Kamis, 05 Februari 2009

Empat Pertanyaan untuk Muhammadiyah dan NU (II)


Oleh Syafii Maarif

Pertanyaan ketiga, apakah dalam benak pemimpin kedua sayap umat ini sudah pernah muncul gagasan dan wawasan tentang masa depan Indonesia dalam rentang waktu 20 tahun yang akan datang? Atau, kita membiarkan diri kita mengalir begitu saja sampai bangsa ini meluncur ke jurusan yang semakin tidak bermartabat karena elite yang main di panggung adalah mereka yang tunavisi? Saya paham bahwa tarikan politik kekuasaan sangat menggoda, ditampakkan atau disembunyikan oleh pemimpin kedua arus besar itu, tetapi haruslah selalu tersedia stok intelektual yang belajar berpikir sebagai negarawan, tidak larut dalam serbapragmatisme politik yang dapat menguras segala-galanya. Bahwa, kekuasaan itu penting, saya tidak menyangkal. Tetapi, yang lebih penting secara moral adalah jawaban terhadap pertanyaan: untuk apa berkuasa? Pertanyaan kunci ini tampaknya jarang singgah dalam otak para elite bangsa yang sedang menggelar dan mengadu retorika di panggung politik kekuasaan selama 10 tahun terakhir.

Pertanyaan keempat, apakah Muhammadiyah dan NU cukup puas dengan kondisi keislaman, seperti yang diamati dan dirasakan sekarang ini yang belum mampu menawarkan solusi komprehensif dan cerdas terhadap masalah-masalah bangsa, negara, dan kemanusiaan yang semakin hari semakin ruwet? Mengapa tokoh-tokoh mereka tidak berpikir jauh untuk membongkar warisan ijtihad lama yang mungkin sudah tidak relevan untuk memecahkan masalah kemanusiaan abad ini? Saya rasa, jawabannya sebagian terletak pada kesibukan luar biasa para tokoh itu dalam mengurus organisasi sehingga ketiadaan waktu untuk mengikuti arus pemikiran baru yang tidak kurang dahsyatnya dibandingkan warisan klasik.

Ironisnya, sebagian tokoh itu punya kecurigaan yang tinggi terhadap generasi pemikir muda yang baru muncul dan yang dinilai tidak sesuai lagi dengan kepribadian Muhammadiyah atau sudah menyimpang dari koridor aswaja. Apakah rumusan kepribadian Muhammadiyah atau doktrin aswaja sudah merupakan sesuatu yang final sehingga menjadi tabu untuk dibicarakan secara lebih mendalam?

Dengan mengajukan empat pertanyaan itu, masih ditambah, saya ingin mengetuk pintu hati dan pintu nalar para pemimpin kedua sayap umat itu untuk merancang dialog secara berkala. Tema-tema besar yang dapat diusulkan sebagai agenda menyangkut masalah kebudayaan, ekonomi, sosial, politik, moral, kemanusiaan, lingkungan, situasi global, kapitalisme, dan 1001 isu lainnya. Anak-anak muda mereka pasti akan membantu seniornya dalam menyiapkan bahan dialog inteletektual itu.

Melalui diskusi dan dialog yang jujur serta bermutu tinggi, pasti akan banyak sekali titik-titik temu yang akan diraih untuk kepentingan bangsa dan kemanusiaan. Generasi yang lebih tua dan mungkin sudah sangat mapan tidak boleh memandang enteng generasi baru yang sedang muncul dengan kapasitas intelektual dan komitmen yang mungkin di luar dugaan kita yang lebih senior.

Memandang generasi ini dengan sebelah mata adalah sebuah kecongkakan yang berasal dari 'perasaan serbatahu'. Padahal, realitas boleh jadi bertolak belakang dengan klaim yang demikian itu. Inilah sebuah penyakit orang tua. Saya berada dalam kategori itu, dalam format 'kultur museum' yang serbaantik, tetapi sudah hampir kehabisan stamina untuk berurusan dengan tuntutan zaman yang tak pernah berhenti bergulir. Saya sampaikan ini semua agar kita yang lebih senior jangan sampai melecehkan kuncup-kuncup segar yang mulai mekar karena mereka itulah nanti pada masanya yang akan meneruskan kafilah perjalanan panjang yang telah dirintis dan dikembangkan oleh generasi yang lebih awal.

Melalui kritik diri ini, saya semakin sadar betapa berjibunnya kekurangan dan kelemahan yang diidap oleh kita yang lebih tua, tetapi sebagian tidak mau mengakui. Inilah di antara sebab seakan-akan kesenjangan berpikir antargenerasi tidak dapat dijembatani. Rumusan yang benar tidak demikian, tetapi ketidaksediaan untuk saling membuka diri secara berani dan jujur merupakan faktor yang menyulitkan berlangsungnya dialog konstruktif antara kedua generasi itu. Padahal, corak masa depan kita di ranah pemikiran akan sangat ditentukan oleh hasil dialektika yang terus-menerus dalam upaya mempertautkan kesenjangan visi intelektual antargenerasi yang sebenarnya alami belaka.

Tidak ada komentar: