Rabu, 11 Maret 2009

Fatsun Politik Muhammadiyah

Ridho Al-Hamdi
(Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah)


Muhammadiyah memiliki hajat bernama tanwir yang diadakan pada 5-8 Maret 2009 lalu di Bandar Lampung, sebuah forum terbesar di Muhammadiyah setelah muktamar. Salah satu agenda besar yang dibahas adalah meneguhkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam menuju terciptanya masyarakat yang mandiri dan berkeadaban. Sebulan kemudian, tepat 9 April 2009, pesta demokrasi digelar di republik ini untuk memilih para anggota legislatif. Jarak yang tidak jauh antara tanwir dan pemilu, apalagi tanwir diadakan sebelum pemilu.

Sebagai organisasi Islam terbesar, Muhammadiyah memiliki tanggung jawab moral untuk mengarahkan masa depan negeri ini. Apalagi tema dalam tanwir adalah membangun visi dan karakter bangsa. Sebuah momentum yang cukup tepat bagi Muhammadiyah untuk berkontribusi dalam menuntun jalannya demokrasi di negeri ini. Selain itu, kader-kader Muhammadiyah sudah tersebar di berbagai sektor pemerintahan sehingga kualitas dan kapabilitas mereka perlu dikembangkan ke jenjang yang lebih luas lagi. Kader Muhammadiyah juga kader bangsa, sehingga bukan menjadi sesuatu yang mengherankan jika ada kader Muhammadiyah yang berkontestasi di tingkat nasional. Toh, dia juga warga negara Indonesia yang memiliki hak sama dengan warga negara lain yang non-Muhammadiyah.

Jika pada Pemilu 2004 Muhammadiyah memiliki kader yang maju sebagai salah satu kandidat presiden, mengapa pada Pemilu 2009 ini tidak berperan juga. Ini bukan berarti ingin mengulangi kesalahan, tetapi justru belajar dari sejarah untuk menciptakan sejarah baru. Realitas lahirnya Partai Matahari Bangsa merupakan bentuk 'kekecewaan' terhadap Partai Amanat Nasional yang selama ini tidak bisa menampung aspirasi warga Muhammadiyah. Padahal, pendiri partai berwarna biru ini adalah mantan ketua umum Muhammadiyah.
Atas dasar realitas tersebut di atas, muncul egoisme di kalangan elite gerakan ini, mengapa kader Muhammadiyah tidak maju sebagai salah satu kandidat presiden? Di antara para pimpinan Muhammadiyah yang popularitasnya cukup tinggi adalah Dien Syamsuddin, yang sekarang menjabat sebagai ketua umum PP Muhammadiyah. Popularitasnya sebagai cendekiawan Muslim tidak hanya terdengar di Indonesia, gaungnya bahkan hingga ke taraf internasional. Sebuah modal sosial yang cukup kuat untuk berkontestasi dengan para pesaing lainnya.

Gelombang demokrasi membuka keran bagi semua warga negara untuk terlibat sebagai pemain, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kalaupun hanya sekadar menjadi penonton, harus menjadi penonton yang kritis. Di antara salah satu pemain ataupun penonton itu pasti ada warga Muhammadiyah. Namun, Muhammadiyah sudah sejak lama menetapkan garisnya untuk tidak berpolitik praktis, tetapi tetap menghormati dan tidak buta terhadap politik. Jika berpolitik praktis, imbasnya akan terseret pada struktur Muhammadiyah itu sendiri.

Sebagai contoh, jika ada ketua PWM yang maju sebagai calon legislatif dan dia menang dalam pemilihan, akan muncul logika di masyarakat bahwa untuk mendapatkan kursi legislatif tidak harus kemana-mana (apalagi mengeluarkan banyak biaya), tetapi cukup merebut kursi ketua PWM saja. Lalu, untuk merebut kursi ketua PWM harus melalui tahap persaingan ketat di antara para calon yang bersaing. Tidak menutup kemungkinan, akan terjadi segala cara untuk mendapatkan jabatan ketua PWM, termasuk money politic dan black campaign di antara para calon. Jika hal ini terjadi, struktur Muhammadiyah akan terseok-seok.

Karena itulah, melihat adanya perkembangan tersebut, Muhammadiyah mengeluarkan surat keputusan tentang pelarangan bagi pimpinan Muhammadiyah, ortom, dan amal usaha untuk terlibat dalam politik praktis, yaitu maju sebagai calon legislatif, kepala daerah, ataupun DPD. Jika para kadernya tetap maju, harus meninggalkan jabatannya di struktur Muhammadiyah. Di samping itu pula, Muhammadiyah mungkin belajar pada sejarah bahwa di Pemilu 2004 telah gagal mengantarkan kadernya menuju kursi RI satu, maka sejarah itu jangan berulang lagi. Sebagian opini publik mengatakan bahwa orang sekaliber tokoh reformasi Amien Rais saja kalah, apalagi orang lain.

Sebagaimana kita tahu, bahwa Dien Syamsuddin sudah bergegas akan maju menjadi salah satu kandidat yang akan meramaikan bursa calon presiden ketujuh di republik ini. Hal ini terus menjadi perbincangan liar di internal Muhammadiyah. 'Bola liar' itu seperti tak berpangkal. Ada beberapa hal catatan penting yang dikemukakan di sini. Pertama, Muktamar Muhammadiyah Malang 2005, melahirkan adanya kontrak moral di antara ketiga belas pimpinan Muhammadiyah yang terpilih (berikut tanda tangannya), bahwa mereka akan mengabdi di Muhammadiyah hingga akhir periode. Artinya, mereka semua telah berkomitmen atau mewakafkan diri untuk benar-benar berjuang di Muhammadiyah.

Kedua, realitas saat ini mengatakan bahwa Muhammadiyah belum memberikan restu kepada Dien untuk maju sebagai capres, terutama di kalangan elite. Ketiga, partai yang mengusung Dien maju sebagai calon presiden bukanlah partai besar yang sudah teruji pada pemilu-pemilu sebelumnya, apalagi basis suaranya belum bisa dibuktikan secara konkret. Sebagian masyarakat mengatakan, partai pengusung Dien adalah partai pecahan dan setiap partai pecahan biasanya sulit untuk menjadi partai besar. Keempat, kader-kader Muhammadiyah tersebar di parelemen dan partai yang berbeda-beda sehingga menjadi sulit bagi Dien untuk bisa merangkul mereka dan membulatkan suara pada satu fokus isu. Kelima, kecenderungan pemilih warga Muhammadiyah adalah pemilih rasional (rational voter), walaupun masih ada sebagian yang cenderung ideologis.

Tanwir yang akan berlangsung pada awal Maret nanti, merupakan arena netral yang siapa saja bisa memanfaatkannya sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Karena itu, sebelum itu semua terjadi, kita jangan mempolitisasi tanwir sebagai ajang untuk merapatkan isu tertentu, misalnya pencalonan presiden. Tanwir merupakan forum yang dihadiri oleh semua perwakilan wilayah, maka hendaklah forum ini dijadikan sebagai arena untuk membangun negeri ini menjadi negeri yang memiliki karakter yang bermartabat di hadapan semua negara.

Tujuan tersebut di atas jauh lebih mulia daripada tujuan-tujuan pragmatis yang kepentingannya hanya sesaat. Jangan sekali-kali menodai tanwir dengan kepentingan politik praktis segelintir orang. Muhammadiyah jangan terlalu lelah dan kehabisan energi pada tahun yang serbademokrasi ini. Karena, Muhammadiyah memilik fatsun dalam berpolitik. Masih ada pekerjaan rumah yang akan menanti, yaitu Muktamar Muhammadiyah 2010 yang agendanya jauh lebih besar dan tentu menguras pemikiran yang sangat mendalam. Pada muktamar satu abad inilah, pikiran-pikiran Ahmad Dahlan akan diformulasikan ulang untuk menginjak pada abad kedua. Kiranya, Dien dan warga Muhammadiyah bisa memahami realitas ini.

Tidak ada komentar: