Kamis, 11 Desember 2008

Koalisi Partai Islam Perlu untuk Representasi Umat

Kamis, 11 Desember 2008 | 01:13 WIB

Jakarta, Kompas - Koalisi partai Islam dan partai berbasis massa Islam perlu untuk memberikan kemajuan bagi umat dan agar representasi politik Islam tetap berlanjut serta marwah politik Islam tetap terjaga.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menyampaikan pandangannya ini dalam peringatan Milad Ke-99 Muhammadiyah di Jakarta, Selasa (9/12) malam. ”Kekuatan politik Islam yang tersebar di banyak parpol jangan menjadi faktor kelemahan, tetapi merupakan kekuatan Islam pada ranah politik,” ujarnya.

Banyaknya parpol Islam, menurut Din, selain berpotensi memecah belah umat Islam, juga dapat membawa kekalahan politik. Apalagi selama ini perolehan suara parpol Islam dan parpol berbasis massa Islam pada beberapa pemilu cenderung konstan di bawah 40 persen.

”Kalaupun ada parpol yang memperoleh tambahan suara, adalah karena mengambil suara saudaranya sendiri dari parpol Islam lain,” ujarnya.

Ajakan ini, menurut Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Irgan Chairul Mahfiz, merupakan ajakan yang simpatik dan perlu direspons secara positif. Keinginan beraliansi sesama Partai Islam merupakan kehendak yang wajar dan merupakan cita-cita bersama.

”Bagaimanapun sesama partai Islam dan partai berbasiskan umat Islam jelas memiliki irisan platform, kepentingan politik, dan semangat keagamaan yang sama sehingga memudahkan untuk merealisasikan cita-cita dan idealisme partai Islam serta umat Islam,” ujarnya.

Waspadai politisasi agama

Sementara itu, berbagai kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan rawan dijadikan sebagai alat tawar politik menjelang Pemilu 2009. Komodifikasi agama menjadi isu politik biasanya dilakukan melalui perumusan peraturan dan berbagai kebijakan publik.

Demikian catatan laporan tahunan The Wahid Institute 2008 ”Pluralisme Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia” yang disampaikan peneliti The Wahid Institute, Rumadi, Rabu siang.

Dengan menggunakan isu demokratisasi, isu-isu eksklusivitas dalam beragama didesakkan bukan hanya kepada pemerintah, tetapi sengaja dipelihara sebagai alat tawar dukungan pada pemilu nanti.

Partai politik diharapkan tidak larut dalam isu tersebut, tetapi justru turut membangun kedewasaan publik dalam menerima keberagaman yang ada dalam masyarakat. Parpol tak perlu mengaduk-aduk emosi keagamaan masyarakat dengan jargon dan isu agama hanya demi memperoleh suara semata.

Selama Januari-November 2008, The Wahid Institute mencatat ada 232 kasus dalam 280 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sedangkan laporan Setara Institute 2007 tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan pada rentang waktu yang sama menunjukkan adanya 135 kasus dalam 185 tindak pelanggaran.

Menurut Rumadi, kasus pelanggaran yang paling dominan adalah kekerasan berbasis agama (55 kasus) dan penyesatan (50 kasus). Penguasaan agama atas ruang publik dengan tampilan yang tidak ramah dan mengobarkan persaingan antarumat semakin meningkat.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim mengatakan, terlibatnya negara sebagai pelaku pelanggaran kebebasan beragama menunjukkan ketidakmampuan negara dalam memfasilitasi dan melindungi semua warga negara akibat lemahnya aparat penegak hukum.(mam/mzw)

Tidak ada komentar: