Sabtu, 07 Maret 2009

Prof. DR. HM Amien Rais, MA:


Jika Merangkul Semua Partai,
Muhammadiyah Bisa Pingsan Berdiri!

Pesta demokrasi di Indonesia akan segera digelar tahun ini. Di tengah-tengah persiapan partai-partai politik menuju perhelatan akbar tahun ini, tidak sedikit para aktivis Muhammadiyah terjun ke dunia politik praktis. Banyak pengurus maupun anggota Muhammadiyah berebut mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg) maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Fenomena semacam ini sangat mengkhawatirkan, karena Muhammadiyah bisa diperalat untuk mencapai tujuan politik tertentu.

Dalam kondisi genting semacam ini, bagaimanakah agar idealisme dalam ber-Muhammadiyah tetap terjaga dan aspirasi politik warga persyarikatan dapat tersalurkan lewat partai-partai politik yang akan bertarung di ajang pemilu nanti? Berikut ini petikan wawancara Mu’arif dari Suara Muhammadiyah dengan Prof. DR. HM Amien Rais, MA, Penasihat PP Muhammadiyah, Bapak Reformasi, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan mantan Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI).

Menjelang pemilu kali ini, pragmatisme politik di Indonesia mulai tampak. Apakah fenomena semacam ini akan berpengaruh pada para aktivis Muhammadiyah?
Jadi, yang tidak boleh dilupakan, kehidupan politik itu tidak pernah bisa dipisahkan dari kehidupan sebuah negara modern. Tidak kalah pentingnya, harus disadari bahwa keputusan-keputusan politik yang diambil oleh sebuah negara akan punya implikasi sangat jauh di bidang sosial, ekonomi, pendidikan, bahkan pada cara berpikir dan model kehidupan bangsa bersangkutan. Begitu pentingnya keputusan politik, bisa kita lihat misalnya, apakah kita memilih sentralisasi kekuasaan atau desentralisasi kekuasaan, ini sebuah keputusan politik. Apakah kita mengundang IMF untuk menolong perekonomian kita atau lebih percaya diri tidak perlu IMF, itu juga sebuah keputusan politik. Malahan, apakah kita perlu reformasi atau tidak perlu, itu juga keputusan politik. Jadi, semua anggota masyarakat dari sebuah negara modern memang akan berhubungan, bersinggungan, bahkan hidup dalam wilayah politik.
Hanya masalahnya, orang-orang Muhammadiyah harus sedikit lebih cerdas daripada kebanyakan anggota masyarakat yang memang tidak dibimbing oleh kesadaran ilahiyah. Biasanya, politik itu selalu dikaitkan dengan pertanyaan mendasar, yaitu siapa, mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Ini adalah definisi politik yang sangat sekuleristik. Sedangkan, kalau kita kembali kepada asas agama kita, maka definisi politik yang anggun dan lengkap adalah berkaitan dengan siapa, mendapat apa, kapan, bagaimana, dan mengapa. Nah, masalah mengapa ini sangat penting karena berkaitan dengan niat. Padahal, kata Nabi saw, niat seseorang merupakan pokok pangkal kecelakaan atau keberhasilan dari usaha perjuangannya. Sesungguhnya, tidak ada salahnya orang-orang Muhammadiyah, para tokoh intelektualnya, tokoh angkatan mudanya, bahkan para pemikirnya, untuk ikut terjun ke gelanggang politik. Jangan sampai kekuasaan politik dimonopoli oleh orang-orang yang tidak paham dengan perjuangan Muhammadiyah.
Hanya saja, kepada kader-kader Muhammadiyah perlu dibekali bahwa mengapa mereka terjun ke dunia politik. Tentu bukan karena mengejar kursi, bukan mengejar honorarium yang gede, bukan karena mengejar kekuasaan demi kekuasaan, tetapi sesungguhnya mereka ingin berkhidmat melakukan ibadah dalam arti luas lewat kegiatan politik. Karena itu, seharusnya secara konseptual, tidak mungkin kader Muhammadiyah terjerembab ke dalam pragmatisme politik, apalagi politik yang berbau Machiavelli, yaitu tujuan menghalalkan cara. Nah, inilah yang sering saya katakan dulu, bahwa memang masuk ke wilayah politik selalu banyak godaan, banyak rintangan, tetapi banyak juga contoh bahwa tokoh-tokoh pemikir Islam, baik di Iran, Turki, Mesir, Syria, dan Malaysia, yang tetap piawai masuk dunia politik, justru menghasilkan kebajikan dan keuntungan buat umat Islam.

Ada semacam kekhawatiran dari Muhammadiyah sampai keluar SK PP No. 160 tentang para aktivis persyarikatan yang terjun ke dunia politik. Bagaimana menurut bapak?
Prinsipnya adalah, bahwa tokoh-tokoh Muhammadiyah yang masuk ke dunia politik, di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional, secara otomatis harus meninggalkan dan menanggalkan jabatannya di Muhammadiyah.

Secara otomatis?
Ya! Secara otimatis harus begitu.

Sekalipun tidak jadi?
Nah, kalau tidak jadi saya tidak tahu!
Contohnya, ketika saya menjabat sebagai ketua umum DPP PAN, maka otomatis saya berhenti menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah dilanjutkan oleh Pak Syafii Ma’arif. Ini percontohan yang saya berikan dulu. Mengapa? Supaya Muhammadiyah tetap ditekuni secara total sementara si tokoh yang masuk ke dunia politik juga bisa berpikir lebih total untuk mencapai cita-citanya. Jadi, tidak ada tokoh Muhammadiyah yang kakinya yang satu masih di persyarikatan sementara satunya lagi di dunia politik, nanti tidak akan berhasil dan malah menjadi bumerang. Lama-lama, dia bisa mengatasnamakan Muhammadiyah untuk mencapai tujuan politiknya. Atau sebalikya, dia akan membawa-bawa politik ke Muhammadiyah. Itu bisa merusak.

Bagaimana komentar bapak tentang beberapa pimpinan di Muhammadiyah yang terjun ke dunia politik?
Dalam hal ini, saya ingat dalam perjanjian bersama dari para anggota pimpinan Muhammadiyah seusai muktamar di Malang, dikatakan, siapa pun yang mencalonkan diri untuk memangku suatu jabatan publik, seperti bupati, walikota, gubernur, presiden, wapres, dan lain-lain, memang otomatis harus berhenti dari kepemimpinan di Muhammadiyah. Saya tidak ingin menggurui, saya kira anggota pimpinan Muhammadiyah, 13 yang terpilih, lebih arif dan piawai untuk memecahkan permasalahan ini.

Khittah Muhammadiyah tentang politik menggunakan istilah “menjaga jarak” dengan parpol. Belakangan ini, terdengar nyaring istilah baru, yaitu “menjaga kedekatan yang sama” dengan partai-partai politik. Bagaimana menurut bapak?
Saya kira, kata-kata “menjaga jarak” atau “menjaga kedekatan yang sama” hanya kata-kata dekoratif yang bisa diformulasikan secara berbeda-beda. Tetapi yang jelas, Muhammadiyah adalah sebuah jam’iyyah, persyarikatan, harakah, sebuah kekuatan Islam di negeri ini, yang berdurasi jauh lebih panjang dan punya cita-cita jauh lebih luhur dari partai-partai politik. Karena itu, ketika saya jadi Ketua Umum DPP PAN, saya sering mengatakan jangan pernah ada pimpinan Muhammadiyah mencoba menarik Muhammadiyah ke partai-partai yang ada. Bahkan, saya akan marah sekali kalau ada orang Muhammadiyah menganjurkan supaya orang-orang Muhammadiyah bernaung di bawah bendera PAN! Biarkanlah orang-orang Muhammadiyah yang umumnya kritis dan berpikir korektif memilih sesuai dengan pilihan masing-masing. Tetapi, jangan pernah menyangkutkan Muhammadiyah dengan sebuah partai politik secara organisatoris, secara psikologis, apalagi kemudian diformalkan.

Ada kesan, lewat kata-kata ini, Muhammadiyah hendak merangkul semua partai. Tanggapan bapak?
Itu tidak boleh! Muhammadiyah kehabisan tenaga. Kalau Muhammadiyah merangkul semua partai malah bisa pingsan berdiri! Jadi, itu aneh sekali. Muhammadiyah akan kehabisan tenaga.

Sidang Tanwir nanti akan mengangkat tema “Muhammadiyah Membangun Visi dan Karakter Bangsa”. Menurut bapak, bagaimanakah visi Muhammadiyah tentang bangsa ini?
Insya Allah, saya juga merupakan salah satu yang diundang untuk berbicara di Sidang Tanwir Muhammadiyah di Lampung nanti. Menyangkut masalah-masalah besar yang dihadapi bangsa, Muhammadiyah memang harus punya visi. Nah, visi Muhammadiyah itu tentu sepenuhnya kongruen, sama dan sebangun, dengan visi Al-Qur’an dan visi Sunnah Shahihah. Jadi, Islam dan Sunnah Nabi yang universal tidak mungkin bersilang selisih, apalagi bertolak belakang, dengan kebutuhan asasi umat manusia. Jadi, enaknya seorang politisi yang sudah paham Muhammadiyah, ke mana pun dia bergerak dan berkegiatan, maka tetap saja pegangannya adalah amar ma’ruf dan nahi munkar. Kemudian dengan pemahaman Qur’an dan Sunnah yang benar dan proporsional, maka dia akan bisa membawakan diri secara proporsional, juga di kehidupan pendidikan, ekonomi, politik, sosial, pembanguan hukum, pengembangan iptek dan lain-lain.

Muhammadiyah tidak pernah berusaha mendirikan Negara Islam, tetapi justru bercita-cita “mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Bisa dijelaskan maksudnya?
Jadi, membangun masyarakat jauh lebih sulit daripada membangun sebuah negara. Membangun sebuah negara memang lewat pemegangan kekuasaan dari sebuah bangsa. Kekuasaan itu bisa diambil lewat proses demokrasi melalui pemilu, bisa juga lewat kudeta, bahkan bisa lewat pemberontakan. Nah, Muhammadiyah tidak percaya bahwa misi ke-Islaman Muhammadiyah bisa dilaksanakan semata-mata lewat kekuasaan. Kekuasaan itu sesuatu yang sifatnya sangat rapuh. Kekuasaan itu datang dan pergi, jatuh dan bangun, bahkan kadang-kadang bisa lenyap secara tiba-tiba. Tetapi, kalau masyarakat itu jauh lebih lestari, karena masyarakat adalah kumpulan dari tiap individu yang membentuk sebuah bangsa dengan segala macam aspirasi, impian dan cita-cita. Nah, Muhammadiyah tidak membidik Negara Islam sama sekali, tetapi mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Artinya, melakukan transformasi mental, transformasi gagasan, transformasi cara kehidupan dan bersikap, serta tranformasi etiket dan etika dalam kehidupan sebuah bangsa. Nah, kalau masyarakat itu lebih kurang sudah landing kepada nilai-nilai Islam, maka sesungguhnya tujuan Muhammadiyah itu sudah terpenuhi, sekalipun kita juga paham bahwa untuk melakukan transformasi kehidupan Islami di tengah masyarakat adalah sebuah perjuangan abadi. Intinya adalah, bahwa Muhammadiyah tidak akan berebut kekuasaan, tetapi Muhammadiyah itu berkhidmat di bidang pendidikan, kesehatan, pembangunan SDM, mengarahkan kepemudaan, keputrian, kepanduan dan lain-lain, tanpa melupakan kehidupan politik.l Rif

Tidak ada komentar: