Minggu, 02 Agustus 2009

Di Balik Dapur Politik Syafii Maarif


DALAM sebuah kesempatan, Prof Ahmad Syafii Maarif, salah seorang sesepuh Muhammadiyah yang lebih akrab dipanggil Buya Syafii, pernah memaparkan alasannya secara panjang lebar tentang ”Mengapa Syafii mempromosikan JK dalam Pilpres 2009?” (25/7/09). Menarik mengkritisi terutama persinggungannya dengan Prof Amien Rais sebagai salah satu kontestan Pilpres 2004 lalu. Sejenak barangkali kita akan terkejut soal apa hubungannya Amien Rais dengan JK dalam benak buya.

Karenanya, tanggapan ini dimaksudkan sebagai bentuk kritik, pelurusan opini, dan berbagi fakta dalam wacana publik, terutama dalam rangka demi menjaga keutuhan bersama, khususnya maslahat warga besar Muhammadiyah sendiri.
Dalam pemaparannya, Buya Syafii membeberkan apa yang disebutnya ”rahasia” dapur politik pribadinya. Membaca pemaparannya, saya kira buya akan memfokuskan pembahasannya tentang (berbagai) alasannya mempromosikan JK. Tetapi sungguh di luar alur pembahasan itu, apa yang diutarakan Buya merembet ke mana-mana dan makin tidak jelas arahnya. Salah satunya ketika buya menyebut nama Amien Rais yang pernah didukungnya pada putaran pertama Pilpres 2004 ternyata kandas dan Buya merasa tak sedap dengannya.

Bercerita tentang Amien Rais dalam konteks itu sama sekali tidak ada relevansinya; tidak menambah bobot pernyataannya dan sebaliknya malah justru dapat merusak hubungan silaturahmi dan kebersamaan dalam keluarga besar persyarikatan (Muhammadiyah) sendiri.

Cara ”buka-bukaan” atau ”blak-blakan” yang dilakukan Buya Syafii bukan gaya khas orang Timur, tetapi lebih sebagai sekadar justifikasi terhadap apa yang disebutnya upaya memperjuangkan dan menyehatkan kultur demokrasi serta dongeng tentang latar belakang masalah yang diangkatnya.
Berbagi Tabu? Sulit untuk dimengerti seseorang yang banyak dikagumi karena kecerdasan dan keilmuannya yang mapan serta menjadi panutan umat selama ini, tetapi dalam satu hal mengambil langkah berisiko dengan membagi rahasia dapur politik pribadinya di tempat umum.

Mengapa masalah yang mengganjal dalam lipatan sejarah pribadi tersebut dibeberkan tanpa terlebih dahulu memikirkan ulang berbagai akibatnya? Bukankah kalau buya masih mencintai Muhammadiyah seharusnya dapat mengajak warganya untuk duduk bersama dan berbicara dari hati ke hati khususnya tentang rahasia dapur politik pribadinya itu.

Pembeberan masalah ini sebenarnya merupakan tindakan tabu. Tetapi itu bagi orang lain yang suka (dengan gaya politik) buka-bukaan. Apa yang disampaikan oleh buya dapat dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting, berharga, dan jantan.

Apa yang disampaikan, meskipun dianggapnya memang ada benarnya, tetapi sebaiknya dipikirkan ulang. Kalaupun perlu dijadikan wacana bersama, seyogyanya dapat dilakukan dengan cara-cara yang lebih santun dan sejuk. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Dia sudah mengobral masalah dalam negeri Muhammadiyah ke muka umum tanpa memikirkan ulang akibat-akibat yang akan ditimbulkannya di kemudian hari.
Fakta tentang Buya Tetapi kalau dalam kamus politiknya, Buya Syafii memang sengaja menerapkan demitologisasi politik tabu. Dalam konteks ini fakta tentang buya agaknya perlu juga untuk disingkapkan agar tersampaikan pesan-pesan keterbukaan (baca: buka-bukaan) yang fair dan dapat juga dimaknai sebagai wahana saling menyapa di muka umum atau sekadar wacana tanding. Sebagian kecil rahasia dapur politik pribadi saya sebagai seorang warga persyarikatan perlu disampaikan berkenaan dengan fakta tentang Buya Syafii.

Pertama, pada Pilpres 2004, Buya Syafii pernah mengatakan bahwa ”Muhammadiyah netral, boleh memilih siapa saja”. Tetapi dalam Pilpres Putaran II, Buya Syafii berkampanye untuk pasangan SBY-JK di Aceh. Semua keluarga Muhammadiyah di Aceh mengetahuinya dan menjadi saksinya. Kedua, salah satu statemen yang disukai Buya Syafii berbunyi, ”Muhammadiyah adalah tenda besar, tidak boleh berpolitik”.

Tetapi Buya sendiri malah menjadi pimpinan atau anggota Baitul Muslimin PDIP, sebuah lembaga politik yang dianggap sebagai sayap dakwahnya. Ketiga, pada Pilpres 2009, beliau terang-terangan mendukung pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win). Alasannya, karena ingin melihat Indonesia menjadi lebih baik.

Sekian tahun lalu, manuver gaya politik Buya Syafii seperti di atas mungkin masih dianggap layak. Tetapi sekarang, ketika masyarakat makin melek politik, mereka menjadi lebih mengetahui bahwa dengan gembar-gembor netral politik seperti itu menunjukkan bahwa sebenarnya Buya Syafii sedang bermain api politik. Dengan langkah politiknya, kasihan Muhammadiyah, juga kasihan buya.
Ontologi Dapur Membawa urusan dapur pribadi ke ranah publik pasti bukan tanpa maksud dan pesan. Barangkali Buya Syafii sudah mengukur risiko atau polemik yang bakal muncul. Karenanya, setiap orang berhak memberikan tafsirannya, terutama tentang apa saja yang membentuk opini buya tentang dapur pribadinya itu.

Melihat basis ontologis dapur pribadi Buya setidaknya tergambar kelesuan psikologis yang melatarbelakangi alur pikir. Pintu komunikasi internal Muhammadiyah macet karena benturan sayap liberal dan fundamentalis dalam tubuh persyarikatan ini. Buka-bukaan gaya Buya yang mengumbar perasaan tak sedap bukan bagian dari memperjuangkan kultur demokrasi, namun justru mendegradasi kualitas demokrasi kita menjadi sekadar curhat tanpa arah, seperti sebuah acara talkshow di televisi swasta.

Pendek kata, demokrasi yang menguat seharusnya dijaga oleh semua elemen sosial, termasuk buya sendiri sebagai seorang tokoh publik. Ada etika dalam ruang publik. Kultur demokrasi minus etika dapat melahirkan anarki, sesuatu yang tidak sadar telah diciptakannya sendiri. (80)

—Robby H Abror, SAg, MHum, pengajar filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tidak ada komentar: