Sabtu, 07 Maret 2009

MEMAHAMI DAN MELAKSANAKAN KETENTUAN LARANGAN RANGKAP JABATAN POLITIK DI MUHAMMADIYAH (1)


DR. H Haedar Nashir, M.Si

Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 kembali mengeluarkan kebijakan larangan rangkap jabatan politik. Maksudnya larangan rangkap jabatan antara jabatan politik dengan jabatan tertentu di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 160/KEP/I.0/B/2008 tentang Ketentuan Penca-lonan Anggoa DPR/DPRD dan DPD Dari Lingkung-an Persyarikatan Mu-ham-madiyah. Kebi-jakan ter-sebut se-be-nar-nya merupakan kelanjutan atau rangkaian dengan keputusan sebe-lum–nya yakni Kepu-tus-an PP Muham-madiyah no-mor 149/2006 tentang Kon-solidasi Pimpinan Persyarikatan dan Amal Usaha Muham-ma-diyah; Keputu-san nomor 101/2008 tentang La-rangan Rangkap Jabatan, dan keputusan-ke-pu-tusan lainnya yang sena-pas. Semuanya me-rupakan penjabaran dari khittah dan kelan-jut-an atau penyempurnaan dari kepu-tusan-keputusan larangan rangkap jabatan politik dan organisasi sejenis yang berlaku dalam Mu-hammadiyah selama ini, Kecuali yang me-nyangkut penca-lonan anggota Dewan Perwa-kilan Dae-rah (DPD), sebenarnya kandungan isi kebijakan tersebut bukanlah hal baru.

Sebagaimana keputusan-kepu-tus-an sebe-lum-nya, Keputusan PP Muham-ma-diyah no-mor 160/2008 dila-ku-kan mela-lui Rapat Pleno Pim-pinan Pusat Muham-madiyah. Pleno ter-sebut dilak-sa-nakan di Kantor Yogyakarta pa-da 24 Oktober dan langsung dipimpin Ketua Umum PP Muham-madiyah, yang pem-bahas-an-nya ber-langsung penuh argu-men-tasi, dia-logis, dan jauh dari ngotot-ngototan. Setelah hal-hal yang tidak disepakati disisihkan, pleno akhirnya memu-tuskan apa yang di kemudian hari berupa Surat Keputusan nomor 160/2008. Keputusan tersebut bukan pikiran atau sikap perorangan dan tidak ada anggota PP Mu-hammadiyah yang tidak setuju dalam rapat itu, sehingga hasil-nya merupakan kepu-tusan kolektif, resmi, dan bersifat keputusan orga-ni-sasi. Dalam proses pembahasan bah-kan kalimat-kalimat pokok ditulis di pa-pan tulis sidang, sehingga benar-benar berdasar pada musyawarah yang me-nga-lir secara wajar sebagaimana lazim dalam mu-sya-warah atau rapat Muham-madiyah.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah sama sekali tidak bertindak sewenang-wenang dan melampaui wewenang yang diberikan Muk-tamar dalam menentukan kebijakan-kebijakannya, termasuk soal larangan rang-kap jabatan politik. Kenapa demikian? Per-tama, bahwa Pimpinan Pusat adalah pimpin-an tertinggi yang memimpin Muham-madiyah secara keseluruhan dan Pimpi-nan Pusat ter-diri atas sekurang-kurang-nya tiga belas orang, dipilih dan dite-tap-kan oleh Muktamar un-tuk satu masa jabatan dari calon-calon yang diusul-kan oleh Tanwir (Bab VI, pasal 11, ayat 1 dan 2); sehingga ke-13 anggota PP Muhammadiyah itu bertindak untuk dan atas nama organisa-si Muham-ma-diyah. Ke-dua, Pimpinan Pusat bertugas (a) Menetap-kan kebijak-an Muham-madiyah berdasarkan ke-putu-san Muktamar dan Tanwir, serta me-mim-pin dan mengendalikan pelaksa-naan-nya; (b) Membuat pedoman kerja dan pem-ba-gian wewenang bagi para anggo-tanya; (c) Mem-bimbing dan meningkat-kan amal usaha serta kegiatan Wilayah; dan (d) Membina, mem-bim-bing, meng-in–te-grasikan, dan mengoordi-nasikan kegia-tan Unsur Pembantu Pimpinan dan Organisasi Oto-nom tingkat Pusat (ART pasal 9, ayat 1). Karena itu meru-pakan we-wenang, tang-gungjawab, dan tu-gas Pimpinan Pusat untuk menen-tukan ke-bijakan-kebijakan penting organi-sasi yang nantinya akan dilapor-kan kepada Tanwir dan Muktamar atas segala kepu-tusan-nya. Jadi, setiap ke-bijakan bukan kepu-tu-san orang-per-orang, yang lapor-an atau pertang-gung-jawaban-nya pun disampaikan kepada Tanwir atau Muk-tamar serta bukan kepa-da perorangan.

Dalam menentukan kebijakan la-rang–an rangkap jabatan politik dengan jabat-an-jabatan di lingkungan organi-sasi Muhammadiyah sebagaimana se-jum-lah Surat Keputusan yang dike-luar-kannya, Pim-pinan Pusat Muham-madiyah berpi-jak pada sejumlah pertim-bangan yang kuat dan organisatoris. Dalam SK PP Mu-hammadiyah Nomor 160/2008 dise-but-kan dua pertim-bangan, yakni: (1) bahwa Muham-ma-diyah adalah Gera-kan Islam, Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Mun-kar dan Tajdid yang beramal dalam segala bi-dang kehi-dupan manusia dan ma-sya-rakat, serta tidak bergerak dalam bidang po-litik praktis; (2) bahwa calon anggota dan ang-gota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)/Dewan Perwa-kilan Daerah (DPD) dituntut untuk memusat-kan per-ha-tian, pikiran, dan tu-gas-nya secara se-rius dan optimal pada tu-gas-tu-gas-nya sebagai anggo-ta legis-latif. Dari pertim-bangan tersebut terkan–dung pertimbangan ideal (umum) dan riil (konkret) atau prak-tis, se-hingga apa yang dipu-tus-kan benar-benar memiliki san-daran yang jelas, serta tidak asal me-mutuskan.

Pertimbangan lain da-pat dikaitkan dengan hal-hal yang sifatnya orga-ni-sa-toris-kon-stitu-sio-nal. Se-suai dengan wewe-nang, tanggung- jawab, dan tu-gas yang dimiliki seba-gai-mana dise-butkan dalam AD/ART; Pimpinan Pusat Mu-hammadiyah mengam-bil kebi-ja-k-an ber-dasarkan berba-gai kepu-tus-an Tanwir dan Mukta-mar serta apa yang selama ini telah menjadi kebija-kan orga-nisasi yang ber-langsung lama. Pertama, berdasarkan pada Khit-tah Muham-ma-diyah. Kedua, da-lam ART terbaru dinya-ta-kan bahwa di an-tasa sya-rat Anggota Pimpinan Mu-ham-madiyah ialah “Tidak merangkap ja-batan dengan pimpinan organisasi po-litik dan pim-pinan organi-sasi yang amal usaha-nya sama dengan Muham-madiyah di semua tingkat” (ART pasal 1, huruf h.). Ketiga, berbagai Surat Keputusan Pimpi-nan Pusat Muham-ma-diyah sebe-lum ini, ter-ma-suk nomor 20/2005, dan pada periode-periode se-te-lah Muktamar tahun 1971 di Ujung Pan-dang dan tahun 1978 di Sura-baya, yang mem-berlakukan larang-an rangkap ja-batan po-litik. Keem-pat, Muk-tamar Mu-ham–ma-di-yah ke-45 di Malang tahun 2005 yang se-cara tegas menyata-kan “Menolak upaya -upaya un-tuk men-dirikan parpol yang memakai atau meng-gunakan nama atau simbol-simbol Per-sya-ri–katan Muham-madiyah” (Ke-pu-tus-an Umum point VI). BER-SAMBUNG


Tidak ada komentar: