Jumat, 27 Februari 2009

Faktor Modal Sosial Gerakan Muhammadiyah



Almisar Hamid,
Dosen FISIP Univ Muhammadiyah Jakarta.

Muhammadiyah--salah satu gerakan dakwah Islam terbesar di Indonesia selain NU--pada 5-8 Maret 2009 ini akan mengadakan tanwir di Lampung. Tanwir adalah pertemuan nasional di bawah muktamar. Para pesertanya adalah pimpinan wilayah (level propinsi), pimpinan majelis dan lembaga (badan-badan pembantu organisasi), serta pimpinan organisasi-organisasi otonom (ortom), seperti Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, IMM, dan IPM. Agenda Tanwir Muhammadiyah ini biasanya mengangkat persoalan aktual, baik di dalam Muhammadiyah maupun di luarnya (umat Islam dan bangsa Indonesia). Di dalam Muhammadiyah, yang aktual adalah banyaknya kader terjun ke politik praktis. Sedangkan di luar Muhammadiyah, tentang pemilu (masalah bangsa) dan dunia Islam masih sekitar kebiadaban Israel terhadap bangsa Palestina. Apakah tanwir mengusung agenda tersebut? Itu bisa terlihat dari tema tanwir tersebut, yakni Muhammadiyah membangun visi dan karakter bangsa.

Melalui tanwir ini diharapkan, Muhammadiyah makin kokoh sebagai gerakan kultural, gerakan membangun masyarakat melalui modal sosial, dan tidak tergoda dengan politik praktis yang rawan konflik juga kepentingan. Bagaimana modal sosial menjadi kekuatan dalam gerakan Muhammadiyah? Lebih dahulu ada baiknya melihat perjalanan gerakan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, begitu kader Muhammadiyah menyebutnya.

Menurut kalender hijriyah, tahun 1430 H ini Muhammadiyah telah memasuki usia seratus tahun (satu abad). Sekadar untuk diketahui, gerakan dakwah ini resmi berdiri pada 8 zulhijah 1330 H/bertepatan pada 18 November 1912 M di Kota Yogyakarta.

Seabad adalah suatu usia yang sangat panjang jika dibandingkan anak manusia. Jika anak manusia itu masih ada, umumnya mereka sudah tergolek di tempat tidur dan tidak mandiri lagi. Berbeda dengan anak manusia, Muhammadiyah seperti lambangnya, matahari bersinar, tampaknya terus memancarkan sinarnya, tidak hanya di bumi Indonesia, tetapi juga mencapai wilayah ASEAN lainnya, Eropa, dan Timur Tengah.

Luasnya pancaran sinar Muhammadiyah tidak lepas dari jasa para pemimpin, yang mendapat kepercayaan dari jamaahnya atau warganya untuk memimpin organisasi gerakan kultural ini. Sejak gerakan dakwah ini didirikan sudah tercatat 14 orang yang menjadi nakhoda gerakan modern Islam, begitu Deliar Noer menyebutnya. Mereka adalah KH Ahmad Dahlan (1912-1923), KH Ibrahim (1923-1932), KH Hisyam (1932-1936), KH Mas Mansur (1936-1942), Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953), AR Sutan Mansur (1952-1959), HM Yunus Anis (1959-1968), KH Ahmad Badawi (1962-1968), KH Fakih Usman/HAR Fakhrudin (1968-1971), HAR Fakhrudin (1971-1990), KH Ahmad Azhar Basyir, MA (1990-1995), HM Amien Rais/HA Syafii Maarif (1995-2000), HA Syafii Maarif (2000-2005), dan Din Syamsuddin (2005-2010).

Perjuangan KH Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah seperti perjuangan para anbiya (nabi-nabi), tidaklah ringan. Saudagar santri itu, begitu Zaim Uchrwi menyebutnya (Republika, 26/12/2008), pernah dituduh sudah kafir karena membangun sekolah model sekolah-sekolah Belanda. Sementara itu, sekolah-sekolah Indonesia yang umumnya pesantren, tidak memiliki kurikulum pelajaran sains (aljabar, ilmu ukur, kimia, fisika, biologi, kedokteran, dan lain-lain).

Penting diketahui, pelajaran sains tersebut adalah milik umat Islam. Penemunya semua umat Islam pada abad pertengahan (dinasti Umayyah dan Abbasiyah). Ilmuwan Eropa mengembangkan ilmu itu ketika mereka belajar pada ilmuan Islam, terutama di Andalusia (bagian dari negara Spanyol sekarang).

Jadi, tidak heran bila KH Ahmad Dahlan iri dengan sekolah-sekolah belanda dan menirunya melalui sekolah-sekolah Muhammadiyah. Inilah yang disebut Prof Amien Rais sebagai barang hilangnya kaum Muslimin (Ilmu pengetahuan) yang harus direbut kembali (Jurnal Media Inovasi No.1/1996). Dalam tulisannya, Tauhid Sosial:Doktrin Perjuangan Muhammadiyah--doktrin ini dapat dikatakan sebagai penyubur gerakan (penulis)--Amien mengangkat empat doktrin perjuangan Muhammadiyah dan salah satunya adalah doktrin Pencerahan Umat. Amien mengatakan, para pendahulu tokoh Muhammadiyah tidak pernah bosan mengingatkan, masyarakat Islam Indonesia bahwa ilmu pengetahuan adalah barang hilangnya kaum Muslimin yang harus direbut kembali.

Pada tahap awal pertumbuhannya, Muhammadiyah, menurut Amien, tidak membangun kongsi-kongsi dagang, tetapi membangun sekolah sebanyak mungkin. Pertimbangannya terlalu jelas, yakni kebodohan telah menjadi musuh terbesar umat Islam dan mustahil umat Islam dapat membangun masa depan yang lebih baik, jika kebodohan dan keterbelakangan tetap saja melekat lengket dalam kehidupan mereka. Lewat doktrin enlightenment bagi umat Islam, Muhammadiyah merintis sekolah umum sebanyak-banyaknya.

Seperti dikemukakan di atas, tulisan ini mencoba mengangkat bagaimana faktor modal sosial (social capital) menjadi kekuatan di dalam gerakan Muhammadiyah. Sehingga, organisasi gerakan dakwah ini mampu melakukan modernisasi dan pembangunan, jauh lebih dahulu dari negara, terutama melalui pendidikan.

Penting diketahui, sejak beberapa tahun terakhir ini ramai dibahas tentang modal sosial. Melalui kekuatan modal sosial ini diharapkan dapat meringankan beban pembangunan di Indonesia yang selama ini mengandalkan modal finansial dan modal manusia atau human capital.

Apa itu modal sosial? Dalam bukunya yang terkenal, Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity (1995), Fukuyama berhasil meyakinkan bahwa modal sosial memiliki kekuatan untuk memengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan sosial suatu negara. Negara-negara yang dikategorikan sebagai high trust societies, menurut Fukuyama, cenderung memiliki keberhasilan ekonomi yang mengagumkan. Sebaliknya, low trust societies cenderung memiliki kemajuan dan perilaku ekonomi yang lebih lamban dan inferior.

Fukuyama (1995; 1999) dalam Edi Suharto (2008) mendefinisikan modal sosial sebagai seperangkat norma atau nilai informal yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Kunci dari modal sosial adalah trust atau kepercayaan. Dengan trust, lanjut Fukuyama, orang-orang bisa bekerja sama dengan baik. Karena, ada kesediaan di antara mereka untuk menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Trust bagaikan energi yang dapat membuat kelompok masyarakat atau organisasi dapat bertahan. Trust yang rendah mengakibatkan banyak energi terbuang karena digunakan untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan. Mengacu pada pandangan Fukuyama tentang modal sosial, menarik disimak pertumbuhan dan perkembangan Muhammadiyah lewat amal usahanya yang tidak sedikit, terutama dengan adanya sekolah-sekolah. Meminjam pandangan Amien Rais, di Muhammadiyah itu sudah lama tertanam doktrin yang disebutnya 'menggembirakan amal saleh'. Dalam benak warga Muhammadiyah, ujar Amien, fungsi organisasi antara lain untuk memobilisasikan atau dalam bahasa Muhammadiyah, untuk menggembirakan amal saleh kolektif. Menurut penulis, dilihat dari perspektif ini, lahirnya Muhammadiyah pada satu abad yang lalu merupakan terobosan besar.

Sebelum Muhammadiyah lahir, umat Islam sudah terbiasa menggerakkan amal saleh dalam berbagai bidang kehidupan, akan tetapi hanya bersifat kecil-kecilan di atas inisiatif individual belaka. Setelah Muhammadiyah lahir, kemampuan dan semangat beramal dari berbagai individu Muslim dipadukan lewat sebuah organisasi. Karena di organisasi, lewat pembagian kerja yang rapih, umat Islam dapat melakukan lompatan-lompatan amal saleh secara kuantitatif dan kualitatif. Apa yang tidak mungkin dikerjakan melalui kemampuan individual, akhirnya dapat dilaksanakan dengan bagus lewat organisasi. Dan, organisasi itu bernama Muhammadiyah.

Menurut mantan ketua MPR itu, sampai sekarang, semangat beramal saleh tetap kuat menghujam dalam sikap hidup kalangan warga Muhammadiyah. Dilihat dari sisi modal sosial, terbangunnya gerakan amal saleh--di antaranya untuk mendirikan sekolah-sekolah--melalui kekuatan jamaah di Muhammadiyah, antara lain merupakan trust atau kepercayaan dari jamaah kepada pemimpin-pemimpin Muhammadiyah yang umumnya hidup sederhana atau jauh dari bermewah-mewah, jauh dari korupsi, ikhlas, tekun bekerja, dan tidak banyak bicara. Oleh karena itu, jika berharap membangun melalui modal sosial, seyogyanya pemimpin bangsa ini belajar dari kehidupan pemimpin Muhammadiyah di atas. Dengan demikian, kepercayaan rakyat akan tumbuh sehingga mereka rela berkorban demi negeri tercinta ini. Wallahu a'lam bis showwab.

(-)

Tidak ada komentar: