Sabtu, 07 Maret 2009

MEMAHAMI DAN MELAKSANAKAN KETENTUAN LARANGAN RANGKAP JABATAN POLITIK DI MUHAMMADIYAH (2)



DR. H Haedar Nashir, M.Si


Jadi, secara organisatoris-konstitusional maupun kultur organisasi Muhammadiyah, maka kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang larangan rangkap jabatan politik dengan jabatan-jabatan tertentu di lingkungan Persyarikatan, selain memiliki landasan yang kuat, juga bukanlah hal baru, sehingga sesungguhnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari keberadaan Muhammadiyah. Bahwa, selalu ada bagian-bagian tertentu yang tampak baru dan harus diatur, tentu saja sesuai dengan perkembangan organisasi dan situasi yang dihadapi Muhammadiyah saat ini.

Dalam hal ini SK PP Muhammadiyah tersebut jangan ditafsirkan sebagai pengebirian dan mematahkan langkah para kader atau anggota untuk berkiprah di ranah politik-praktis atau di pentas politik nasional, tetapi sebagai pagar organisasi agar di satu pihak Muhammadiyah tetap berjalan di jalurnya sebagai gerakan dakwah di lapangan pembinaan masyarakat. Di sisi lain mereka yang berkiprah di dunia politik-praktis juga dapat berkonsentrasi sepenuhnya dalam menjalankan peran-perannya untuk kepentingan bangsa dan negara.

Bagaimana dengan pencalonan dan keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)? Masalah yang menyangkut pencalonan DPD memang terjadi perkembangan. Pada Pemilu 2004 melalui rapat pleno bersama Ketua-Ketua PWM se-Indonesia terdapat keputusan untuk mendorong anggota Muhammadiyah untuk menjadi calon dan anggota DPD, hal serupa juga berkembang ketika pertemuan PP Muhammadiyah dengan Ketua-Ketua PWM se-Indonesia di Jakarta tahun yang lalu. Dengan dasar itu, maka terjadi dukungan yang lebih khusus dan kadang melibatkan kelembagaan Muhammadiyah untuk menyukseskan anggota yang ditunjuknya guna menjadi calon dan anggota DPD. Ketentuan SK 160/2008 sebenarnya secara substantif tidak mengganggu proses penyuksesan calon anggota DPD yang ditetapkan oleh Muhammadiyah di wilayah masing-masing, karena yang diatur adalah soal perangkapan jabatannya dan bukan keabsahan para calon yang telah ditunjuk maupun dukungan warga Muhammadiyah. Memang, dalam situasi tertentu mungkin akan dipolitisasi oleh calon lain atau yang tidak setuju dengan calon yang ditetapkan oleh Muhammadiyah, tetapi jika proses kualitatif dan pengorganisasian dukungan berlangsung solid, maka dapat dicarikan solusi dan recovery yang baik.

Memang, ada perkembangan baru dengan DPD. Bahwa, DPD untuk Pemilu 2009 tidak murni non-politik sebagaimana Pemilu 2004, karena partai politik mulai terlibat dan diperbolehkannya calon yang mewakili dan memeroleh dukungan partai politik. Kedua, sejak Pemilu 2004 maupun untuk Pemilu 2009 di sejumlah wilayah tidak terdapat calon tunggal dari lingkungan Muhammadiyah, sehingga mulai terjadi fragmentasi calon dan dukungan. Masalah ini juga perlu menjadi perhatian, karena pada akhirnya akan mengganggu atau memengaruhi kondisi internal Muhammadiyah. Dipahami bahwa pada umumnya para anggota pimpinan yang maju menjadi calon anggota DPD memang karena didorong oleh warga atau organisasi Muhammadiyah, sehingga bukan karena ambisi pribadi. Namun, hal tersebut tentu tidak serta-merta menghimpitkan urusan dan jabatan secara sama dan sebangun dengan Muhammadiyah, sehingga apa pun memerlukan pengaturan dan jarak tertentu. Insya Allah dengan semangat niat ikhlas dan untuk kebesaran Muhammadiyah banyak hal yang menyangkut kemusykilan atau kesulitan dari implikasi kebijakan-kebijakan Pimpinan Pusat maupun Persyarikatan Muhammadiyah dapat dicarikan jalan keluarnya yang elegan.

Adapun perkembangan baru lain yang menyangkut kehadiran SK PP Muhammadiyah yang menyangkut larangan rangkap jabatan menjadi terasa lebih mengundang reaksi keberatan dari sebagian warga, tentu terkait dengan kondisi perpolitikan di Tanah Air yang berimbas pada Muhammadiyah. Sebenarnya secara umum dan memang telah menjadi budaya Muhammadiyah, ketentuan-ketentuan larangan rangkap jabatan seperti itu telah berlaku dan tidak banyak masalah. Memang, di sejumlah tempat belum terlaksana dengan baik, apakah karena kondisi setempat atau karena tidak ada eksekusi yang tegas dari Pimpinan Persyarikatan yang membawahinya, atau karena yang terkena larangan rangkap jabatan memang tidak bersedia untuk menantinya. Namun, kondisi Persyarikatan secara umum sesungguhnya berjalan normal dan tidak gaduh dengan kehadiran SK Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut.

Hal yang perlu dipahami bahwa, kehadiran SK PP Muhammadiyah tentang larangan rangkap jabatan politik bukanlah penyebab masalah. Jika mau diletakkan secara proporsional, ketentuan seperti itu selain telah berlaku atau berjalan dari periode ke periode, juga hasilnya telah memantapkan kondisi Muhammadiyah dari overlapping atau tumpang-tindih dan berhimpit dengan tarikan-tarikan partai politik dengan segala kepentingannya. Tetapi situasi jelang Pemilu 2009 memang terjadi kecenderungan anggota Muhammadiyah yang bergairah masuk ke dalam partai politik, menjadi calon anggota legislatif (DPR dan DPRD) maupun DPD, dan bahkan membidani lahirnya partai politik. Pada saat yang sama sebagian anggota Muhammadiyah tersebut memegang jabatan tertentu di struktur Persyarikatan, termasuk di amal usaha Muhammadiyah. Kondisi yang tumpang-tindih seperti itu menyebabkan terganggunya posisi dan proses perpolitikan dari para calon, sehingga kehadiran SK PP Muhammadiyah menjadi lebih terasa. Pangkalnya sebenarnya bukan SK Pimpinan Pusat, tetapi keterlibatan dalam berbagai kegiatan politik dan partai politik.

Memang disadari pula bahwa politik dan berjuang melalui partai politik itu penting; sebagaimana pentingnya bergerak di lapangan dakwah kemasyarakatan yang non-politik. Muhammadiyah maupun Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga tidak menutup mata terhadap kepentingan politik yang strategis seperti itu, juga tidak alergi apalagi anti-politik. Namun, dengan khittah dan kebijakan-kebijakan larangan rangkap jabatan yang ditetapkan, sebagaimana tercantum dalam pertimbangan bahwa Muhammadiyah harus tetap terjaga keberadaannya sebagai gerakan dakwah dan tajdid yang bergerak di lapangan masyarakat dan tidak bergerak di lapangan politik-praktis. Selain itu, karena penting dan strategisnya politik, maka harus ditangani secara serius, terfokus, optimal, dan tidak sambilan. Dalam pertimbangan yang ideal dan praktis seperti itulah hendaknya Khittah dan kebijakan-kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang ketentuan larangan rangkap jabatan politik harus dipahami, diletakkan, dan dilaksanakan oleh seluruh anggota Persyarikatan.

Bagaimana dengan sebagian lini organisasi atau amal usaha yang banyak terlibat dalam pencalonan dan rangkap jabatan di partai politik? Masalah ini jangan dilihat dari hilir, tetapi dari hulu. Kenapa perang-kapan jabatan tersebut dibiarkan makin meluas dan tidak dibatasi sejak awal. Jika organisasi Muhammadiyah dengan seluruh lininya termasuk organisasi otonom, tidak membatasi diri dan membiarkan rangkap jabatan itu berkembang maka akan terus meluas. Memang, setiap keputusan apalagi hasil manusia tidak diposisikan mutlak dan selalu ada rukhsah atau keringanan tertentu, tetapi harus dimulai dari penerapan kebijakan secara umum dan jangan diawali dari keringanan. Apalah bedanya organisasi kemasyarakatan dengan partai politik manakala tidak ada pembatasan. Manakala perangkapan jabatan politik dan organisasi telah meluas, maka dengan otomatis akan keberatan atau menolak setiap kebijakan yang membatasi atau melarang perangkapan.

Jika berpikir luas dan dari sudut pandang Muhammadiyah maupun kiprah politik, sebenarnya penerapan larangan rangkap jabatan politik itu dapat lebih meringankan bagi Muhammadiyah maupun partai politik dan para politisi sendiri. Masing-masing dapat bekerja terfokus dan optimal di tempatnya sesuai hukum pembagian kerja. Jika diterapkan bagi yang telanjur meluas perangkapan jabatan, memang dalam waktu tertentu akan terdapat kekurangan kader atau kevakuman, tetapi jika dilakukan recovery yang baik maka tidak ada yang terlalu sulit. Tetapi, manakala segalanya telah dimulai dari mempersulit atau menahan urusan, maka hal yang mudah pun akan menjadi sulit. Semuanya berpulang pada niat, komitmen, dan kesungguhan setiap anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah untuk bergerak dalam jalur yang proporsional baik di jalur politik maupun jalur gerakan Muhammadiyah.
Muhammadiyah itu merupakan aset umat dan bangsa yang telah mapan. Tidak bisa dipertaruhkan dengan kepentingan-kepentingan politik jangka pendek dan perorangan. Jika berpikir jernih, penerapan larangan rangkap jabatan itu dapat membesarkan Muhammadiyah sekaligus kerja-kerja politik para kadernya.

Tetapi sekali dibiarkan meluas, maka akan terjadi kerusakan sistem dalam Muhammadiyah. Jangan seperti peringatan Allah dalam Al-Qur’an, sekelompok orang yang mengurai kembali tenunan yang sudah dipintal, akhirnya bangunan keseluruhan menjadi cerai-berai dan berantakan. Pak Amien Rais sering mengingatkan secara bijak dan faktual, bahwa politik dan partai politik itu “up and down”, tetapi Muhammadiyah harus tetap jaya sepanjang masa. •


Tidak ada komentar: