah, al-Mukhtar al-Islami, Kairo, 1974.

al-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, terj. Shihabuddin, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.

Nasr, Sayyed Hossein, Islamic Studies: Essays on Law and Society: The Sciences and Philosophy and Sufism, Librairie Du Liban, Beirut, 1967.

__________, Science and Civilization in Islam, New American Library, New York, 1970.

Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Penerbit UI, Jakarta, 1982.

Oepen, Manfred dan Wolfgang Karcher (eds.), The Impact of Pesantren in Education and Community Development in Indoensia, P3M, Jakarta, 1988.

Phasa, Musthafa Kamal dan Darban Adaby, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis, LIPPI, Yogyakarta, 2000.

Pengurus Pusat Muhammadiyah, Anggaran Dasar Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta, 1990.

­­­­­­­­­__________, Sistem Perkaderan Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta, 1990.

__________, Petunjuk Pelaksanaan Program Pendidikan Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta, 1990.

__________, Keputusan No. 30/PP/1989, Qaidah Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta: 1989.

Poedjawijatna, I.R., Pembimbing Ke arah Alam Filsafat, Bina Aksara, Jakarta, 1986.

Price, Kingsly, Education and Philosophical Thought, Allyn and Bacon Inc., Boston, 1962.

Prasodjo, Sudjoko dkk., Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, LP3ES, Jakarta, 1982.

Quick, Robert Herbert, Essays on Educational Reformers, Littlefield, Adam & CO., New Jersey, 1970.

Rahardjo, M. Dawam, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, P3M, New Jersey, 1985.

_________ (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1974.

Salam, Solichin, KH. Hasyim Asy’ari: Ulama Besar Indoensia, Djaja Murni, Jakarta, 1963.

Smith, Samuel, Ideas of the Great Educators, Barnes and Noble Books, New York, 1979.

Soekardi, Heru, Kyai Haji Hasyim Asy’ari, Depdikbud, Jakarta, 1980.

Suriasmantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

Sudarminta, J., Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2002.

al-Syaibani, Omar Muhammad al-Toumy, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.

Syam, Muhammad Noer, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1984.

Team PDP, Tebuireng dari Masa ke Masa, PP. Tebuireng, Jombang, t.t.

Wahid, Abdurrahman, Bunga Rampai Pesantren, Dharma Bakti, Jakarta, 1995.

_________, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, LKiS, Yogyakarta, 2001.

Weber, Christian O., Basic Philosophies of Education, Holt Rinehart and Winston, New York, 1970.

Wirjosukarto, Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran oleh Pergerakan Muhammadiyah, UP Ken Mutia, New York, 1966.

_________ (ed.), KH. Mas Mansur: Pemikiran tentang Islam dan Muhammadiyah, Hanindita, Yogyakarta, 1986.

_________, Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah dalam Pembangunan Semesta, UP Ken Mutia, Malang, 1965.

Yacub, H.M., Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, Angkasa, Bandung, 1985.

Yusuf, Slamet Efendi, Mohammad Ichwan Syam dan Masdar Farid Mas’ud, Dinamika Kaum Santri: Menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU, Rajawali, Jakarta, 1983.

Zaid, Nars Hamid Abu, Naqd al-Khitâb al-Dîn, Sina li al-Nasyr, Kairo, 1994.

_________, Al-Tafkîr fî Zamân al-Tafkîr, Sina li al-Nasyr, Kairo, 1994.

_________, Isykâliyyat al-Qirâ’at wa Âliyyât al-Ta’wîl, Al-Markaz al-Tsaqafi al-Arab, Beirut, 1994.

_________, Al-Ittijâh al-‘Aqli fî al-Tafsîr: Dirâsat fî Qadliyyat al-Majâz fî al-Qur’ân inda al-Mu’tazilah, Al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, Beirut, 1996.

al-Zurnuji, Syeikh, Ta’lîm al-Muta’allim, Al-Maktabah al-Mishriyah, Mesir, 1940.

Zemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1986.

Zuhri, Saifuddin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1979.

Majalah:

Muhammadiyah, Edisi 1 Januari 1922.

Muhammadiyah, Edisi 2 Januari 1976.

Muhammadiyah, Edisi 24 Januari 1931.

Muhammadiyah, Edisi 31 Januari 1931.

Muhammadiyah, Edisi 15 Agustus 1980.

Muhammadiyah, Edisi 18 September 1985.

Muhammadiyah, Edisi 22-23 Desember 1985.

Muhammadiyah, Edisi 16 Agustus 1996.

Muhammadiyah, Edisi 12 Juni 2000.

Muhammadiyah, Edisi 15 Agustus 2000.

Muhammadiyah, Edisi 16 Agustus 2000.

———————————————————————–
Endnotes:

[1] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (terj.) Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm. 76; lihat juga Harold H. Titus dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, (terj.) H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 20.

[2] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 18-19.

[3] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 114.

[4] Amin Abdullah, “Epistemologi Pendidikan Islam: Mempertegas Arah Pendidikan Nilai dalam Visi dan Misi Pendidikan Islam dalam Era Pluralitas Budaya dan Agama,” dalam Makalah pada Seminar dan Lokakarya Ilmu Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 21 Pebruari 2000, hlm. 1.

[5] Imam Banardib, Filsafat Pendidikan Islam: Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), hlm. 21.

[6] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 157.

[7] Pengertian kitab kuning seperti ini sengaja penulis melakukan mengingat realitas di pesantren, bahwa kitab-kitab yang diajarakan di pesantren itu meliputi karya-karya pemikir muslim Indonesia, seperti karya Syekh Nawawi Banten.

[8] Dalam penelitian ini pengertian epistemologi tersebut dijadikan pijakan dasar. Karena itu, peneliti mengasumsikan epistemologi sebagai struktur keilmuan.

[9] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 51.

[10] Team BPS Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, 1992, hlm. 17.

[11] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 173.

[12] Wawancara dengan Drs. Setiadi, Pembantu Direktur I Bidang Akademik, Tanggal 7 Mei 2002.

[13] Departemen Agama RI, Direktori Pondok Pesantren, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), hlm. 306.

[14] Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Laporan Direktur kepada PP Muhammadiyah, Yogyakarta: 1986, hlm. 5.

[15] Kurikulum Takhashshush Madrasah Aliyah Tebuireng Tahun Pelajaran 2001-2002.

[16] Wawancara dengan Drs. Setiadi, Pembantu Direktur I Bidang Akademik, Tanggal 7 Mei 2002.

[17] Misalnya, pendapat Imam Syafi’i dikutip dengan disertai landasan al-Hadits, dalam Muqarraru al-Fiqh, Jilid IV, Kelas IV, hlm. 23.

[18] Misalnya, dalam Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’în bi Syarhi Qurrati al-‘Ayn, (Semarang: Usaha Keluarga, t.t.), hlm. 25.

[19] Lihat Muqarrar al-Tafsîr, Jilid V, hlm. 45-46.

[20] Lihat Zainuddin al-Malibari, op.cit., hlm. 33-34; juga Syeikh al-Zurnuji, Ta’lîm al-Muta’allim, (Mesir: Al-Maktabah al-Mishriyah, 1940), hlm. 23.

[21] Martin van Bruissen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 30.

[22] Lihat karya-karya al-Ghazali yang digunakan pada pesantren Tebuireng, misalnya Bidâyat al-Hidâyah, Minhâj al-‘Âbidîn dan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn.

[23] Benedict Anderson, “Bahasa Politik Indoensia,” dalam Yudi Latif (ed.), Bahasa dan Kekuasaan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 128.

[24] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 19.

[25] Mastuhu, op.cit., hlm. 69.

[26] Wawancara dengan salah satu Pengurus Forum Diskusi Salaf, tanggal 3 Oktober 2002.

[27] Wawancara dengan Ta’mir Masjid, Ustadz Pengajar Bahasa Arab, Tanggal 24 November 2002.

Ringkasan Laporan Hasil Penelitian Tahun 2002
Ketua Peneliti: Sembodo Ari Widodo, M. Ag.
Anggota Peneliti: Mahmud Arif, M. Ag., dan Ahmad Warid, M.Ag.
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor & Peringkas: Masykur Afuy

http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-01.asp

Jumat, 03 Juli 2009

Bangsa Ini Butuh Revitalisasi

Jakarta, Kompas - Bangsa ini membutuhkan revitalisasi di bidang ekonomi, politik, sosial budaya, serta pembangunan karakter dalam lima tahun ke depan. Revitalisasi dibutuhkan untuk menghindari stagnasi berkepanjangan yang membuat bangsa ini kehilangan peluang positif untuk maju.

Demikian salah satu pokok pemikiran yang disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sewaktu berkunjung ke Redaksi Kompas, Kamis (2/7). Din didampingi oleh H Haedar Nashir, H Sudibyo Markus, Rizal Sukma, Fadhil Hasan, H Zainuri, dan H Anwar Abbas. Hadir Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama yang didampingi Pemimpin Redaksi Rikard Bagun dan jajaran redaksi.

Pokok-pokok pikiran PP Muhammadiyah itu dirangkum dalam buku berjudul Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa: Agenda Indonesia ke Depan.

Menurut Din Syamsuddin dan Haedar Nashir, dalam lima tahun ke depan, kehidupan politik Indonesia memerlukan pemantapan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan presidensial, pemantapan efektivitas fungsi kelembagaan negara, serta rasionalisasi sistem kepartaian beserta penegakan etika politik.

Muhammadiyah, antara lain, mengusulkan penyederhanaan jumlah parpol karena hal itu menjadi kendala utama dalam menciptakan sistem presidensial yang kokoh. Sejarah Indonesia menunjukkan, jika tak ada kekuatan partai politik yang dominan, pemerintah akan melakukan kompromi-kompromi politik untuk mempertahankan kekuasaannya. Langkah itu dapat menghambat pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Sementara untuk revitalisasi ekonomi, Muhammadiyah menekankan pada penguatan sistem ekonomi yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Terkait dengan itu, undang-undang (UU) yang tidak sejalan dengan UUD 1945, seperti UU Minyak dan Gas, UU Kelistrikan, serta UU Mineral dan Batu Bara, harus direvisi.

Meskipun demikian, diakui bahwa agenda itu bakal sulit terwujud apabila tidak dibarengi sejumlah faktor strategis. ”Di antaranya perlunya kepemimpinan yang reformatif, yang mampu membawa bangsa ini pada perubahan, yang mampu melakukan transformasi,” kata Din. Namun, faktor itu tidak cukup, juga dibutuhkan good governance dan trust (kepercayaan).

Kepercayaan merupakan modal sosial, yang antara lain bisa menumbuhkan dukungan rakyat dan memungkinkan tumbuhnya segala hal yang positif di tubuh bangsa ini. (MYR)

Share on Facebook 

Minggu, 21 Juni 2009

Mahasiswa Muslim Thailand Belajar di UnivMuhammadiyah

SOLO - Sebanyak 16 mahasiswa muslim asal Thailand yang belajar di Universitas Muhammadiyah di Indonesia. Mereka masih belum masuk program pemerintah, demikian kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Prof. Bambang Sudibyo. "Untuk pendidikan mahasiswa asal Tahiland itu biayanya dari Muhammadiyah," katanya setelah acara penerimaan mahasiswa itu di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Minggu (21/6). "Karena pemerintah sampai sekarang belum pernah mengeluarkan beasiswa untuk mereka," ujarnya. Sebanyak enam dari 16 mahasiswa muslim asal Thailand itu belajar di UMS. Lalu tujuh mahasiswa lainnya belajar di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta, dua mahasiswa belajar di Universitas Muhammadiyah Ahmad Dahlan Yogyakrta, dan seorang mahasiswa belajar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Mendiknas mengatakan kepada para mahasiswa asal Thailand yang belajar di Indonesia, agar belajar Bahasa Indonesia. Itu sangat penting bila nanti mereka ingin melanjutkan pendidikan lagi. "Ya apabila mereka itu pandai berbahasa Indonesia, maka untuk melakukan studi lanjut akan lebih mudah dan hal itu akan sangat membantu," katanya. Dalam kesempatan itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Din Syamsudin mengatakan untuk program pemberian beasiswa kepada para pelajar asal Thailand itu ditargetkan 152 mahasiswa, namun untuk sementara terealisasikan 16 mahasiswa. "Muhammadiyah memberikan beasiswa untuk kuliahnya saja, sementara biaya hidup selama di Indonesia ditanggung oleh masing-masing mahasiswa itu sendiri," katanya. Sementara itu, Duta Besar Thailand untuk Indonesia Mirasid Amatayakul mengatakan, para mahasiswa asal negaranya yang belajar di Universitas Muhammadiyah itu tidak hanya belajar ilmu agama Islam, tetapi juga pengetahuan umum. "Pengalaman dan ilmu yang didapat dari belajar di Indonesia itu diharapkan kelak juga bisa bermanfaat di Thailand, karena itu kesempatan yang ada hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya," katanya. (ant/itz)

Din Syamsudin: Muhammadiyah Jangan Golput

SOLO - Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Din Syamsudin meminta umat Muhammadiyah tidak golput atau tidak memilih dalam Pemilu Presiden 2009. "Organisasi tidak akan mengarahkan umat untuk memilih salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, silahkan mereka sendiri-sendiri. Pilihlah di antara tiga itu yang terbaik," katanya di Solo, Minggu (21/6). Ia mengemukakan hal itu setelah penerimaan mahasiswa asal Thailand di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang dihadiri fungsionaris PP Muhammadiyah Prof. Bambang Sudibyo yang juga Mendiknas RI. "Pilihlah salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang bisa membawa perubahan bangsa ini lebih baik dan akomodatif terhadap Islam dan Muhammadiyah," kata Din. Menyinggung mengenai masalah kampanye dalam debat demokrasi calon presiden yang dilakukan KPU, ia menilai hasilnya belum bisa menggambarkan secara keseluruhan mengenai visi dan misi yang telah disampaikan. "Para calon presiden itu dalam melakukan debat demokrasi masih membalut diri sendiri dan belum membuka semua apa yang akan dilakukan itu dan semestinya harus bisa menggambarkan secara keseluruhan mengenai visi dan misi itu," katanya. Oleh karena itu, katanya, bila ada debat lagi semestinya para calon presiden yang tampil itu bisa melakukan lebih baik dan memberikan harapan kepada masyarakat untuk membawa kemajuan negeri ini. Dalam acara itu, sebanyak enam dari 16 mahasiswa asal Thailand itu belajar di UMS, sedangkan tujuh mahasiswa lainnya belajar di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta, dua mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Ahmad Dahlan Yogyakarta, dan seorang mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). (ant/itz)

Minggu, 14 Juni 2009

Pilpres, Muhammadiyah Tetap Independen

Jakarta, RMOL. Ketua Pengurus Daerah (PD) Muhammadiyah Tarakan Syamsi Sarman menegaskan, secara organisasi, Muhammadiyah tetap independen dan memberi penuh kebebasan bagi warganya untuk memilih calon presiden dan wakil presiden untuk lima tahun ke depan. 

“Secara organisasi kami tidak mengarah pada calon tertentu, tapi membebaskan warga untuk memilih. Kalau memang punya kedekatan hubungan emosional, kekerabatan, dan menganggap JK-Win sangat peduli dengan semua lapisan masyarakat, silakan memilih, kami tidak batasi. Namun pilihan itu hendaknya disesuaikan dengan pilihan hati yang cerdas dalam menangkap isyarat para calon bangsa,” kata Syamsi Sarman kepada Radar Tarakan, Sabtu (13/6). 

Beberapa waktu lalu, PD Muhammadiyah Tarakan menerima surat edaran yang datangnya langsung dari PP Muhammadiyah yang menyerukan untuk tidak membawa nama organisasi dalam mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

”Artinya kami ingin menghargai semua calon yang ada. Sehingga secara organisasi kami tetap independen,” ujarnya. 

Sebelumnya, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyerukan agar warga Muhammadiyah memilih pemimpin nasional yang memiliki sembilan sifat. 

Diantaranya mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan lain, berkarakter kuat dan memegang prinsip kesesuaian kata dan tindakan, serta bervisi jelas dalam menyelamatkan kekayaan alam Indonesia. [hta]

Kamis, 11 Juni 2009

Din Beri Tausiyah Dukungan Moral untuk JK-Win


Din Beri Tausiyah Dukungan Moral untuk JK-Win

JAKARTA -- Sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, sebenarnya dilarang menghadiri acara yang digelar oleh partai politik. Namun khusus untuk undangan yang dilayangkan Partai Golkar, ia tak kuasa menolaknya.

Din bersedia datang ke Silaturrahmi Nasional II Dewan Penasihat PG dari seluruh Indonesia dengan agenda utama memenangkan pasangan capres-cawapres Jusuf Kalla-Wiranto. ''Saya sebenarnya dilarang menghadiri acara-cara partai karena khittah, tapi untuk acara ini, Allah SWT telah menggerakkan hati saya,'' katanya saat memberikan tausiyah kepada ratusan peserta Silatnas itu, di Jakarta, Rabu (10/6).

Din diundang khusus untuk memberikan tausiyah di acara Silatnas yang berlangsung sehari itu. Di acara itu hadir Ketua Umum DPP PG Jusuf Kalla dan pasangannya Wiranto. Din memberikan dukungan moral kepada pasangan nusantara itu. Bahkan saat mengetahui pasangan itu mendapatkan nomor urut tiga pada pilpres mendatang, ia langsung mengirim pesan SMS ke JK.

Dalam SMS itu, Wakil Ketua Umum MUI ini mengkiaskan bahwa agama itu ditopang oleh tiga pilar utama, yaitu iman, islam, dan ikhsan. Kalau hanya nomor satu saja, yaitu, iman maka agama ini tidaklah cukup. Begitu juga kalau cuma dua, iman dan islam, belumlah cukup. ''Karena itu perlu tiga, yaitu iman, islam, dan ikhsan,'' ungkapnya mengumpamakan nomor urut tiga milik pasangan Jk-Wiranto dengan tiga pilar agama itu.

Selain memberkan tausiyah, Din juga memimpin doa para peserta. Sebagai mantan fungsionaris PG, wakil sekjen, Din mengharapkan partai yang besar ini tetap mempunyai tekad, kerja, dan semangat besar untuk kemajuan bangsa. Partai ini diingatkannya pernah memberikan jasa dan karya besar kepada bangsa. ''Kebesaran itu bisa kerdil bukan karena orang luar tapi di antara kita ada yang berpikir kerdil,'' pesannya. djo/ism

Rabu, 10 Juni 2009

Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa



AGENDA INDONESIA KE DEPAN


PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH




Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa

AGENDA INDONESIA KE DEPAN

I. PENDAHULUAN

Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan melalui perjuangan yang tidak kenal menyerah dari seluruh kekuatan rakyat, Indonesia berhasil meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Para pendiri bangsa kemudian bersepakat membentuk Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berfalsafah Pancasila. Dengan kemerdekaan terbukalah pintu gerbang untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana cita-cita nasional yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

Indonesia setelah merdeka lebih 60 tahun telah banyak meraih kemajuan di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan keagamaan. Hal ini ditunjukkan dengan perkembangan demokrasi, peningkatan pendapatan perkapita, penguatan integrasi sosial, pemerataan pendidikan, dan kesemarakan kehidupan keagamaan. Kemajuan tersebut juga ditandai oleh pengakuan internasional. Stamina spiritual dan intelektual bangsa ini tidaklah kalah bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Namun energi yang positif itu sampai batas tertentu terbuang sia-sia karena ketidaksungguhan dan berbagai kesalahan kolektif, yang terkait dengan melemahnya visi dan karakter bangsa.

Kekaburan visi dan kelemahan karakter bangsa menjadi beban nasional yang berat ketika berakumulasi dengan berbagai persoalan internal yang kompleks di tubuh bangsa ini seperti kemiskinan, pengangguran, kebodohan, keterbelakangan, korupsi, kerusakan lingkungan, utang luar negeri, dan perilaku elite yang tidak menunjukkan keteladanan selaku negarawan. Beban nasional semakin berat dengan adanya faktor eksternal seperti intervensi kepentingan asing dan dampak krisis global dalam berbagai aspek kehidupan. Akibatnya bangsa ini secara pelan tapi pasti kehilangan daya tahan dan kemandiriannya. Jika keadaan tersebut dibiarkan menjadi gumpalan masalah yang besar maka Indonesia tidak hanya kehilangan peluang untuk tumbuh menjadi bangsa dan negara yang sukses mengukir kejayaan peradaban, tetapi sebaliknya akan semakin terpuruk di hadapan bangsa-bangsa lain.

Muhammadiyah sebagai bagian yang menyatu dengan denyut nadi kebangsaan sangat berkepentingan untuk melihat bangsa dan negara Indonesia mempunyai masa depan yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat di tengah-tengah pergaulan dunia yang semakin membuana. Berdasarkan kenyataan di atas Sidang Tanwir Muhammadiyah di Bandar Lampung, 5-8 Maret 2009, merumuskan langkah-langkah kongkret dan strategis untuk melakukan revitalisasi visi dan karakter bangsa sebagaimana terkandung dalam naskah ini.

Dalam naskah “Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa” ini terkandung pokok-pokok pikiran tentang (1) penegasan kembali cita-cita nasional ke dalam visi kebangsaan, (2) identifikasi permasalahan fundamental dalam bidang-bidang strategis bangsa, (3) agenda dan strategi perubahan melalui revitalisasi, (4) kualitas manusia Indonesia yang berkarakter kuat sebagai pelaku dan sasaran perubahan dalam pembangunan yang sistemik, dan (5) prasyarat kemajuan dalam mewujudkan visi dan pembangunan karakter bangsa. Dengan revitalisasi visi dan karakter bangsa dapat dicapai akselerasi kemajuan bangsa terutama dalam lima tahun mendatang.

II. CITA-CITA NASIONAL

Proklamasi 1945 merupakan fase baru bagi Indonesia menjadi bangsa merdeka. Dengan kemerdekaan itu bangsa Indonesia secara berdaulat menentukan nasib dan masa depannya sendiri yang dimanifestasikan dalam rumusan cita-cita nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu terwujudnya (1) Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur; (2) Perikehidupan kebangsaan yang bebas; dan (3) Pemerintahan Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita nasional yang luhur itu merupakan pengejawantahan semangat kebangsaan dan kemerdekaan, sekaligus sebagai nilai dan arah utama perjalanan bangsa dan negara.

Pembentukan Negara Indonesia selain menentukan cita-cita nasional juga untuk menegaskan kepribadian bangsa sebagaimana tercermin dalam Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan perjanjian luhur dan konsensus nasional yang mengikat seluruh bangsa. Dalam falsafah dan ideologi negara terkandung ciri keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan (humanisme religius). Nilai-nilai tersebut tercermin dalam hubungan individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan dan kemakmuran.

Cita-cita nasional dan falsafah bangsa yang ideal itu perlu ditransformasikan ke dalam visi nasional dan karakter yang dapat diwujudkan ke dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini diperlukan revitalisasi visi dan karakter bangsa. Visi nasional dan karakter bangsa dalam rentang lima tahun ke depan perlu diarahkan pada tercapainya (1) penguatan nilai dan kultur demokrasi, (2) terciptanya ketahanan ekonomi nasional, serta (3) penguatan nilai-nilai dan kepribadian bangsa yang kokoh. Revitalisasi visi dan karakter bangsa lima tahun ke depan tersebut diproyeksikan untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain.

III. PERMASALAHAN

Indonesia sesungguhnya memiliki modal besar untuk menjadi sebuah bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Hal itu didukung oleh sejumlah fakta positif yang dimiliki bangsa ini. Pertama, posisi geopolitik yang sangat strategis. Kedua, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati. Ketiga, jumlah penduduk yang besar. Keempat, kemajemukan sosial budaya. Namun modal dasar dan potensi yang besar itu tidak dikelola dengan optimal dan sering disia-siakan sehingga bangsa ini kehilangan banyak momentum untuk maju dengan cepat, sekaligus menimbulkan masalah yang kompleks.

Dengan menghargai sejumlah kisah sukses di sejumlah bidang kehidupan seperti keberhasilan dalam demokrasi, pemulihan krisis ekonomi, dan resolusi konflik di sejumlah daerah; diiakui bahwa Indonesia hingga saat ini masih menghadapi berbagai masalah nasional yang kompleks. Di antaranya masalah politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang memerlukan prioritas dan perhatian untuk dipecahkan.

A. Politik

Perkembangan politik nasional relatif menggembirakan terutama di bidang stabilitas-keamanan dan demokrasi. Hal ini ditandai oleh peningkatan partisipasi politik, kebebasan pers dan berekspresi, serta penegakan hukum dan hak asasi manusia. Kenyataan ini telah menempatkan Indonesia sebagai negara demokratis terbesar setelah India dan Amerika Serikat.

Meskipun demikian, capaian-capaian di atas masih disertai sejumlah masalah yang memerlukan penyelesaian secara sungguh-sungguh. Di antaranya sebagai berikut:

1. Kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan

Menurut UUD 1945, Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistem pemerintahan presidensial. Salah satu ciri negara kesatuan adalah adanya hubungan yang kuat antara pusat dan daerah, dengan struktur dan kewenangan yang jelas. Dalam kenyataannya, watak kesatuan dan presidensial ini dibayangi oleh praktik-praktik politik yang tidak konsisten. Pemberian kewenangan yang terlalu luas kepada daerah, kecuali bidang moneter, luar negeri, pertahanan, agama, dan peradilan telah mengaburkan hubungan pusat-daerah.

Perubahan ini semakin nampak ketika diberlakukan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung. Dengan itu, secara hukum, kepala daerah bertanggung jawab kepada rakyat pemilih. Gubernur, Walikota, dan Bupati tidak bertanggung jawab kepada dan bukan merupakan bawahan Presiden, apalagi Menteri Dalam Negeri. Dalam konteks inilah sebenarnya sistem ketatanegaraan yang dipraktekan cenderung menganut asas federalisme. Hal tersebut menganggu polakerja dan kinerja pemerintahan pusat dalam hubungannya dengan daerah.

2. Kelembagaan negara yang tidak efektif

Reformasi politik disertai oleh perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga negara yang fungsi dan kewenangannya tumpang tindih. Pada tataran eksekutif tidak terjadi perkembangan yang berarti, kecuali besarnya pos-pos kementerian yang menyulitkan koordinasi kebijakan. Akibatnya, pemerintah tidak berjalan secara efektif dan efisien.

Di lembaga legislatif terjadi kesenjangan antara struktur dan fungsi. Di satu pihak terdapat lembaga-lembaga seperti DPR, DPD dan MPR. Di pihak yang lain hanya lembaga DPR yang berfungsi sebagai pembuat Undang-Undang. Meskipun dipilih secara langsung DPD tidak memiliki fungsi yang berarti sebagai representasi kepentingan daerah. Sementara itu MPR hanya memiliki fungsi terbatas.

Di lembaga yudikatif ketidakefektifan lebih berkaitan dengan lemahnya kinerja dalam penegakan hukum. Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung beserta jajarannya masih sangat rentan terhadap upaya penyuapan. Komisi Pemberantasan Korupsi masih terkesan tebang pilih. Mahkamah Konstitusi dalam kasus tertentu menangani kasus di luar kewenangannya.

3. Sistem kepartaian yang tidak mendukung

Keterbukaan politik melahirkan sistem multipartai yang sangat liberal, dengan syarat mendirikan partai yang sangat longgar. Dalam konteks ini Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki jumlah partai politik yang sangat banyak. Dengan tidak adanya kekuatan politik yang dominan, proses pengambilan keputusan baik pada tingkat eksekutif maupun legislatif seringkali mengalami tarik menarik kepentingan antara kekuatan-kekuatan politik dalam tingkat yang cukup tinggi. Akibatnya biaya politik menjadi sangat mahal, disertai kompromi-kompromi politik yang didasarkan atas kepentingan-kepentingan sempit dan mendorong terjadinya praktek politik uang.

Sistem multipartai yang sangat longgar itu berdampak pula pada rekruitmen politik yang tidak selektif dan tidak berkualitas. Pada akhirnya semua hal tersebut menghambat proses konsolidasi demokrasi dan menciderai prinsip meritokrasi.

4. Berkembangnya pragmatisme politik

Keterbukaan dan sistem multipartai yang terlalu longgar berdampak lebih jauh pada perilaku politik yang semakin pragmatis. Para pelaku politik dengan mudah berpindah partai atau mendirikan partai baru serta menjadikan politik bukan sebagai panggilan, tetapi sebagai matapencaharian. Pragmatisme politik tersebut mendorong praktek-praktek kolutif antara pelaku politik dan pemilik modal. Perkembangan ini menimbulkan perilaku politik yang mengedepankan kepentingan diri dan kelompok di atas kepentingan bangsa dan negara.

B. Ekonomi

Dalam pembangunan ekonomi banyak kemajuan yang telah diraih bangsa ini. Pertumbuhan ekonomi dan rata-rata pendapatan perkapita terus meningkat. Stabilitas makro ekonomi pun semakin terpelihara. Perhatian pemerintah terhadap persoalan ekonomi masyarakat semakin nyata dengan banyak dan beragamnya skema program ekonomi yang ditujukan untuk masyarakat terutama golongan menengah-bawah.

Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai kemajuan ekonomi yang tercermin dari pertumbuhan dan stabilitas indikator makroekonomi sesungguhnya masih jauh dari memadai dan bias terhadap fakta-fakta ekonomi yang ada. Fondasi dan ketahanan ekonomi Indonesia masih lemah dan rentan. Hal ini disebabkan orientasi pembangunan ekonomi yang lebih menekankan aspek pertumbuhan, bertumpu pada investasi asing, utang luar negeri, dan konglomerasi. Kondisi demikian mengakibatkan hasil pembangunan hanya dikuasai dan dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, kesenjangan melebar, dan sendi-sendi kehidupan sosial-ekonomi nasional tumbuh tanpa akar yang kuat.

Beberapa persoalan ekonomi nasional yang mendasar dan bersifat struktural adalah sebagai berikut:

1. Paradigma ekonomi yang tidak konsisten

Paradigma yang melandasi kebijakan dan program ekonomi masih belum sepenuhnya mengacu dan menganut paradigma perekonomian sebagaimana yang diamanahkan oleh UUD 1945. Banyak undang-undang yang bertentangan dengan semangat dan substansi UUD 1945, seperti UU Minyak dan Gas, UU Mineral dan Batubara, UU Penanaman Modal, dan UU Kelistrikan yang liberal dan jauh dari semangat UUD 1945, terutama Pasal 33.

Sebagai akibatnya, pengelolaan sumberdaya alam belum memberi manfaat optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Berbagai kontrak di sektor pertambangan lebih banyak memberi keuntungan finansial kepada kontraktor, terutama kontraktor asing, sementara masyarakat sekitar lebih banyak menerima dampak negatif. Pemerintah menerima manfaat yang tidak sebanding dengan biaya dan kerusakan lingkungan. Sementara pengelolaan sumberdaya alam terbarukan juga masih menghadapi berbagai persoalan akibat skala usaha dan infrastruktur yang tidak memadai, produktifitas yang rendah, dan maraknya aktivitas ekonomi ilegal.

2. Struktur ekonomi dualistis

Struktur ekonomi dualistis masih menjadi ciri dominan perekonomian nasional. Struktur ini ditandai oleh penguasaan usaha besar oleh segelintir orang tapi memberi sumbangan besar terhadap PDB, dan usaha kecil-menengah oleh mayoritas rakyat tapi memberi kontribusi yang relatif kecil terhadap PDB. Di sisi lain usaha menengah yang biasanya menjadi ciri ekonomi modern belum terbentuk dengan kuat. Adanya struktur ekonomi yang dualistis ini menimbulkan kesenjangan pendapatan dan kepemilikan aset antar kelompok masyarakat, antar sektor modern dan tradisional, serta antar daerah Jawa dan luar Jawa masih cukup lebar.

Struktur ekonomi yang timpang tersebut menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas. Pertumbuhan ekonomi ini lebih banyak dihasilkan dan dinikmati oleh sektor non-tradeable yang bersifat padat modal dan padat teknologi, namun rendah dalam menyerap tenaga kerja. Hal ini mengakibatkan tetap tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan, walau ekonomi tumbuh cukup signifikan terutama dalam beberapa tahun terakhir.

3. Kebijakan fiskal yang belum mandiri

Kebijakan fiskal belum sepenuhnya mandiri dan berpihak kepada kepentingan rakyat, terutama kelompok miskin serta rentan terhadap berbagai gejolak ekonomi. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan yang besar kepada utang luar negeri dan penerimaan dalam negeri yang belum optimal. Sebagai akibatnya, anggaran negara tidak bisa berfungsi secara optimal untuk membiayai pembangunan.

4. Sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak

Sistem keuangan dan perbankan yang berlaku belum memihak sektor usaha mikro, kecil, dan menengah. Keadaan ini diperparah oleh rejim devisa bebas yang mengakibatkan sistem keuangan Indonesia rentan dan peka terhadap gejolak ekonomi dan keuangan dunia. Akibatnya belum terbangun sistem keuangan dan perbankan yang stabil, kokoh, aman, dan terpercaya, sehingga belum berfungsi optimal dalam menjaga stabilitas ekonomi maupun memberikan pelayanan yang adil bagi semua pelaku usaha.

5. Kebijakan perdagangan dan industri yang liberal

Kebijakan perdagangan dan industri masih berorientasi pada liberalisasi, kurang melindungi produk dalam negeri, dan kurang memberi dorongan pada penciptaan nilai tambah. Sebagai akibatnya industri dalam negeri kurang memiliki daya saing dan rentan terhadap serbuan produk impor, serta cenderung mengekspor bahan baku dan barang setengah jadi. Lebih jauh dari itu kebijakan yang ada menyebabkan pertumbuhan sektor industri manufaktur rendah.

C. Sosial Budaya

Dalam bidang sosial-budaya Indonesia telah mencapai beberapa keberhasilan. Di bidang pendidikan terdapat peningkatan anggaran pendidikan, peningkatan dan pemerataan kesempatan belajar, dan peningkatan prestasi anak-anak Indonesia di tingkat regional dan internasional. Di bidang penegakan hukum terdapat keseriusan usaha pemberantasan korupsi yang membawa implikasi pada moralitas publik, disertai lahirnya produk perundang-undangan yang berpihak pada hak asasi manusia, perlindungan perempuan dan anak, serta penegakan moral. Di bidang kehidupan beragama semakin meluas iklim dan kesadaran untuk hidup rukun dalam kemajemukan. Dalam hubungan sosial masih cukup kuat budaya gotong royong dan semangat kebersamaan sebagaimana ditunjukkan ketika menghadapi bencana alam.

Meskipun demikian, masih banyak permasalahan sosial-budaya yang perlu mendapatkan pemecahan yang serius, di antaranya sebagai berikut:

1. Memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan

Memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan ditandai oleh menguatnya primordialisme, apatisme dan individualisme. Primordialisme etnis/kedaerahan, kelompok, dan keagamaan masih berkembang sebagai dampak dari kebebasan politik yang berlebihan dan faktor ekonomi. Sementara apatisme dan individualisme, yang melunturkan nasionalisme terjadi akibat globalisasi yang mendorong penetrasi budaya asing yang tidak terkelola dengan baik. Kebebasan politik yang berlebihan juga melahirkan egoisme dan oportunisme politik di kalangan elite maupun massa yang ditunjukkan dengan perilaku yang lebih mengutamakan kepentingan partai politik daripada kepentingan bangsa. Faktor ekonomi dapat mendorong primordialisme yang memudarkan nasionalisme terkait dengan perilaku keserakahan pihak yang diuntungkan secara ekonomi sehingga cenderung tidak peduli pada masa depan bangsa dan rasa ketertindasan pihak yang dirugikan sehingga cenderung tidak percaya terhadap negara.

Masalah lain yang tidak bisa diabaikan adalah gejala separatisme yang didorong oleh ketidakadilan sosial ekonomi dan gejala neo-feodalisme yang muncul dari perilaku yang membanggakan kelompok sendiri di atas kelompok lain.

2. Disorientasi nilai keagamaan

Kehidupan beragama masih dihadapkan pada paradoks antara maraknya semangat keagamaan dengan kecenderungan sikap hidup permisif, materialistik, dan sekuler yang berlawanan dengan nilai-nilai luhur agama. Semangat keagamaan pada sebagian masyarakat tereduksi dalam formalisme yang kering makna spiritual dan moral. Terdapat gejala lain ketika dakwah sering menjadi komoditas hiburan dan politik yang mengaburkan fungsi otentik agama.

Di samping itu keberagamaan belum sepenuhnya berfungsi sebagai faktor integratif dalam mewujudkan kerukunan, kebersamaan, dan budaya anti kekerasan dalam konfigurasi kemajemukan bangsa.

3. Memudarnya kohesi dan integrasi sosial

Berbagai bentuk tindak kekerasan dengan motif yang sangat kompleks masih terus terjadi dalam kehidupan masyarakat. Bangsa Indonesia yang dikenal santun, berubah menjadi bangsa yang kurang menghargai perbedaan dan mudah melakukan tindakan kekerasan. Berbagai bentuk perilaku menyimpang dan kriminalitas seperti penyalahgunaan narkotika, pembunuhan, pelecehan seksual, perdagangan manusia, pornografi dan pengrusakan lingkungan hidup cenderung meningkat. Pranata sosial yang luhur seperti gotong royong dan saling menghormati perbedaan semakin meluruh dalam tata kehidupan sosial. Budaya patriakhi masih kuat yang membawa implikasi pada pandangan yang merendahkan harkat dan martabat perempuan.

4. Melemahnya mentalitas positif

Dalam kehidupan masyarakat terdapat kecenderungan pelemahan mentalitas yang mencerminkan mental bangsa yang lembek (soft nation). Kelemahan mentalitas tersebut ditandai oleh kecenderungan sikap inlander, inferior, suka menerabas, perilaku instant, tidak disiplin, suka meremehkan masalah, tidak menghargai mutu, kurang bertanggung jawab, mudah mengingkari janji, dan toleran terhadap penyimpangan. Pada saat yang sama kurang berkembang perilaku yang positif seperti kerja keras, jujur, terpercya, cerdas, tanggungjawab, menghargai kualitas, dan mentalitas yang unggul lainnya.


VI. Revitalisasi

Perjalanan bangsa Indonesia mengalami perkembangan yang diwarnai dinamika kesinambungan dan perubahan. Setelah merdeka, bangsa Indonesia mengalami beberapa periode kekuasaan politik: Revolusi (1945-1949), Demokrasi Parlementer (1950-1959), Orde Lama (1959-1966), Orde Baru (1966-1998), dan Reformasi sejak tahun 1998. Dalam perjalanan bangsa yang sarat dinamika itu selain muncul berbagai krisis dan permasalahan, pada saat yang sama terdapat kemajuan-kemajuan yang cukup berarti, sebagai hasil dari pembangunan nasional yang dilakukan pada setiap periode dan menjadi tonggak bagi perkembangan Indonesia ke depan.

Pada dua dasawarsa pertama setelah kemerdekaan dilakukan usaha-usaha pembangunan bangsa melalui kebijakan Pembangunan Semesta Berencana, termasuk pencanangan “Nation and Character Building” (Pembangunan Bangsa dan Karakter Bangsa). Namun karena dilanda berbagai gejolak politik nasional, maka program pembangunan nasional termasuk pembangunan karakter bangsa, kemudian menjadi terbengkalai. Pada periode ini hal yang positif ialah perkembangan demokrasi yang cukup positif sebagaimana kesuksesan Pemilu pertama tahun 1955, kendati setelah itu terjadi krisis politik nasional yang bermuara pada kejatuhan pemerintahan tahun 1965.

Pada masa Orde Baru diletakkan strategi Pembangunan Nasional yang terencana dan sistematis melalui Pembangunan Lima Tahun dan Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun, termasuk di dalamnya isu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pada era ini terutama sekitar satu dasawarsa terdapat kemajuan yang cukup positif khususnya dalam pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Namun pogram pembangunan nasional yang cukup terencana itu kemudian tereduksi oleh berbagai kebijakan politik yang otoritarian disertai munculnya masalah-masalah yang pelik seperti ketimpangan sosial, kemiskinan, utang luar negeri, korupsi dengan turutannya kolusi dan nepotisme, dan persoalan-persoalan nasional lainnya yang kompleks. Pemerintahan Orde Baru berakhir dengan hadirnya reformasi tahun 1998.

Reformasi 1998 merupakan babak baru bagi bangsa Indonesia untuk belajar dari kesuksesan dan kegagalan Orde Lama maupun Orde Baru. Pada masa ini telah dicapai perubahan-perubahan positif terutama dalam perkembangan demokratisasi, penegakan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, otonomi daerah, dan lain-lain. Namun reformasi kehilangan arah karena kekuatan-kekuatan reformis telah menyia-nyiakan peluang emas di tengah beban bangsa yang sarat masalah. Dengan menyadari nilai positif yang dihasilkan reformasi dan kesadaran adanya masalah dan tantangan yang cukup berat, maka kini diperlukan penajaman-penajaman terhadap visi reformasi maupun pembangunan nasional di tubuh bangsa ini.

Reformasi perlu dirancang-bangun dan diintegrasikan ke dalam pembangunan nasional yang bersifat menyeluruh dan berkesinambungan, sehingga reformasi berada dalam arah dan jalur yang benar. Pembangunan nasional dalam berbagai bidang kehidupan perlu dikembangkan dalam bingkai paradigma pembangunan berkelanjutan yang bermakna (sustainable development with meaning). Paradigma ini bertumpu pada prinsip pengembangan sumber daya manusia sebagai subjek pembangunan, pemanfaatan sumberdaya alam secara produktif dengan menjaga kelestarian, kebijakan ekonomi dan politik yang berpihak kepada kepentingan rakyat, serta menjunjung tinggi moralitas dan menjaga martabat bangsa. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan yang bermakna merupakan upaya perbaikan dalam kehidupan manusia dengan menjaga keseimbangan antara material dan spiritual, individu dan masyarakat.

Dalam lima tahun ke depan diperlukan revitalisasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya sebagai matarantai dari revitalisasi visi dan karakter bangsa, yakni sebagai berikut:

(1) Dalam kehidupan politik diperlukan penguatan nilai dan budaya demokrasi ke arah pemantapan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan presidensial, efektivitas fungsi kelembagaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), rasionalisasi sistem kepartaian, dan penegakan etika politik.

(2) Dalam kehidupan ekonomi diperlukan penguatan ekonomi nasional yang dicirikan dengan terciptanya struktur ekonomi yang adil, mandiri, berdaya saing, dan memihak kepada rakyat demi tercapainya kemakmuran bangsa.

(3) Dalam kehidupan sosial budaya diperlukan penguatan rasa kebangsaan, keber-agama-an yang transformatif, integrasi sosial, dan penanaman nilai-nilai kepribadian yang kuat dan berkarakter.

A. Revitalisasi Politik

Kehidupan politik nasional telah menunjukkan kemajuan yang berarti terutama dalam perkembangan demokrasi. Untuk penguatan kehidupan politik yang demokratis perlu dilakukan beberapa hal strategis sebagai berikut:

Pertama, penyederhanaan jumlah partai politik. Kehadiran partai politik dalam jumlah yang sangat besar menjadi kendala utama dalam menciptakan sistem presidensial yang kokoh dan kinerja pemerintahan yang efektif. Hal ini akan semakin nampak khususnya ketika tidak satupun partai memiliki kekuatan politik dominan. Situasi ini memaksa pemerintah melakukan kompromi-kompromi dengan cara mengakomodasikan kepentingan-kepentingan partai-partai politik yang berbeda, dan bahkan bertentangan. Kenyataan ini mengakibatkan proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan memerlukan waktu lebih lama.

Jumlah partai yang banyak sebenarnya hanya lazim dalam sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Dalam konteks ini, keberadaan partai politik yang sangat banyak itu merupakan anomali dalam sistem pemerintahan presidensiil yang dianut. Atas dasar itu, penyederhanaan jumlah partai politik merupakan suatu keharusan.

Meski demikian, hal ini hendaknya dilakukan secara demokratis dan menurut undang-undang. Selama ini electroral threshold dipandang sebagai aturan yang mampu mengurangi jumlah partai secara cukup berarti. Akan tetapi, karena tidak dilakukan secara ketat dan sungguh-sungguh, dengan menerapkan ambang batas yang sesuai, maka jumlah partai politik tetap besar hingga kini.

Agenda penyederhanaan jumlah partai politik dilakukan melalui pemberlakuan electoral threshold secara ketat dan sungguh-sungguh dengan ketentuan partai-partai politik yang tidak berhasil melampaui ambang batas (1) tidak boleh mengikuti pemilu, (2) tidak boleh diubah menjadi partai baru, dan (3) pengurus dan pengelola partai tidak boleh mendirikan partai baru. Di samping itu angka ambang batas dinaikkan menjadi 5%.

Kedua, pengefektifan struktur dan fungsi kelembagaan negara. Sistem perwakilan yang berlaku saat ini mengandung kesenjangan antara struktur dan fungsi. Menurut undang-undang, lembaga parlemen yang ada menganut sistem tiga kamar, yaitu MPR, DPD, dan DPR. Akan tetapi, hanya lembaga DPR yang memiliki fungsi membuat undang-undang dan mengontrol pemerintah. MPR, yang sering dianggap sebagai lembaga tertinggi negara, hanya mempunyai fungsi dan kewenangan yang sangat terbatas seperti melakukan amandemen terhadap UUD. Sementara itu, lembaga DPD tidak memiliki kewenangan apapun kecuali memberi usul atau masukan kepada DPR sebagai pembuat undang-undang.

Untuk itu, diperlukan ketegasan sikap di dalam menentukan sistem legislatif sesuai dengan peran dan fungsi yang dibutuhkan. Dalam hal ini, perlu dilakukan pemilihan yang tegas antara sistem satu kamar (terdiri hanya DPR) atau dua kamar (terdiri dari DPR dan DPD), masing-masing dengan tugas dan kewenangan yang jelas. Jika MPR masih ingin dipertahankan, maka lembaga tersebut hanya bersifat ad hoc, yaitu ketika DPR dan DPD bersidang bersama-sama, dan bukan lembaga yang mempunyai struktur organisasi yang permanen.

Di bidang eksekutif, jumlah departemen dan kementrian negara masih sangat banyak. Sampai tingkat tertentu, fungsi dari lembaga-lembaga tersebut bersifat tumpang tindih. Kondisi ini sering menyulitkan koordinasi, dan bahkan menjadi sumber inefisiensi. Untuk itu diperlukan kemauan politik yang kuat dari penyelenggara negara untuk menyederhanakan jumlah departemen dan kementrian negara sesuai dengan kebutuhan berdasarkan prinsip efisiensi.

Ketiga, perumusan ulang hubungan pemerintah pusat dengan daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, maka menurut undang-undang hanya bertanggung jawab kepada yang memilih. Dalam kaitan ini, gubernur, bupati, dan walikota bukan merupakan bawahan dari pemerintah pusat.

Situasi demikian kurang sesuai dengan semangat dan prinsip negara kesatuan di mana kepala daerah merupakan perwakilan atau perpanjangan kekuasaan atau kewenangan dari pemerintah pusat. Agar bangunan negara kesatuan tetap kokoh maka hubungan pusat dengan daerah harus diformulasikan ulang. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan (1) merevisi UU tentang otonomi daerah, (2) menempatkan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang diangkat oleh pemerintah pusat, (3) bupati/walikota walaupun dipilih langsung oleh rakyat tetapi dalam hal-hal tertentu yang bersifat strategis dan berskala nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah pusat.

Dengan jumlah propinsi, kabupaten dan kota yang sudah cukup banyak, pemilihan kepala daerah bisa menjadi peristiwa yang sering terjadi. Hal ini tentu mempunyai implikasi politik dan ekonomi yang tidak kecil. Tanpa pengaturan dan pengelolaan yang benar, hal ini dapat menimbulkan kejenuhan politik dan pemborosan ekonomi yang sangat besar. Untuk itu, diperlukan kebijakan moratorium pemekaran daerah di satu pihak, dan penyamaan waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di pihak lain.

Keempat, pengembangan etika dan pendidikan politik. Demokratisasi telah mengembalikan hak dan kewenangan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan dan partisipasi politik. Akan tetapi, kebebasan politik yang berlebihan –sebagai akibat dari otoritarianisme politik yang berkepanjangan—telah menimbulkan hal-hal yang negatif, seperti memudarnya loyalitas dan kesetiaan, dan semakin menguatnya semangat oportunisme.

Karena itu diperlukan pengembangan etika dan pendidikan politik bagi elit dan warga negara sebagai upaya membentuk perilaku dan tindakan politik yang baik dan bertanggungjawab. Pengembangan etika dan pendidikan politik dapat dilakukan melalui jalur-jalur formal atau non formal dengan melibatkan kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat.

B. Revitalisasi Ekonomi

Pembangunan ekonomi nasional didasarkan pada paham demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Paham ini dimaksudkan untuk melahirkan sistem ekonomi dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) manusia yang menjamin rasa aman, (b) pertumbuhan yang adil, merata, dan bermakna (shared growth with meaning), (c) orientasi pada sumber daya (resource-based economy), (d) penguatan negara sebagai pelaku dalam mengatasi berbagai kegagalan pasar dan ketimpangan sosial; dan (e) ekonomi yang terbuka dan terintegrasi secara global dengan tetap berdaulat.

Perwujudan sistem tersebut mensyaratkan hal-hal sebagai berikut: (a) pengakuan pentingnya peran negara dalam mengatur alokasi sumberdaya ekonomi, selain pasar dan masyarakat; (b) keberpihakan (affirmative action) pemerintah guna mewujudkan struktur ekonomi yang lebih sehat dan kuat; (c) partisipasi yang luas dari masyarakat dalam keseluruhan proses ekonomi; (d) kesamaan visi seluruh stakeholders bangsa dalam menghadapi tantangan dan persoalan ekonomi; dan (e) tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dalam pembangunan ekonomi.

Agenda revitalisasi ekonomi dalam lima tahun mendatang mencakup aspek-aspek strategis sebagai berikut.

Pertama, menguatkan sistem ekonomi yang sesuai dengan UUD 1945. Agenda tersebut dilakukan melalui penyusunan undang-undang tentang demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Di samping itu perlu dilakukan revisi terhadap undang-undang yang tidak sejalan dengan semangat UUD 1945 seperti UU Minyak dan Gas, UU Kelistrikan, UU Mineral dan Batubara. Ketiadaan aturan perundang-undangan yang sesuai dengan semangat yang terkandung dalam UUD 1945 merupakan penyebab utama penyimpangan sistem ekonomi nasional saat ini yang berdampak pada tidak terciptanya keadilan dan pemerataan.

Kedua, mengarahkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya alam dijadikan sebagai basis utama perekonomian nasional yang diarahkan kepada upaya kemandirian bangsa di bidang pangan dan energi di tengah krisis global dalam dua bidang tersebut dewasa ini. Agenda strategis dalam bidang ini sebagai berikut: (1) melanjutkan program revitalisasi pertanian secara lebih konkrit melalui penyediaan infrastruktur yang memadai, pemberdayaan kelembagaan di tingkat petani, penyediaan tenaga penyuluh yang cukup dan kompeten, peningkatan akses petani terhadap permodalan, pemberdayaan kelembagaan pemasaran produk petani, dan stabilisasi harga yang menguntungkan petani; (2) mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian (agro based related industries) yang memiliki keterkaitan kuat dengan industri lainnya; dan (3) meningkatkan program pengembangan energi alternatif dari sumberdaya alam yang terbarukan seperti energi surya, angin, gelombang laut, panas bumi, dan bahan baku nabati. Dalam konteks ini diperlukan pengkajian ulang kebijakan energi nasional dengan menerapkan program penganekaragaman energi (energy mix program) yang proporsional. Untuk itu diperlukan kebijakan fiskal dan moneter, serta perdagangan dan investasi yang kondusif.

Ketiga, menciptakan struktur ekonomi yang lebih sehat dan adil. Agenda ini dilakukan melalui pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berdasarkan: (1) Strategi naik kelas yang mendorong usaha skala tertentu menjadi usaha skala lebih besar; dan (2) Strategi kemitraan strategis yang dilakukan untuk memperkuat keterkaitan para pelaku usaha dalam berbagai skala. Agenda ini perlu dijadikan sebagai aksi keberpihakan (affirmative actions) untuk menciptakan UMKM yang kompetitif. Agenda pemberdayaan UMKM mencakup program-program pemberian akses yang mudah dan terbuka terhadap sumber-sumber pembiayaan (bank dan non-bank), pengembangan kewirausahaan dan sumber daya manusia, peningkatan peluang pasar produk UMKM, penguatan daya inovasi dan keterkaitan UMKM, reformasi peraturan dan kebijakan, serta perlindungan UMKM dari persaingan usaha yang tidak sehat.

Keempat, melaksanakan reformasi agraria. Agenda ini penting dilakukan untuk mengurangi kesenjangan kepemilikan lahan dan mengendalikan konversi lahan yang merugikan rakyat, melalui penataan aset pertanahan, redistribusi lahan serta pemberian akses tanah negara kepada masyarakat miskin, dan penetapan lahan abadi untuk kepentingan pembangunan pertanian.

Kelima, menjalankan kebijakan fiskal dan keuangan yang lebih mandiri. Agenda kemandirian fiskal dilakukan dengan mengurangi ketergantungan pada utang melalui peningkatan penerimaan pajak dan efisiensi anggaran serta melakukan berbagai skema debt swap. Sementara agenda kemandirian keuangan dilakukan melalui penyempurnaan terhadap rezim devisa bebas, dan memberi akses permodalan kepada para pelaku UMKM.

Keenam, menciptakan kebijakan perdagangan dan industri yang berdaya saing. Beberapa agenda yang perlu dijalankan adalah sebagai berikut: (1) penerapan strategi picking up the winners melalui pemberian prioritas industrialisasi pada sektor industri kunci yang berbasis padat karya dan sumber daya alam; (2) penciptapan keterkaitan pembangunan industri dengan sektor lain, dan peningkatan nilai tambah produk dalam negeri; (3) penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi industri dan investasi; (4) revisi berbagai perjanjian dan kerjasama perdagangan internasional, dan kontrak karya yang tidak memberikan manfaat bagi rakyat; dan (5) peningkatan peran diplomasi ekonomi pada institusi-institusi terkait.

C. Sosial Budaya

Kemajuan suatu bangsa terkait dengan karakteristik budaya yang dimilikinya. Beberapa negara maju dengan sumberdaya alam yang terbatas memiliki prestasi luar biasa dalam perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Indonesia sesungguhnya memiliki potensi untuk maju dengan pesat, tetapi perlu ditopang oleh sistem sosial-budaya yang positif. Karena itu diperlukan revitalisasi sosial-budaya sebagai berikut:

Pertama, penguatan rasa dan ikatan kebangsaan. Meningkatkan pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang menekankan pada penanaman nilai-nilai yang menguatkan rasa cinta bangsa dan kesadaran hidup berdampingan secara damai dalam kemajemukan bangsa. Langkah ini dapat diintegrasikan dalam pendidikan formal, informal, dan nonformal sehingga merupakan satu kesatuan gerakan nasional dalam kehidupan bangsa.

Kedua, penguatan pengamalan nilai keagamaan. Reorientasi pendidikan agama dari pengajaran agama ke penanaman nilai-nilai dan budaya mengamalkan agama dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu perlu dilakukan pelembagaan nilai-nilai agama dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Memperluas gerakan keteladanan elite agama dan elite masyarakat termasuk pejabat publik yang mempraktekkan kata sejalan dengan perbuatan. Dalam konteks ini organisasi-organisasi keagamaan perlu didukung untuk meningkatkan peranannya dalam membangun moral dan karakter bangsa.

Ketiga, penguatan integrasi sosial. Membangkitkan kembali fungsi gotong royong dan pranata-pranata sosial setempat untuk merekat solidaritas kolektif dan ikatan kebangsaan. Membangun budaya saling percaya antar individu dan kelompok masyarakat melalui pendidikan, baik formal, informal, maupun non formal. Menumbuhkan “pusat masyarakat” (community center) sebagai simpul kerukunan dan kerja sama antar berbagai elemen masyarakat terutama di komunitas basis. Mengembangkan dialog budaya dan norma-norma sosial yang menyadarkan semua komponen masyarakat untuk hidup berdampingan secara damai dalam kemajemukan. Mendorong budaya empati yang menumbuhkan kepedulian dan tanggung jawab sosial melalui program-program pelayanan sosial.

Keempat, penguatan mentalitas positif. Menanamkan sikap dan kebiasaan berperilaku positif sejak usia dini seperti bertindak jujur, bersih, displin, menghargai waktu, dan tanggung jawab. Penegakan disiplin melalui penerapan aturan dan kebiasaan, dengan memberikan penghargaan kepada yang patuh dan sanksi tegas kepada yang melanggar. Dalam hal ini peranan lembaga pendidikan, keluarga, dan instiusi-institusi sosial di masyarakat menjadi sangat penting sebagai wahana penananam dan pengembangan nilai-nilai menuju pembentukan mentalitas positif di tubuh bangsa.

V. KARAKTER BANGSA

Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa atau negara tergantung pada faktor manusianya sebagai pelaku sejarah. Perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan tidak terlepas dari kekuatan tekad dan ikhtiar rakyat sebagai kumpulan manusia yang memiliki jiwa kejuangan yang tinggi, meskipun kala itu belum terbentuk Indonesia sebagai sebuah nation atau bangsa sebagaimana mestinya. Pembentukan kebudayaan nasional yang berwatak majemuk, yang menjadi ciri keindonesiaan, juga tidak terlepas dari sifat-sifat orang Indonesia yang cenderung moderat atau tengahan serta terbiasa hidup rukun dan damai dalam keberagaman. Kehadiran agama-agama besar dunia yaitu Hindu, Budha, Islam, dan Katolik, dan Prostestan, yang kemudian berinteraksi dengan kebudayaan setempat telah membentuk orientasi nilai dan pola kepribadian manusia Indonesia yang relijius, menjunjung tinggi moral, dan hidup saling menghargai dengan menjunjung tinggi kebaikan bersama.

Namun karena berbagai sebab dalam perkembangan berikutnya terdapat kelemahan-kelamahan mentalitas di tubuh bangsa Indonesia. Para ahli menemukan kecenderungan mentalitas orang Indonesia yang tidak sejalan dengan etos kemajuan dan keunggulan peradaban seperti sifat malas, meremehkan mutu, suka menerabas (jalan pintas), tidak percaya pada diri sendiri; tidak berdisiplin murni; suka mengabaikan tanggungjawab, berjiwa feodal, suka pada hal-hal beraroma mistik, mudah meniru gaya hidup luar dengan kurang selektif, gaya hidup mewah, dan lain-lain. Kendati kecenderungan mentalitas teresbut tidak bersifat menyeluruh tetapi manakala dibiarkan akan menjadi penyakit mentalitas secara kesluruhan di tubuh bangsa ini.

Dalam menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi dengan bangsa-bangsa lain dan demi masa depan Indonesia yang lebih maju maka diperlukan revitalisasi mentalitas bangsa ke arah pembentukan manusia Indonesia yang berkarakter kuat. Manusia yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapsitas mental yang membedakan dari orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kuat dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat khusus lainnya yang melekat dalam dirinya.

Manusia Indonesia yang berkarakter kuat dan melekat dengan kepribadian bangsa yaitu manusia yang memiliki sifat-sifat: (1) Relijius; yang dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) Moderat; yang dicirikan oleh sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani, serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) Cerdas; yang dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) Mandiri; yang dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.

Bagi suatu bangsa karakter adalah nilai-nilai keutamaan yang melekat pada setiap individu warga negara dan kemudian mengejawantah sebagai personalitas dan identitas kolektif bangsa. Karakter berfungsi sebagai kekuatan mental dan etik yang mendorong suatu bangsa merealisasikan cita-cita kebangsaannya dan menampilkan keunggulan-keunggulan komparatif, kompetitif, dan dinamis di antara bangsa-bangsa lain. Nilai-nilai keutamaan seperti bekerja keras, menghargai waktu, dan berhemat dalam etika Protestan, umpamanya, telah mendorong kebangkitan dan kemajuan bangsa-bangsa Barat. Demikian pula nilai-nilai keutamaan serupa dalam etika Konfusianisme dianggap telah mendorong kebangkitan negara-negara di kawasan Asia Pasifik dewasa ini. Sejarah juga menunjukan bahwa etos kemajuan dalam kehidupan kaum muslimin di masa lampau telah berhasil membangun kejayaan peradaban Islam selama beberapa abad.

Bangsa Indonesia secara relatif memiliki nilai-nilai keutamaan yang mengkristal menjadi modal sosial dan budaya penting. Di antara nilai-nilai itu adalah daya juang, tahan menderita, mengutamakan harmoni, dan gotong royong. Nilai-nilai keutamaan tersebut masih relevan, namun memerlukan penyesuaian dan pengembangan sejalan dengan dinamika dan tantangan zaman. Tantangan globalisasi yang meniscayakan orientasi kepada kualitas, persaingan dan daya saing menuntut bangsa Indonesia memiliki karakter yang bersifat kompetitif, dinamis, berkemajuan, dan berkeunggulan.

Karena itu cukup mendesak untuk dilakukan revitalisasi karakter bangsa, yaitu dengan memelihara dan meningkatkan nilai-nilai keutamaan yang sudah terbangun sejak dahulu dan mengembangkan nilai-nilai keutamaan baru, termasuk membuka diri terhadap nilai-nilai keutamaan bangsa-bangsa yang lebih maju. Di antara nilai-nilai keutamaan atau karakter yang perlu dimiliki bangsa Indonesia, baik secara individual maupun kolektif adalah sebagai berikut:

Pertama, nilai-nilai spiritualitas. Kecenderungan spiritualisitik bangsa yang tinggi dapat dikembangkan menjadi spiritualisme dinamis. Spiritualisme ini menampilkan keberagamaan berkemajuan, yaitu keberagamaan yang berorientasi kepada etika atau akhlak, dan penyeimbangan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Karakter untuk hidup berkebudayaan yang maju dan unggul. Karakter yang demikian dapat ditampilkan dalam idiom “taat beragama, maju berbudaya”.

Kedua, nilai-nilai solidaritas. Kecenderungan warga bangsa untuk berkumpul, berserikat, dan berorganisasi dapat dikembangkan menjadi solidaritas kebangsaan yang harmonis dan dinamis. Solidaritas ini diharapkan mengejawantah dalam bentuk kesetiakawanan sosial dan toleransi terhadap perbedaan. Selain itu, solidaritas kebangsaan menampilkan orientasi yang mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok atau golongan. Perlu ditanamkan kebiasaan untuk hidup berdampingan secara damai atas dasar saling memahami, saling menghormati, dan saling tolong menolong untuk kepentingan dan kemajuan bersama.

Ketiga, nilai-nilai kedisiplinan. Kemajuan bangsa terkendala oleh lemahnya disiplin terhadap waktu dan norma-norma hukum yang berlaku. Akibatnya, bangsa ini kurang berdaya saing serta menjadi permisif terhadap pelanggaran norma-norma hukum. Kebiasaan yang tidak positif ini perlu diubah menjadi karakter bangsa yang menghargai waktu sehingga mendorong produktifitas dan daya saing, serta mematuhi norma-norma hukum untuk terwujudnya ketertiban sosial serta menghindari tindak kekerasan dan kecenderungan main hakim sendiri.

Keempat, nilai-nilai kemandirian. Perkembangan internasional telah membuat negara-negara berkembang termasuk Indonesia mempunyai ketergantungan yang kuat terhadap negara-negara besar dan maju dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya. Kini saatnya dikembangkan karakter bangsa yang menghilangkan rasa rendah diri untuk menjadi bangsa yang memiliki kepercayaan diri untuk berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain.

Kelima, nilai-nilai kemajuan dan keunggulan. Bangsa Indonesia sebagai bangsa besar dan kaya dengan sumber daya alam memiliki peluang untuk bangsa maju dan unggul. Karena itu diperlukan karakter yang berorientasi kepada prestasi dengan semangat kerja keras. Dalam hal ini dapat ditanamkan semangat kepada segenap anak bangsa, bahwa “kita mampu jika kita mau” dan “mengapa tidak menjadi yang terbaik?”.

VI. FAKTOR-FAKTOR STRATEGIS

Kemajuan Indonesia secara objektif ditentukan oleh faktor-faktor strategis. Di antara faktor-faktor strategis yang menjadi prasyarat kemajuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kepemimpinan Reformatif

Indonesia ke depan memerlukan kepemimpinan yang reformatif sebagai prasyarat untuk membawa Indonesia menjadi negara dan bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Kepemimpinan reformatif ditandai oleh kepemimpinan yang kuat dan membawa pada perubahan. Kepemimpinan reformatif merupakan perpaduan antara kualitas kenegarawanan dengan kemampuan transformatif, yakni kepemimpinan yang berkarakter dan berkepribadian kuat, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, mampu melakukan memobilisasi potensi, mengagendakan perubahan, dan memproyeksikan masa depan. Kepemimpinan tersebut mampu memadukan kekuatan visi, pengambilan keputusan, kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas yang kuat sebagai manifestasi kenegarawanan, serta mampu memecahkan persoalan-persoalan bangsa.

Kepemimpinan reformatif memiliki kriteria sebagai berikut: (a) relijius, kata sejalan dengan laku, dan bertanggungjawab; (b) visi dan karakter kuat sebagai nega­rawan, yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara ketimbang diri sendiri, partai politik, dan kroni; (c) berani mengambil berbagai keputusan strategis dan me­mecahkan masalah-masalah krusial bangsa; (d) mewujudkan good governance, tegas dalam melakukan pemberantasan korupsi, penegakkan hukum, serta penyelamatan aset dan kekayaan negara; (e) menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di dalam dan luar negeri; (f) melepaskan jabatan partai politik dan jabatan-jabatan lain yang dapat menimbulkan konflik-kepentingan serta mengganggu jalannya pemerintahan dalam memimpin bangsa dan negara; dan (g) memiliki strategi perubahan yang membawa pada kemajuan bangsa.

Para pemimpin di berbagai sektor dan tingkatan perlu memiliki sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah, yang melahirkan keteladanan yang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keteladanan elite menjadi kunci penting bagi tumbuhnya kepercayaan, sebagai pusat identifikasi diri bagi rakyat, serta menjadi modal sosial dan ruhaniah yang berharga untuk kemajuan bangsa.

2. Good Governance

Faktor dan prasyarat Good Governance di seluruh struktur pemerintahan baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif tingkat nasional maupun di lingkungan pemerintahan di daerah. Good Governance atau tata pemerintahan yang baik merupakan se­perangkat tindakan dalam bidang politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola negara/pemerintahan dengan benar dan baik; yang menunjuk pada praktik pemerintahan yang bersih dalam penggunaan kewenangan di bidang politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola urusan negara dan masyarakat pada setiap peringkat dengan prinsip sidiq, amanah, tabligh, dan fatanah.

Syarat-syarat untuk terwujudnya Good Governance antara lain sebagai berikut: (a) Adanya partisipasi publik dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan., (b) Semua unsur masyarakat memiliki komitmen untuk menegakkan hukum, (c) Adanya transparansi (keterbukaan) dan akuntabilitas (pertanggungjawaban) dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, (d) Adanya kepekaan dan kepedulian dalam merespon tantangan dan problem masyarakat, (e) Mengutamakan kepentingan umum, yaitu adanya orientasi kepada konsensus untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat; (f) Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama/sederajat di depan hukum, (g) Adanya efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan SDA dan SDM, (h) Adanya visi strategis tentang negara yang maju dan berdaulat, (i) Kekuasaan yang kuat (powerfull) untuk menentukan nasib sendiri, dan tidak didikte oleh kekuatan asing.

3. Trust atau Kepercayaan

Kepercayaan (trust) merupakan modal terpenting untuk mentransformasikan Indonesia menjadi negara yang maju dan bermartabat tinggi sebagaimana dicapai oleh negara-negara lain. Kepercayaan terkait dengan penghargaan dan rasa aman dari berbagai pihak, baik dari rakyat di dalam negeri maupun berbagai pihak di luar negeri, bahwa bangsa dan pemerintah Indonesia memang dapat mengurus diri sendiri dengan sebaik-baiknya dan memberikan jaminan seluas-luasnya untuk kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Kepercayaan merupakan modal spiritual dan sosial yang terkait dengan dukungan rakyat dan pihak lain, kerja keras, hemat, jujur, amanah, dan kondisi-kondisi internal yang memungkinkan tumbuhnya segala hal yang positif dan hilangnya segala hal yang negatif di tubuh bangsa ini.

Kepercayaan di tubuh pemerintahan bukan sekadar berkaitan dengan legitimasi politik formal, tetapi juga berkaitan dengan kondisi good governance, termasuk pemerintahan yang tidak korupsi. Iklim investasi yang kondusif untuk kegiatan ekonomi juga terkait dengan tingkat trust atau kepercayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Terdapat kecenderungan bahwa faktor trust mengalami peluruhan di tubuh bangsa ini seperti indeks korupsi yang tinggi, country risk, buruknya etika kerja, dan pandangan negatif tentang negara lembek (soft state).

VII. PENUTUP

Indonesia lima tahun ke depan memerlukan revitalisasi visi dan karakter bangsa sebagai sebagai titik-tumpu dan strategi perubahan ke arah penguatan yang bersifat konsolidasi, percepatan, pengembangan, dan pembaruan. Startegi perubahan tersebut diperlukan dengan dasar pemikiran bahwa berbagai masalah, kesulitan, dan stagnasi yang menjadi beban nasional dan membuat bangsa ini kehilangan banyak peluang positif untuk bangkit karena dari segi idealisme dan fondasi kebangsaan sampai batas tertentu kehilangan orientasi visi dan karakter kepribadiannya sebagai bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Revitalisasi visi dan karakter tersebut dapat memacu akselerasi kemajuan bangsa, yang pilihan aspek dan strateginya secara prioritas dilakukan melalui revitalisasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya terutama untuk lima tahun ke depan. Revitalisasi visi dan karakter bangsa tersebut merupakan bagian penting dari reformasi kehidupan nasional di segala bidang kehidupan yang memiliki implikasi perubahan ke arah kemajuan pada masa berikutnya. Revitalisasi yang diagendakan itu dapat diwujudkan secara konsisten apabila didukung oleh faktor-faktor strategis yaitu adanya kepemim­pinan yang reformatif, tata pemerintahan yang baik, dan kepercayaan yang tinggi di tubuh bangsa ini. Selain itu diperlukan kemauan politik dan kerja keras pemerintah serta seluruh kekuatan politik yang melibatkan segenap komponen nasional termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai pilar strategis bangsa. Dengan segenap potensi, kesungguhan, dan ikhtiar yang dilakukan melalui revitalisasi yang strategis itu, disertai limpahan berkah Allah Yang Maha Kuasa, maka Indonesia akan menjadi bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat sebagaimana cita-cita kemerdekaan.

***