Selasa, 31 Maret 2009

Politik Kawin Sirri


  • Oleh Abdul Mu’ti

Sesuai konstitusi, negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negara. Kewajiban negara wajib melindungi perempuan dan anak-anak dari pelaku kawin sirri. Tujuan syariah adalah untuk melindungi umat manusia dan menyelamatkan masyarakat dari kehancuran. Demi kemaslahatan umat dan masyarakat, biarlah perkawinan sirri menjadi sejarah feodalisme masa lalu.

DISKURSUS kawin sirri mulai mendapat perhatian publik secara serius setelah pernikahan kontroversial Syeh Puji dengan gadis 12 tahun terjadi. Miliarder asal Kabupaten Semarang itu kemungkinan besar akan masuk bui karena melanggar undang-undang perkawinan dan perlindungan anak.

Jika pengadilan Syeh Puji bertujuan untuk penegakan hukum, tindakan pemerintah sungguh sangat terlambat dan terkesan politis. Praktik kawin sirri sudah terjadi berpuluh tahun, bahkan sudah menjadi tradisi. Sekian lama pemerintah membiarkan praktik perkawinan yang tidak tercatat secara resmi ini. Mayoritas masyarakat juga memaklumi karena berpendapat bahwa perkawinan sirri sesuai dengan ”agama”.

Berbagai pihak baru tersadar, ketika kawin sirri mulai menjadi pandemi. Demoralisasi membuat perkawinan sirri menjadi penyebab beraneka patologi sosial. Bangunan keluarga roboh karena perceraian. Di antara penyebab perceraian yang tertinggi adalah kawin sirri. Menurut Departeman Agama, 200 ribu (10 persen) dari dua juta pernikahan setiap tahun bercerai karena perkawinan sirri (Depag, 2009). Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam keluarga kawin sirri juga tinggi.

Selama Januari-Februari 2009, LBH APIK Jakarta menerima 130 kasus KDRT di Jabodetabek. Sebanyak 51 persen (49 persen isteri dan 3 persen suami) menggugat cerai pasangan mereka. Sejumlah 46,8 persen yang mengajukan perceraian adalah pasangan yang melakukan perkawinan sirri (LBH APIK, 2009). Masalah lain yang mengemuka adalah perampasan hak-hak sosial anak dan ibu yang melahirkan seperti kasus artis Machicha Mochtar.

Neofeodalisme

Secara historis-antropologis, akar tradisi kawin sirri dapat ditarik dari tradisi tradisi poligami yang berkembang dalam masyarakat feodalistik. Fisolofi budaya feodal menempatkan supremasi laki-laki sebagai warga kelas satu dan subordinasi perempuan sebagai warga kelas dua. Perempuan diciptakan ”untuk” laki-laki. Posisi perempuan tidak lebih dari sekadar objek (maf'ul bih) atau pelengkap penyerta (maf'ul ma'ah).

Nilai perempuan sama halnya dengan harta benda. Kemakmuran dan prestasi identik dengan kekayaan harta, jumlah isteri dan tingginya jabatan. Dalam kultur feodalisme aristokratik yang berbasis kerajaan, seorang raja atau sultan ”wajib” poligami. Selain seorang permaisuri, raja atau sultan memiliki selir sebagai ”ageman” yang tidak terbatas jumlahnya.

Meskipun praktik dan motivasinya berbeda, tradisi poligami juga terdapat dalam kultur feodalisme religius. Seorang pemimpin agama (ustadz, kiai, ajengan, dan sebagainya) lazim memiliki banyak istri. Bagi kelompok ini, poligami dimaksudkan untuk mengikuti ”sunnah” Nabi Muhammad dan strategi dakwah. Perkawinan tidak tercatat karena sistem administrasi dan birokrasi negara belum berjalan dengan baik.

Perkawinan sirri pada masa kini merupakan bentuk neofeodalisme. Feodalisme ini memadukan kultur feodalisme aristokratik, religius dan free-sex dalam liberalisme humanistik. Masyarakat liberal memandang perkawinan sebagai kontrak sosial semata. Mereka mengabaikan lembaga perkawinan.

Yang terpenting dalam hubungan laki-laki dan perempuan adalah suka sama suka. Tidak ada lagi dimensi transendental. Relasi seksual bergeser dari fungsi reproduksi dan regenerasi yang sakral, tereduksi sebatas rekreasi atau hiburan (enjoyment). Berganti-ganti pasangan bukanlah hal yang asing.

Dalam praktik kawin sirri, agama sering hanya dijadikan sebagai kedok atau legalisasi formal. Dalam Marriage Counselling, Dadang Hawari menilai praktik kawin sirri sekarang ini tidak lebih dari upaya sengaja untuk melegalisasi perselingkuhan dan poligami. Di Jakarta, Bogor dan kota-kota lain, ditemukan hotel-hotel yang melakukan komersialisasi dan komodifikasi kawin sirri. Oleh para lelaki hidung belang yang diperbudak nafsu, kawin sirri adalah bentuk baru dari ”prostitusi religius”. Beberapa pelakukanya adalah orang kaya baru (OKB) dan ulama su' (tidak beradab).

Dikotomi

Selain alasan kultural, kawin sirri terjadi karena faktor politik. Pertama, dikotomi antara hukum negara dengan hukum agama. Sebagian muslim memisahkan secara tegas hukum agama dengan negara. Kelompok ini menolak sistem negara Pancasila. Mereka hanya ”loyal” kepada agama dan mengabaikan, bahkan menolak hukum negara dan segala perangkatnya.

Ideologi ini, secara tidak langsung, mendapatkan pembenaran dari sistem perundangan yang dualistik, misalnya dengan dibentuknya peradilan agama. Di satu sisi, peradilan agama merupakan akomodasi negara terhadap umat Islam yang memungkinkan mereka menyelesaikan masalah perdata sesuai dengan syariah.

Pada sisi yang lain, adanya lembaga peradilan agama yang khusus bagi umat Islam menunjukkan ada perbedaan antara hukum positif negara dengan syariah. Jika tidak diklarifikasi dengan arif, pandangan dikotomis ini bisa menimbulkan problem konstitusi dan politik yang serius pada masa depan.

Kedua, pemahaman undang-undang perkawinan (UUP) No. 1/1974 yang tidak komprehensif. Pasal 2 UUP No. 1/1974 menyebutkan perkawinan dinyatakan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan agama masing-masing mempelai. Berdasarkan pasal ini, banyak pasangan yang menikah secara ”agama”.

Mereka cukup menikah di depan ulama, kiai, ustadz dan sebagainya dan tidak mencatatkan di kantor urusan agama (KUA). Dalam khazanah fikihh klasik, tidak ada satu pun ulama mazab yang memasukkan pencatatan sebagai syarat dan rukun perkawinan. Mazab ahlussunnah yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia menyebutkan lima syarat perkawinan: (1) ada mempelai, (2) wali --khususnya mempelai wanita, (3) saksi, (4) mahar, dan (5) ijab kabul.

Sesuai dengan pemahaman fikih tersebut, perkawinan sesuai dan sah menurut agama apabila kelima hal tersebut terpenuhi. Atas alasan ini, banyak pasangan ”kumpul kebo” yang mengaku sudah menikah secara ”agama”. Kekeliruan pemahaman UUP No. 1/1974 ini ikut bertanggung jawab atas pertentangan antara hukum agama versus hukum pemerintah.

Solusi

Sebagai respons atas fenomena kawin sirri yang meresahkan, Departemen Agama sedang menyiapkan RUU Materiil Peradilan Agama bidang perkawinan. RUU ini memuat pasal-pasal penting yang belum diatur dalam UUP No.
1/1974. Dalam RUU ini tidak disebutkan istilah kawin sirri, tetapi perkawinan yang ''tidak tercatat''. Mempelai, wali, saksi dan pihak mana pun yang terlibat dalam perkawinan yang tidak tercatat akan dikenai sanksi hukum. Secara konseptual, solusi konstitusional yang ditawarkan Departemen Agama sangat rasional. Masalah --klasik-- dalam sistem hukum di Indonesia bukan semata-mata terletak pada materi, melainkan penegakannya.

Solusi konstitusional yang mengharuskan pencatatan perkawinan akan semakin kuat apabila dikaitkan dengan solusi religius. Perlu reinterpretasi konsep fikih klasik, khususnya tentang perkawinan. Tidak dimasukkan pencatatan sebagai syarat atau rukun perkawinan karena pada masa klasik belum ada lembaga birokrasi yang memadai. Masyarakat yang masih tinggi tingkat kujujurannya dan mobilitas yang terbatas membuat lembaga pencatat pernikahan tidak diperlukan.

Ajaran Islam tentang perkawinan, secara implisit, menghendaki keharusan pencatatan. Pertama, Alquran menegaskan agar setiap transaksi utang-piutang dalam jangka waktu tak terbatas dicatat dengan sebaiknya-baiknya. Analog dengan ini, perkawinan yang merupakan akad (transaksi) juga harus dicatat pula. Kedua, keharusan adanya saksi dalam pernikahan mengandung makna bahwa pernikahan tidak boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ketiga, tuntunan tentang walimatu al-ursy yang diselenggarakan setelah perkawinan mengandung pesan agar perkawinan tercatat dengan baik (well-recorded) dalam memori kolektif masyarakat. Berdasarkan interpretasi ini, perkawinan yang tidak tercatat tidak sah menurut agama.

Sesuai konstitusi, negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negara. Negara wajib melindungi perempuan dan anak-anak dari pelaku kawin sirri. Tujuan syariah adalah untuk melindungi umat manusia dan menyelamatkan masyarakat dari kehancuran. Demi kemaslahatan umat dan masyarakat, biarlah perkawinan sirri menjadi sejarah feodalisme masa lalu. (35)

–– Dr Abdul Mu’ti MPd, Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), Jakarta

Sabtu, 21 Maret 2009

Suasana Tanwir Lampung



Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Tentu warga Muhammadiyah berterima kasih kepada harian Republika yang selama beberapa hari telah menyediakan ruang khusus untuk meliput Sidang Tanwir Muhammadiyah yang kali ini diadakan di Hotel Sheraton Bandar Lampung, 5-8 Maret 2009. Dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan ditutup oleh Wakil Presiden M Jusuf Kalla, Ahad sore. Agak di luar perkiraan saya semula tentang kesiapan PWM (Pimpinan Wilayah Muhmmadiyah) Lampung sebagai tuan rumah bagi tamu yang berjumlah sekitar 200 orang, ternyata penyelenggaraan Tanwir cukup bagus dan tertib.

Mengapa harus di hotel? Apakah Muhammadiyah dengan cara demikian itu tidak semakin 'jauh' dari rakyat banyak yang jarang masuk ke hotel berbintang? Pertanyaan model ini tentu sah saja untuk dilontarkan, tetapi sudah tidak relevan lagi jika dikaitkan dengan tuntutan efisiensi dan kemudahan. Dalam hubungan ini, apa yang disampaikan oleh Ketua PP Muhammadiyah, Prof A Malik Fadjar, menarik untuk dicatat: Muhammadiyah jangan dibawa ke jalan-jalan sempit, buntu lagi. Muhammadiyah itu besar, jangan mengerdilkan diri.

Dengan semakin meluasnya kawasan urban di Indonesia yang sudah mencapai 58 persen, warga Muhammadiyah harus meninggalkan wawasan 'jalan sempit' yang serbarural seperti yang masih tersisa pada sebagian warga.Tetapi, orang tidak boleh salah paham bahwa Muhammadiyah kini telah berubah menjadi gerakan Islam elitis, melupakan warga pedesaan yang sebagian masih jauh tertinggal, tidak saja dari segi ekonomi, tetapi juga dalam ranah pendididikan dan kesehatan.

Muhammadiyah tidak akan pernah membeda-bedakan antara orang kota dan desa, semuanya akan dilayani dalam batas kemampuan gerakan sosio-keagamaan modern ini. Dengan demikian, Sidang Tanwir di sebuah hotel tidak ada sangkut-pautnya dengan kemungkinan pergeseran sikap Muhammadiyah dalam melayani masyarakat banyak. Kehadiran Muhammadiyah sejak awal kelahirannya adalah untuk melayani dan mencerdaskan. Filosofi ini tampaknya akan bertahan untuk selama-lamanya, karena memang itulah raison de'tre Muhammadiyah yang tahan banting sejarah.

Lampung yang selama ini dikenal sebagai salah satu provinsi yang termiskin di Indonesia, dan Muhammadiyah berada di dalamnya, dengan tanwir ini, kesan umum tentang serba kemiskinan itu mulai terhapus. Tentu penglihatan selintas ini tidak mesti mewakili realitas masyarakat yang sebenarnya, tetapi kesan positif itu berfungsi sebagai doa Muhammadiyah agar wilayah Lampung cepat bebenah diri untuk menghalau kemiskinan itu sampai ke batas-batas yang jauh. Dalam perspektif ini, kultur good governance yang lagi gencar-gencarnya dilancarkan oleh Depdagri harus dijawab oleh Pemda Lampung dan masyarakat secara keseluruhan dengan menunjukkan sikap responsif dan proaktif.

Muhammadiyah harus berdiri paling depan untuk turut serta memberikan jawaban positif itu. Tidak ada jalan yang lebih efektif untuk menghalau kemiskinan itu, kecuali secepatnya menerapkan secara jujur dan bertanggung jawab prinsip-prinsip good governance berupa: keterbukaan, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, partisipasi, dan sikap jujur. Muhammadiyah Lampung sebagai salah satu kekuatan sipil harus mau berjibaku untuk menjadi mitra pemda dan kelompok-kelompok yang hidup dalam masyarakat dalam upaya menegakkan pilar-pilar tata kelola pemerintahan yang baik itu.

Tentu mesti dimulai dari internal Muhammadiyah sendiri terlebih dulu. Dalam mengelola amal usaha yang bertebaran itu, pimpinan Muhammadiyah setempat agar dapat dijadikan teladan oleh berbagai pihak. Dan itulah dakwah dalam format yang konkret. Dengan penyelenggaraan tanwir yang berjalan lancar ini, semoga menjadi pertanda bahwa Muhammadiyah Lampung memang sudah siap untuk berlomba dengan Muhammadiyah di wilayah-wilayah lain yang bilangannya sudah berada di angka 33, sesuai dengan jumlah provinsi di Indonesia.

Sebuah pengakuan disampaikan kepada saya oleh Ketua PWM Banten bahwa Tanwir Lampung ini lebih bermutu dari tanwir-tanwir sebelumnya, dilihat dari sisi manapun. Para pemakalah yang diundang PP dalam tanwir ini, menurut peserta hampir seluruhnya bermutu tinggi dari segi muatan dialog pencerahan. Suasana damai dan serius dalam sidang-sidang adalah indikator bahwa Muhammadiyah sudah semakin piawai dalam menata manajemen organisasi. Isu-isu politik kontemporer ditanggapi peserta secara biasa saja, tidak ada urat leher yang harus tegang, seperti pengalaman dalam Tanwir Denpasar dan Makassar beberapa tahun yang lalu. Bravo PWM Lampung!

Selasa, 17 Maret 2009

Muhammadiyah Siap Kelola Panti Aus$ 3,5 Juta di Aceh


Nograhany Widhi K - detikNews
Jakarta - Muhammadiyah siap mengelola panti asuhan yang didirikan LSM Australia Youth Off The Street senilai Aus$ 3,5 juta di Aceh. Tugasnya untuk memberdayakan anak korban tsunami.

"Ini pusat pelayanan anak korban tsunami, saat ini menampung 80 anak yang akan dibiayai sampai lulus SMA," ujar salah satu Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Sudibyo Markus di rumah dinas Duta Besar Australia Bill Farmer, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (16/3/2009) malam.

Menurutnya, panti asuhan yang didirikan di atas lahan 2 hektar di Desa Sibreh, Kabupaten Aceh Besar itu terdiri dari 10 cottage plus masjid. Biaya pembangunan dan beasiswa ditanggung oleh Youth Off The Street yang didirikan Pastur Chris Riley.

"Mereka membiayai selama 5 tahun sampai tahun 2010. Mereka membantu pembangunan fisik, dan memberikan beasiswa. Setelah itu pengelolaannya diberikan ke Muhammadiyah," jelas dia.

Serah terima dan peresmian panti asuhan itu sudah digelar di Aceh, Minggu 15 Maret 2009 bersama Dubes Australia Bill Farmer dan Wakil Gubernur Aceh M Nazar.

Sementara Minister Counsellor dan Senior`Representative AusAid, Ketua Proyek AusAID Blair Exell mengatakan total bantuan pemerintah Australia untuk rekonstruksi Aceh dan Nias adalah Aus$ 250 juta. Dan bantuan rakyat Australia yang diadakan LSM sebesar Aus$ 350 juta.

"Kita bangun terutama infrastruktur seperti rumah sakit, sekolah, pemberian 600 beasiswa kepada murid sekolah, perawat, dokter, guru di Aceh dan Nias. Juga pemberdayaan masyarakat terutama aquaculture, terpenting lagi adalah pemetaan lahan," jelas Exell.

Bantuan pemerintah dan rakyat Australia itu, imbuh Exell, menunjukkan betapa tidak ada dendam antara Australia dan Indonesia pasca Bom Bali I tahun 2002. Buktinya, rakyat Australia serta merta memobilisir bantuan untuk korban tsunami Aceh yang terjadi tahun 2004.

"Yang penting bukan nilai uangnya, apa yang penting adalah lebih dari sekedar nilai uang. Kerjasama untuk saling membantu. Ini adalah bantuan tulus dari rakyat Australia. Rakyat Australia tidak dendam pasca Bom Bali I. Dan Indonesia pun membantu US$ 1 juta ketika Australia dilanda kebakaran hebat. Bantuan yang berarti di saat Australia kritis," papar Exell. (nwk/mok)

Minggu, 15 Maret 2009

Parpol Jangan Pikir Kekuasaan

Muhammadiyah Ajak Masyarakat Kritis Pilih Pemimpin Nasional
Selasa, 10 Maret 2009 | 04:11 WIB

Bandar Lampung, Kompas - Menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009, Muhammadiyah mendesak partai politik dan semua komponen bangsa untuk tidak menjadikan Pemilu 2009 sebagai ajang perebutan kursi kekuasaan belaka.

Pemilu harus dijadikan momentum untuk menghasilkan anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden yang bertanggung jawab.

Muhammadiyah juga mengajak masyarakat tetap kritis dalam memilih pemimpin nasional pada Pemilu 2009.

Demikian rekomendasi hasil sidang Tanwir Muhammadiyah 2009 di Bandar Lampung yang dibacakan Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Rosyad Saleh pada penutupan Sidang Tanwir Muhammadiyah 2009, Minggu (8/3).

Muhammadiyah merekomendasikan, pemimpin nasional harus memiliki visi dan karakter yang kuat sebagai negarawan. Pemimpin harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara ketimbang kepentingan partai politik, diri sendiri, keluarga, kroni, dan lainnya.

Pemimpin nasional juga harus berani mengambil berbagai keputusan penting dan strategis yang menyangkut hajat hidup rakyat dan kepentingan negara, mampu menyelesaikan persoalan krusial bangsa secara tegas, serta melakukan penyelamatan aset dan kekayaan negara.

Pemimpin nasional juga harus mampu menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di dalam dan luar negeri, serta mampu mewujudkan pemerintahan yang baik, termasuk melakukan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Seorang pemimpin nasional juga melepaskan jabatan di partai politik apa pun dan berkonsentrasi memimpin bangsa dan negara.

Dalam rekomendasi tersebut Muhammadiyah menegaskan, Pemilu 2009 harus dijadikan sebagai momentum untuk menghasilkan anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden yang bertanggung jawab.

Untuk itu, segenap kekuatan politik, elite, dan warga masyarakat harus menjauhkan diri dari segala bentuk politik uang dan cara-cara yang kotor dalam berpolitik pada Pemilu 2009. Tindakan seperti itu, selain tidak benar, juga dapat merusak tatanan kehidupan politik nasional dan meruntuhkan moral bangsa.

Secara cerdas

Rekomendasi tersebut juga ditegaskan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, bahwa Muhammadiyah juga menyerukan dan mengajak segenap warga negara yang memiliki hak pilih untuk menggunakan hak politiknya secara cerdas dan kritis. ”Penggunaan hak politik tersebut merupakan wujud tanggung jawab berdemokrasi untuk perbaikan dan penyempurnaan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Din.

Bersama-sama dengan rekomendasi politik tersebut, Muhammadiyah juga mengajak segenap komponen bangsa untuk membangun visi dan karakter bangsa. Indonesia harus menjadi bangsa yang berkepribadian kuat berdasarkan nilai keimanan; ketaatan beribadah; akhlak mulia dan budi pekerti luhur sebagai landasan untuk menuju Indonesia yang adil, makmur, berdaulat, maju, dan kuat dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Untuk masalah-masalah di tingkat internasional, Muhammadiyah menyerukan kepada dunia Islam, terutama negara-negara kaya di Asia Barat, untuk membangun jaringan solidaritas konkret bagi penanganan masalah konflik dan kemiskinan di negara-negara yang mayoritas beragama Islam. (HLN)

Kamis, 12 Maret 2009

Rekomendasi Tanwir Lampung

Bandar Lampung - Usai sudah perhelatan Tanwir Muhammadiyah II tahun 2009 yang dilaksanakan di Bandar Lampung. Sejumlah agenda Tanwir telah selesai dibahas, termasuk harapan warga Persyarikatan atas berbagai hal, yang tertuang dalam Rekomendasi Tanwir Muhammadiyah.


Berikut adalah Rekomendasi Tanwir Muhammadiyah II tahun 2009.
I. Visi dan Karakter Bangsa

1. Muhammadiyah mengajak segenap komponen bangsa untuk membangun karakter bangsa yang berkepribadian kuat berdasarkan nilai keimanan, ketaatan beribadah, akhlak mulia/budi pekerti luhur sebagai landasan untuk menuju Indonesia yang adil, makmur, berdaulat, maju dan kuat dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika;
2. Muhammadiyah mendesak pemerintah dan pejabat negara agar menggunakan wewenang dan jabatannya sesuai dengan amanah yang diberikan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat dan meminta pemerintah untuk menindak tegas pejabat negara yang melakukan praktik nepotisme, korupsi, dan manipulasi;
3. Muhammadiyah menuntut para pengelola negara untuk menjadikan NKRI sebagai Negara-Pelayan (the servant state) yang menjalankan fungsi pemerintahan yang sepenuhnya bertanggungjawab untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana cita-cita kemerdekaan;
4. Muhammadiyah mendesak pemerintah (pusat dan daerah) dan mengajak segenap elemen bangsa untuk mengoptimalkan konsolidasi demokrasi dengan membangun kultur demokrasi yang berkeadaban, egaliter, menghargai keberagaman, menjunjung tinggi meritokrasi, saling menghormati dan menjunjung tinggi hukum untuk mewujudkan kualitas hidup bangsa;
5. Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk menerapkan paradigma pembangunan berkelanjutan yang bermakna (sustainable development with meaning) dengan prinsip pembangunan yang memanfaatkan sumberdaya alam secara eko-demokratis, kebijakan politik ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat, serta menjunjung tinggi moralitas dan kedaulatan bangsa;
6. Muhammadiyah mendesak pemerintah (pusat dan daerah) untuk menyelamatkan aset negara serta mengelola kekayaan dan sumberdaya alam dengan memprioritaskan kepentingan jangka panjang, keseimbangan lingkungan hidup, dan memanfaatkannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
7. Mengusulkan kepada Pemerintah RI agar K.H. Ahmad Dahlan ditetapkan sebagai tokoh Bapak Pendidikan nasional.


II. Politik dan Pemilu 2009

1. Muhammadiyah mendesak partai politik dan seluruh komponen bangsa untuk tidak menjadikan Pemilu 2009 sebagai ajang perebutan kursi kekuasaan (power struggle) belaka yang menjurus pada pragmatisme dan menghalalkan segala cara. Akan tetapi Pemilu harus dijadikan momentum untuk menghasilkan anggota legislatif, presiden dan wakil presiden yang bertanggungjawab dalam menjalankan amanat rakyat, mengurus negara/pemerintahan dengan benar, menghasilkan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat kecil, menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan dan etika publik, membangun kepercayaan, serta tidak menggunakan aji mumpung dalam melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya;
2. Muhammadiyah menyerukan kepada segenap komponen bangsa untuk memilih pemimpin nasional pada Pemilu 2009, yang:
1. Memiliki visi dan karakter yang kuat sebagai negarawan yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara ketimbang kepentingan partai politik, diri sendiri, keluarga, kroni dan lainnya;
2. Berani mengambil berbagai keputusan penting dan strategis yang menyangkut hajat hidup rakyat dan kepentingan negara, mampu menyelesaikan persoalan-persoalan krusial bangsa secara tegas, serta melakukan penyelamatan aset dan kekayaan negara;
3. Mampu menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di dalam dan luar negeri, serta mampu mewujudkan good governance termasuk melakukan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu;
4. Melepaskan jabatan di partai politik apapun dan berkonsentrasi dalam memimpin bangsa dan negara.
3. Muhammadiyah menyeru dan mengajak segenap warga negara yang memiliki hak pilih untuk menggunakan hak politiknya dalam Pemilu 2009 secara cerdas dan kritis. Penggunaan hak politik tersebut merupakan wujud tanggungjawab berdemokrasi untuk perbaikan dan penyempurnaan kehidupan berbangsa dan bernegara;
4. Muhammadiyah mengajak segenap kekuatan politik, elite, dan warga masyarakat untuk menjauhkan diri dari segala bentuk politik uang dan cara-cara yang kotor dalam berpolitik pada Pemilu 2009, sebab tindakan seperti itu selain tidak benar juga dapat merusak tatanan kehidupan politik nasional dan meruntuhkan moral bangsa.




III. Internasional

1. Muhammadiyah menyeru Dunia Islam, terutama negara-negara kaya di Asia Barat, untuk membangun jaringan solidaritas kongkrit bagi penanganan masalah konflik dan kemiskinan di negara-negara yang mayoritas beragama Islam;
2. Muhammadiyah mengajak semua kekuatan umat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia untuk tetap memperkuat solidaritas dan keberpihakan bagi umat Islam dan negara-negara Muslim yang tertindas seperti Palestina, Irak, Sudan, dan sebagainya;
3. Muhammadiyah mendesak Pemerintah untuk membentuk Atase Agama di Kedubes Republik Indonesia di negara-negara yang menjadi tujuan pekerja Indonesia di luar negeri untuk kepentingan pembinaan keagamaan;
4. Muhammadiyah mengajak negara-negara maju dan berkembang untuk membangun Tata Dunia baru yang lebih beradab dan mampu mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi secara mondial, tidak standar ganda, mengedepankan dialog, dan saling menghormati kedaulatan tiap negara dalam semangat keadilan dan kesetaraan.


Bandar Lampung, 8 Maret 2009

Rabu, 11 Maret 2009

Muhammadiyah dan Suksesi Nasional 2009

Fajar Riza Ul Haq
(Direktur Program MAARIF Institute dan Chevening Fellow, Universitas Birmingham, UK)


Muhammadiyah menye lenggarakan Sidang Tanwir 5-8 Ma ret 2009 di Bandar Lampung, satu purnama menjelang Pemilu 9 April. Tanwir kedua dalam pe riode kepemimpinan Din Syamsud din (2005-2010) kali ini mengusung tema Muhammadiyah Membangun Visi dan Karakter Bangsa. Satu pertanyaan agak klasik di tengah situasi politik bangsa yang kian memanas layak diajukan, apakah forum tertinggi setelah muktamar ini merupakan ajang konsolidasi Muhammadiyah dalam menghadapi pesta demokrasi lima tahunan tersebut? Tradisi tanwir ini sudah terba ngun lama seiring dengan perkembangan Muhammadiyah sendiri sejak 1912.

Dalam catatan sejarah organisasi yang meraksasa dengan ratusan amal usaha pendidikan dan kesehatan ini, nilai strategis sidang tanwir ti dak hanya pada aspek legalitas sikap resmi organisasi, tetapi juga bagaimana sebuah gagasan perubahan berhasil diinkubasi untuk kepenting an bangsa. Contoh terbaik untuk kasus terakhir adalah gagasan suksesi nasional pada masa Orde Baru yang dilontarkan Amien Rais pada Sidang Tanwir di Surabaya, Desember 1993.

Dalam banyak kasus, ada relasi yang jelas antara perhelatan satu sidang tanwir dan kondisi politik bang sa yang sedang berlangsung. Tentu ini suatu hal logis mengingat Muhammadiyah sangat berkepentingan dengan masa depan Indonesia. Hal ini terlihat jelas dalam tema tanwir kali ini yang mempertegas komitmen Muhammadiyah untuk berkiprah lebih luas dalam koridor kebangsaan. Terlebih, tidak sedikit kader-kadernya yang terjun ataupun aktif dalam kancah politik. Amien Rais dalam wawancaranya dengan Suara Muhammadiyah, Edisi Feb - ruari 2009, menggarisbawahi bahwa tidak ada salahnya kader Muham - ma diyah ikut terlibat dalam arena politik. Semangat demikianlah yang men jadi tonggak transformasi kader Mu hammadiyah dari ranah persyari - kat an dan umat menuju kader bang - sa. Bahkan, Ahmad Syafii Maarif dalam banyak kesempatan di forumforum Muhammadiyah mulai mene - kankan pentingnya ‘revisi’ prioritas ranah juang kader yang selama ini ma sih mengedepankan semangat ka - der persyarikatan. Menurut penasihat PP Muhammadiyah ini, sudah seharusnya Muhammadiyah memproyeksikan proses kaderisasi yang berorientasi pada kepentingan bang - sa dan kemanusiaan. Dengan ungkap an lain, sebagai organisasi dakwah mo dern, Muhammadiyah harus me - ner jemahkan gagasan-gagasan pembaharuan sosial-keagamaannya pa - da domain persoalan kenegaraan dan kemanusiaan yang inklusif.

Civil societydan politik Sebagai kekuatan civil society yang menopang konsolidasi demo - krasi, wacana politik dan kepe mim - pinan nasional bukanlah hal tabu untuk dibicarakan dalam arena tan - wir. Beberapa perhelatan sidang tan - wir, khususnya sejak era reformasi, selalu dihadapkan ataupun membahas persoalan politik kebangsaan.

Kelahiran Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1999 dan Partai Mata - hari Bangsa (PMB) belakangan ini sulit untuk dipisahkan dari dinamika tersebut meskipun sering dianggap sebagai dua bab terpisah dalam percaturan organisasi ini. Seusai hiruk pikuk PAN, kehadiran PMB yang dibidani sejumlah kader ideo - logis-biologis Muhammadiyah da - lam kontestansi pemilu besok tak pelak mengundang sejumlah pertanyaan, terkait masa depan keberjarakan Muhammadiyah dengan institusi partai politik. Kalangan PMB meng klaim bahwa embrio partai yang ber asas Islam berkemajuan ini ada lah rekomendasi Sidang Tanwir Mu hammadiyah di Mataram, Desember 2004.

Dalam konteks ini, netralitas Mu - hammadiyah sebagai garda civil society dalam gelandang politik merupakan posisi yang tidak bisa di - tawar. Kepemimpinan Syafii Maarif (1999-2000; 2000-2005) menjadi sa - lah satu contoh terbaik, bagaimana ormas Islam ini menjunjung tinggi prinsip netralitas organisasi di atas perkawanan. Persoalan netralitas Muhammadiyah menjelang pemilu dan pilpres besok merupakan topik perbincangan menggairahkan belakangan ini di kalangan Muhamma - diyah meskipun secara formal tidak mungkin keluar dari pakem gerakan dakwah dan sosial.

Isu menarik yang akan mencuri per hatian para peserta tanwir adalah spekulasi masa depan Din Syamsud - din selaku ketua umum PP Muham - ma diyah. PMB sudah lebih awal men deklarasikan Din Syamsuddin sebagai calon presiden untuk Pemi - lihan Presiden (pilpres) 2009. Mantan ketua umum PP Pemuda Muhamma - diyah ini juga diminati beberapa par tai lain untuk dijagokan dalam pil pres besok. Namun, dalam banyak kesempatan Din selalu menyampaikan bahwa keputusan terkait ke - sertaan dirinya di ajang pilpres sa - ngat tergantung sikap dan dukung - an politik Muhammadiyah. Sesuai SK PP Muhammadiyah No 101/ - KEP/ I.0/B/2007 yang melarang dualisme kepengurusan, siapa pun pengurus Muhammadiyah yang ma - suk ke dunia politik praktis, baik se - bagai calon anggota legislatif mau - pun jabatan politik lainnya, harus melepaskan jabatan strukturalnya di Muhammadiyah. Andai sidang tanwir memberikan lampu hijau dan Din tegas bersedia untuk maju da - lam pertarungan pilpres mendatang, berarti sinyal ini menandai akan adanya peralihan kepemimpi nan di tubuh ormas Islam ini.

Tapi, apakah dorongan kembali agar Muhammadiyah berkontribusi lebih dalam suksesi nasional nanti akan menggelinding deras di forum tanwir kali ini? Banyak faktor dan aktor yang akan sangat menentukan, apalagi masalah ini kemungkinan besar tidak masuk dalam agenda res - mi tanwir. Suatu kondisi yang mung - kin tidak bisa disamakan dengan suasana psikologis warga Muham - ma diyah pada Pemilu dan Pilpres 2004. Namun, rekomendasi Tanwir II Pemuda Muhammadiyah di Ma - kassar, Agustus 2008, sangat terang meminta Muhammadiyah mendo - rong kader terbaiknya untuk terjun dalam suksesi kepemimpinan na - sional mendatang. Tidak bisa dina - fikan bahwa semangat rekomendasi itu mengarah kepada pimpinan puncak Muhammadiyah saat ini.

Sesungguhnya aspirasi ini sempat menyeruak dalam Sidang Tanwir di Yogyakarta, April 2007, dalam sesi pandangan umum Ikatan Remaja Muhammadiyah dan Pemuda Mu - hammadiyah.

Sikap politik Muhammadiyah ter - kait suksesi kepemimpinan 2009 akan semakin jelas terlihat arahnya pada sidang tanwir kali ini. Ke siap - an dan totalitas organisasi akan sa - ngat menentukan langkah Din selanjutnya. Kondisi sebaliknya akan berdampak lain pula. Fakta di la - pangan menunjukkan bahwa suarasuara di level wilayah dan daerah masih belum padu. Faktor aspirasi dan afiliasi partai politik warga Muhammadiyah yang beragam me - mainkan peran penting dalam proses tarik-menarik ini. Bila persoalan ini dilihat dalam kerangka pertarungan kutub-kutub politik yang ada, Gol - kar, PAN, PKS, PPP, bahkan PMB sama-sama memiliki jaringan dan akses ke semua lini organisasi Mu - ham madiyah.

Melampaui polemik ini, hajatan Tanwir di Bandar Lampung tentu akan menjadi momentum terbaik Muhammadiyah untuk melakukan konsolidasi internal organisasi sesuai amanat Muktamar 2005 di Malang. Yang pasti, sebagai organisasi yang dewasa, Muhammadiyah harus tetap menampilkan keteladanan dan sikap lebih arif dalam praktik berdemo - krasi dan bernegara sebagaimana tema tanwir. Selamat bermu sya wa - rah. Wallahu`alam.

Fatsun Politik Muhammadiyah

Ridho Al-Hamdi
(Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah)


Muhammadiyah memiliki hajat bernama tanwir yang diadakan pada 5-8 Maret 2009 lalu di Bandar Lampung, sebuah forum terbesar di Muhammadiyah setelah muktamar. Salah satu agenda besar yang dibahas adalah meneguhkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam menuju terciptanya masyarakat yang mandiri dan berkeadaban. Sebulan kemudian, tepat 9 April 2009, pesta demokrasi digelar di republik ini untuk memilih para anggota legislatif. Jarak yang tidak jauh antara tanwir dan pemilu, apalagi tanwir diadakan sebelum pemilu.

Sebagai organisasi Islam terbesar, Muhammadiyah memiliki tanggung jawab moral untuk mengarahkan masa depan negeri ini. Apalagi tema dalam tanwir adalah membangun visi dan karakter bangsa. Sebuah momentum yang cukup tepat bagi Muhammadiyah untuk berkontribusi dalam menuntun jalannya demokrasi di negeri ini. Selain itu, kader-kader Muhammadiyah sudah tersebar di berbagai sektor pemerintahan sehingga kualitas dan kapabilitas mereka perlu dikembangkan ke jenjang yang lebih luas lagi. Kader Muhammadiyah juga kader bangsa, sehingga bukan menjadi sesuatu yang mengherankan jika ada kader Muhammadiyah yang berkontestasi di tingkat nasional. Toh, dia juga warga negara Indonesia yang memiliki hak sama dengan warga negara lain yang non-Muhammadiyah.

Jika pada Pemilu 2004 Muhammadiyah memiliki kader yang maju sebagai salah satu kandidat presiden, mengapa pada Pemilu 2009 ini tidak berperan juga. Ini bukan berarti ingin mengulangi kesalahan, tetapi justru belajar dari sejarah untuk menciptakan sejarah baru. Realitas lahirnya Partai Matahari Bangsa merupakan bentuk 'kekecewaan' terhadap Partai Amanat Nasional yang selama ini tidak bisa menampung aspirasi warga Muhammadiyah. Padahal, pendiri partai berwarna biru ini adalah mantan ketua umum Muhammadiyah.
Atas dasar realitas tersebut di atas, muncul egoisme di kalangan elite gerakan ini, mengapa kader Muhammadiyah tidak maju sebagai salah satu kandidat presiden? Di antara para pimpinan Muhammadiyah yang popularitasnya cukup tinggi adalah Dien Syamsuddin, yang sekarang menjabat sebagai ketua umum PP Muhammadiyah. Popularitasnya sebagai cendekiawan Muslim tidak hanya terdengar di Indonesia, gaungnya bahkan hingga ke taraf internasional. Sebuah modal sosial yang cukup kuat untuk berkontestasi dengan para pesaing lainnya.

Gelombang demokrasi membuka keran bagi semua warga negara untuk terlibat sebagai pemain, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kalaupun hanya sekadar menjadi penonton, harus menjadi penonton yang kritis. Di antara salah satu pemain ataupun penonton itu pasti ada warga Muhammadiyah. Namun, Muhammadiyah sudah sejak lama menetapkan garisnya untuk tidak berpolitik praktis, tetapi tetap menghormati dan tidak buta terhadap politik. Jika berpolitik praktis, imbasnya akan terseret pada struktur Muhammadiyah itu sendiri.

Sebagai contoh, jika ada ketua PWM yang maju sebagai calon legislatif dan dia menang dalam pemilihan, akan muncul logika di masyarakat bahwa untuk mendapatkan kursi legislatif tidak harus kemana-mana (apalagi mengeluarkan banyak biaya), tetapi cukup merebut kursi ketua PWM saja. Lalu, untuk merebut kursi ketua PWM harus melalui tahap persaingan ketat di antara para calon yang bersaing. Tidak menutup kemungkinan, akan terjadi segala cara untuk mendapatkan jabatan ketua PWM, termasuk money politic dan black campaign di antara para calon. Jika hal ini terjadi, struktur Muhammadiyah akan terseok-seok.

Karena itulah, melihat adanya perkembangan tersebut, Muhammadiyah mengeluarkan surat keputusan tentang pelarangan bagi pimpinan Muhammadiyah, ortom, dan amal usaha untuk terlibat dalam politik praktis, yaitu maju sebagai calon legislatif, kepala daerah, ataupun DPD. Jika para kadernya tetap maju, harus meninggalkan jabatannya di struktur Muhammadiyah. Di samping itu pula, Muhammadiyah mungkin belajar pada sejarah bahwa di Pemilu 2004 telah gagal mengantarkan kadernya menuju kursi RI satu, maka sejarah itu jangan berulang lagi. Sebagian opini publik mengatakan bahwa orang sekaliber tokoh reformasi Amien Rais saja kalah, apalagi orang lain.

Sebagaimana kita tahu, bahwa Dien Syamsuddin sudah bergegas akan maju menjadi salah satu kandidat yang akan meramaikan bursa calon presiden ketujuh di republik ini. Hal ini terus menjadi perbincangan liar di internal Muhammadiyah. 'Bola liar' itu seperti tak berpangkal. Ada beberapa hal catatan penting yang dikemukakan di sini. Pertama, Muktamar Muhammadiyah Malang 2005, melahirkan adanya kontrak moral di antara ketiga belas pimpinan Muhammadiyah yang terpilih (berikut tanda tangannya), bahwa mereka akan mengabdi di Muhammadiyah hingga akhir periode. Artinya, mereka semua telah berkomitmen atau mewakafkan diri untuk benar-benar berjuang di Muhammadiyah.

Kedua, realitas saat ini mengatakan bahwa Muhammadiyah belum memberikan restu kepada Dien untuk maju sebagai capres, terutama di kalangan elite. Ketiga, partai yang mengusung Dien maju sebagai calon presiden bukanlah partai besar yang sudah teruji pada pemilu-pemilu sebelumnya, apalagi basis suaranya belum bisa dibuktikan secara konkret. Sebagian masyarakat mengatakan, partai pengusung Dien adalah partai pecahan dan setiap partai pecahan biasanya sulit untuk menjadi partai besar. Keempat, kader-kader Muhammadiyah tersebar di parelemen dan partai yang berbeda-beda sehingga menjadi sulit bagi Dien untuk bisa merangkul mereka dan membulatkan suara pada satu fokus isu. Kelima, kecenderungan pemilih warga Muhammadiyah adalah pemilih rasional (rational voter), walaupun masih ada sebagian yang cenderung ideologis.

Tanwir yang akan berlangsung pada awal Maret nanti, merupakan arena netral yang siapa saja bisa memanfaatkannya sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Karena itu, sebelum itu semua terjadi, kita jangan mempolitisasi tanwir sebagai ajang untuk merapatkan isu tertentu, misalnya pencalonan presiden. Tanwir merupakan forum yang dihadiri oleh semua perwakilan wilayah, maka hendaklah forum ini dijadikan sebagai arena untuk membangun negeri ini menjadi negeri yang memiliki karakter yang bermartabat di hadapan semua negara.

Tujuan tersebut di atas jauh lebih mulia daripada tujuan-tujuan pragmatis yang kepentingannya hanya sesaat. Jangan sekali-kali menodai tanwir dengan kepentingan politik praktis segelintir orang. Muhammadiyah jangan terlalu lelah dan kehabisan energi pada tahun yang serbademokrasi ini. Karena, Muhammadiyah memilik fatsun dalam berpolitik. Masih ada pekerjaan rumah yang akan menanti, yaitu Muktamar Muhammadiyah 2010 yang agendanya jauh lebih besar dan tentu menguras pemikiran yang sangat mendalam. Pada muktamar satu abad inilah, pikiran-pikiran Ahmad Dahlan akan diformulasikan ulang untuk menginjak pada abad kedua. Kiranya, Dien dan warga Muhammadiyah bisa memahami realitas ini.

Selasa, 10 Maret 2009

Suasana Tanwir Lampung

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Tentu warga Muhammadiyah berterima kasih kepada harian Republika yang selama beberapa hari telah menyediakan ruang khusus untuk meliput Sidang Tanwir Muhammadiyah yang kali ini diadakan di Hotel Sheraton Bandar Lampung, 5-8 Maret 2009. Dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan ditutup oleh Wakil Presiden M Jusuf Kalla, Ahad sore. Agak di luar perkiraan saya semula tentang kesiapan PWM (Pimpinan Wilayah Muhmmadiyah) Lampung sebagai tuan rumah bagi tamu yang berjumlah sekitar 200 orang, ternyata penyelenggaraan Tanwir cukup bagus dan tertib.

Mengapa harus di hotel? Apakah Muhammadiyah dengan cara demikian itu tidak semakin 'jauh' dari rakyat banyak yang jarang masuk ke hotel berbintang? Pertanyaan model ini tentu sah saja untuk dilontarkan, tetapi sudah tidak relevan lagi jika dikaitkan dengan tuntutan efisiensi dan kemudahan. Dalam hubungan ini, apa yang disampaikan oleh Ketua PP Muhammadiyah, Prof A Malik Fadjar, menarik untuk dicatat: Muhammadiyah jangan dibawa ke jalan-jalan sempit, buntu lagi. Muhammadiyah itu besar, jangan mengerdilkan diri.

Dengan semakin meluasnya kawasan urban di Indonesia yang sudah mencapai 58 persen, warga Muhammadiyah harus meninggalkan wawasan 'jalan sempit' yang serbarural seperti yang masih tersisa pada sebagian warga.Tetapi, orang tidak boleh salah paham bahwa Muhammadiyah kini telah berubah menjadi gerakan Islam elitis, melupakan warga pedesaan yang sebagian masih jauh tertinggal, tidak saja dari segi ekonomi, tetapi juga dalam ranah pendididikan dan kesehatan.

Muhammadiyah tidak akan pernah membeda-bedakan antara orang kota dan desa, semuanya akan dilayani dalam batas kemampuan gerakan sosio-keagamaan modern ini. Dengan demikian, Sidang Tanwir di sebuah hotel tidak ada sangkut-pautnya dengan kemungkinan pergeseran sikap Muhammadiyah dalam melayani masyarakat banyak. Kehadiran Muhammadiyah sejak awal kelahirannya adalah untuk melayani dan mencerdaskan. Filosofi ini tampaknya akan bertahan untuk selama-lamanya, karena memang itulah raison de'tre Muhammadiyah yang tahan banting sejarah.

Lampung yang selama ini dikenal sebagai salah satu provinsi yang termiskin di Indonesia, dan Muhammadiyah berada di dalamnya, dengan tanwir ini, kesan umum tentang serba kemiskinan itu mulai terhapus. Tentu penglihatan selintas ini tidak mesti mewakili realitas masyarakat yang sebenarnya, tetapi kesan positif itu berfungsi sebagai doa Muhammadiyah agar wilayah Lampung cepat bebenah diri untuk menghalau kemiskinan itu sampai ke batas-batas yang jauh. Dalam perspektif ini, kultur good governance yang lagi gencar-gencarnya dilancarkan oleh Depdagri harus dijawab oleh Pemda Lampung dan masyarakat secara keseluruhan dengan menunjukkan sikap responsif dan proaktif.

Muhammadiyah harus berdiri paling depan untuk turut serta memberikan jawaban positif itu. Tidak ada jalan yang lebih efektif untuk menghalau kemiskinan itu, kecuali secepatnya menerapkan secara jujur dan bertanggung jawab prinsip-prinsip good governance berupa: keterbukaan, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, partisipasi, dan sikap jujur. Muhammadiyah Lampung sebagai salah satu kekuatan sipil harus mau berjibaku untuk menjadi mitra pemda dan kelompok-kelompok yang hidup dalam masyarakat dalam upaya menegakkan pilar-pilar tata kelola pemerintahan yang baik itu.

Tentu mesti dimulai dari internal Muhammadiyah sendiri terlebih dulu. Dalam mengelola amal usaha yang bertebaran itu, pimpinan Muhammadiyah setempat agar dapat dijadikan teladan oleh berbagai pihak. Dan itulah dakwah dalam format yang konkret. Dengan penyelenggaraan tanwir yang berjalan lancar ini, semoga menjadi pertanda bahwa Muhammadiyah Lampung memang sudah siap untuk berlomba dengan Muhammadiyah di wilayah-wilayah lain yang bilangannya sudah berada di angka 33, sesuai dengan jumlah provinsi di Indonesia.

Sebuah pengakuan disampaikan kepada saya oleh Ketua PWM Banten bahwa Tanwir Lampung ini lebih bermutu dari tanwir-tanwir sebelumnya, dilihat dari sisi manapun. Para pemakalah yang diundang PP dalam tanwir ini, menurut peserta hampir seluruhnya bermutu tinggi dari segi muatan dialog pencerahan. Suasana damai dan serius dalam sidang-sidang adalah indikator bahwa Muhammadiyah sudah semakin piawai dalam menata manajemen organisasi. Isu-isu politik kontemporer ditanggapi peserta secara biasa saja, tidak ada urat leher yang harus tegang, seperti pengalaman dalam Tanwir Denpasar dan Makassar beberapa tahun yang lalu. Bravo PWM Lampung!

Senin, 09 Maret 2009

MUHAMMADIYAH DALAM PENYEHATAN DEMOKRASI

Oleh: Yudi Latif*


Menjelang Pemilu ketiga pada Orde Reformasi, perkembangan demokrasi Indonesia,
yang menurut text book bisa dikonsolidasikan dalam dua kali pergantian pemerintahan,
masih menyisakan banyak persoalan.
Bukannya tanpa capaian. Kunjungan Hillary Clinton belum lama berselang
mengindikasikan adanya pencapaian ini yang bisa diapresiasi dunia luar. Di Asia
Tenggara, Indonesia adalah satu-satunya negara dengan perkembangan demokrasi yang
positif. Thailand mengalami ketidaktentuan. Malaysia terkendala “two-tier democracy”.
Filipina bermasalah dalam pranata demokrasi, dengan angka kedua tertinggi di dunia
menyangkut pembunuhan jurnalis dengan motif politik. Brunei dianggap “so and so”.
Singapura tetap penting dalam perekonomian, tetapi bukanlah model demokrasi.
Myanmar adalah problem dunia. Indochina masih ruwet. Tak heran, Indonesia menjadi
satu-satunya negara Asia Tenggara yang masuk dalam daftar kunjungan Clinton untuk
pertama kali.
Sejauh menyangkut dunia Islam, Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim
terbesar, dan demokrasi terbesar ketiga, di dunia, dengan watak keterbukaan, moderasi
dan toleransi yang menonjol, yang bisa dijadikan acuan baru dalam tata-hubungan
berbasis kekuatan cerdas dan kebersamaan nilai kemanusiaan. Citra keterbukaan dan
moderasi ini mendapat apresisiasi dunia luar seperti diindikasikan oleh kepercayaan
untuk menjadi tuan rumah “World Climate Change Summit”, dan “World Islamic
Economic Forum, selain juga terbukti oleh kemampuan kita merekonsiliasikan konflik
secara damai, seperti penyelesaian krisis di Aceh, Poso, Papua.
Pencapaian
Sejak era Pemerintahan Habibie, perlbagai langkah untuk mendemokratisasikan
institusi dan prosedur-prosedur politik telah dilakukan dengan sejumlah transformasi
yang nyata: pemerintahan terpilih, pemilu yang relatif fair dan berulang, kebebasan
berekspresi, keluasan akses informasi (meski belum ada jaminan perudang-undangan),
desentralisasi dan otonominasi, pemilihan presiden dan pilkada secara langsung dan
sebagainya.
Selain itu, terdapat perubahan mendasar berdimensi struktural dan kultural. Yang
paling menonjol adalah tercapainya konsensus elit (elite settlement) untuk hal-hal
fundamental. Elite settlement merupakan faktor krusial yang memberi andil besar pada
* Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan-Indonesia (PSIK-Indonesia)

Rekomendasi Tanwir Muhammadiyah

Rekomendasi Tanwir Muhammadiyah PDF Cetak Kirim
Rekomendasi Tanwir Muhammadiyah PDF Cetak Kirim
Bandar Lampung - Usai sudah perhelatan Tanwir Muhammadiyah II tahun 2009 yang dilaksanakan di Bandar Lampung. Sejumlah agenda Tanwir telah selesai dibahas, termasuk harapan warga Persyarikatan atas berbagai hal, yang tertuang dalam Rekomendasi Tanwir Muhammadiyah.


Berikut adalah Rekomendasi Tanwir Muhammadiyah II tahun 2009.

I. Visi dan Karakter Bangsa
  1. Muhammadiyah mengajak segenap komponen bangsa untuk membangun karakter bangsa yang berkepribadian kuat berdasarkan nilai keimanan, ketaatan beribadah, akhlak mulia/budi pekerti luhur sebagai landasan untuk menuju Indonesia yang adil, makmur, berdaulat, maju dan kuat dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika;
  2. Muhammadiyah mendesak pemerintah dan pejabat negara agar menggunakan wewenang dan jabatannya sesuai dengan amanah yang diberikan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat dan meminta pemerintah untuk menindak tegas pejabat negara yang melakukan praktik nepotisme, korupsi, dan manipulasi;
  3. Muhammadiyah menuntut para pengelola negara untuk menjadikan NKRI sebagai Negara-Pelayan (the servant state) yang menjalankan fungsi pemerintahan yang sepenuhnya bertanggungjawab untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana cita-cita kemerdekaan;
  4. Muhammadiyah mendesak pemerintah (pusat dan daerah) dan mengajak segenap elemen bangsa untuk mengoptimalkan konsolidasi demokrasi dengan membangun kultur demokrasi yang berkeadaban, egaliter, menghargai keberagaman, menjunjung tinggi meritokrasi, saling menghormati dan menjunjung tinggi hukum untuk mewujudkan kualitas hidup bangsa;
  5. Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk menerapkan paradigma pembangunan berkelanjutan yang bermakna (sustainable development with meaning) dengan prinsip pembangunan yang memanfaatkan sumberdaya alam secara eko-demokratis, kebijakan politik ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat, serta menjunjung tinggi moralitas dan kedaulatan bangsa;
  6. Muhammadiyah mendesak pemerintah (pusat dan daerah) untuk menyelamatkan aset negara serta mengelola kekayaan dan sumberdaya alam dengan memprioritaskan kepentingan jangka panjang, keseimbangan lingkungan hidup, dan memanfaatkannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
  7. Mengusulkan kepada Pemerintah RI agar K.H. Ahmad Dahlan ditetapkan sebagai tokoh Bapak Pendidikan nasional.

II. Politik dan Pemilu 2009
  1. Muhammadiyah mendesak partai politik dan seluruh komponen bangsa untuk tidak menjadikan Pemilu 2009 sebagai ajang perebutan kursi kekuasaan (power struggle) belaka yang menjurus pada pragmatisme dan menghalalkan segala cara. Akan tetapi Pemilu harus dijadikan momentum untuk menghasilkan anggota legislatif, presiden dan wakil presiden yang bertanggungjawab dalam menjalankan amanat rakyat, mengurus negara/pemerintahan dengan benar, menghasilkan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat kecil, menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan dan etika publik, membangun kepercayaan, serta tidak menggunakan aji mumpung dalam melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya;
  2. Muhammadiyah menyerukan kepada segenap komponen bangsa untuk memilih pemimpin nasional pada Pemilu 2009, yang:
    1. Memiliki visi dan karakter yang kuat sebagai negarawan yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara ketimbang kepentingan partai politik, diri sendiri, keluarga, kroni dan lainnya;
    2. Berani mengambil berbagai keputusan penting dan strategis yang menyangkut hajat hidup rakyat dan kepentingan negara, mampu menyelesaikan persoalan-persoalan krusial bangsa secara tegas, serta melakukan penyelamatan aset dan kekayaan negara;
    3. Mampu menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di dalam dan luar negeri, serta mampu mewujudkan good governance termasuk melakukan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu;
    4. Melepaskan jabatan di partai politik apapun dan berkonsentrasi dalam memimpin bangsa dan negara.
  3. Muhammadiyah menyeru dan mengajak segenap warga negara yang memiliki hak pilih untuk menggunakan hak politiknya dalam Pemilu 2009 secara cerdas dan kritis. Penggunaan hak politik tersebut merupakan wujud tanggungjawab berdemokrasi untuk perbaikan dan penyempurnaan kehidupan berbangsa dan bernegara;
  4. Muhammadiyah mengajak segenap kekuatan politik, elite, dan warga masyarakat untuk menjauhkan diri dari segala bentuk politik uang dan cara-cara yang kotor dalam berpolitik pada Pemilu 2009, sebab tindakan seperti itu selain tidak benar juga dapat merusak tatanan kehidupan politik nasional dan meruntuhkan moral bangsa.



III. Internasional
  1. Muhammadiyah menyeru Dunia Islam, terutama negara-negara kaya di Asia Barat, untuk membangun jaringan solidaritas kongkrit bagi penanganan masalah konflik dan kemiskinan di negara-negara yang mayoritas beragama Islam;
  2. Muhammadiyah mengajak semua kekuatan umat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia untuk tetap memperkuat solidaritas dan keberpihakan bagi umat Islam dan negara-negara Muslim yang tertindas seperti Palestina, Irak, Sudan, dan sebagainya;
  3. Muhammadiyah mendesak Pemerintah untuk membentuk Atase Agama di Kedubes Republik Indonesia di negara-negara yang menjadi tujuan pekerja Indonesia di luar negeri untuk kepentingan pembinaan keagamaan;
  4. Muhammadiyah mengajak negara-negara maju dan berkembang untuk membangun Tata Dunia baru yang lebih beradab dan mampu mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi secara mondial, tidak standar ganda, mengedepankan dialog, dan saling menghormati kedaulatan tiap negara dalam semangat keadilan dan kesetaraan.

Bandar Lampung, 8 Maret 2009

Muhammadiyah Serukan Islam Membangun Jaringan

Senin, 9 Maret 2009 | 02:35 WIB

BANDARLAMPUNG,MINGGU-Muhammadiyah menyerukan dunia Islam, terutama negara-negara kaya di Asia Barat, untuk membangun jaringan solidaritas konkret bagi penanganan masalah konflik dan kemiskinan di negara-negara yang mayoritas beragama Islam.

Pernyataan Muhammadiyah tersebut, merupakan rekomendasi Sidang Tanwir Muhammadiyah, di Bandarlampung, 5-8 Maret, yang disiarkan Minggu (8/3).

Rekomendasi internasional lainnya, mengajak semua kekuatan umat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia untuk tetap memperkuat solidaritas dan keberpihakan bagi umat Islam dan negara-negara muslim yang tertindas seperti Palestina, Irak, Sudan, dan sebagainya.

Setelah itu, Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk membentuk Atase Agama di Kedubes RI di negara-negara yang menjadi tujuan pekerja Indonesia di luar negeri untuk kepentingan pembinaan agama.

Selanjutnya, ormas keagamaan itu mengajak negara-negara maju dan berkembang untuk membangun tata dunia baru yang lebih beradab dan mampu mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi secara mondial, tidak standar ganda, mengedepankan dialog, dan saling menghormati kedaulatan tiap negara dalam semangat keadilan dan kesetaraan.

Humas Tanwir Muhammadiyah, Suprapto menambahkan, terkait politik, rekomendasi Muhammadiyah mendesak partai politik dan seluruh komponen bangsa untuk tidak menjadikan Pemilu 2009 sebagai ajang perebutan kursi kekuasaan belaka yang menjurus pada pragmatisme dan menghalalkan segala cara.

"Akan tetapi, Pemilu harus dijadikan momentum untuk menghasilkan anggota legislatif, presiden dan wakil presiden yang bertanggungjawab dalam menjalankan amanat rakyat mengurus negara atau pemerintah dengan benar," katanya.

Selain itu, menghasilkan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat kecil, menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan dan etika publik, membangun kepercayaan serta tidak menggunakan "aji mumpung" dalam melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya.

Minggu, 08 Maret 2009

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

I N S T R U K S I

No. 03/INS/I.0/A/2008

Tentang:

MENJAGA KEMURNIAN DAN KEUTUHAN MUHAMMADIYAH

MENGHADAPI PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009

Bismillahirrahmanirrahim

Pimpinan Pusat Muhammadiyah sesuai dengan prinsip-prinsip khittah dan kebijakan-kebijakan yang selama ini berlaku tentang politik menyampaikan Instruksi dalam menghadapi Pemilihan Umum tahun 2009 sebagai berikut:

1. Menegaskan bahwa sebagai organisasi/gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang bergerak dalam lapangan keagamaan dan kemasyarakatan maka sesuai dengan khittah, Muhammadiyah tidak bergerak dalam lapangan dan kegiatan politik, tetapi tetap berada dalam posisi independen, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu organisasi politik apapun.

2. Melarang Pimpinan Persyarikatan beserta Majelis, Lembaga, Ortom, Amal Usaha, dan institusi-institusi lainnya yang berada dalam lingkungan Persyarikatan melibatkan organisasi/Persyarikatan untuk kepentingan mendukung atau menolak partai politik dan/atau calon-calon anggota legislatif dari partai politik tertentu baik secara langsung maupun melalui kerjasama dengan partai politik dan/atau tim sukses partai politik/calon anggota legislatif dari partai politik tertentu.

3. Meminta kepada Pimpinan Persyarikatan, Majelis, Lembaga, Ortom, Amal Usaha, dan institusi-institusi lainnya yang berada dalam lingkungan Persyarikatan jika ada anggota pimpinan/fungsionaris yang menjadi anggota Tim Sukses partai politik dan/atau calon-calon anggota legislatif dari partai politik tertentu maka yang bersangkutan harus dinonaktifkan dari jabatannya sampai selesainya kegiatan Pemilu.

4. Melarang penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Persyarikatan termasuk di lingkungan Majelis, Lembaga, Ortom, Amal Usaha, dan institusi-institusi lainnya yang dimanfaatkan untuk kampanye partai politik dan/atau calon-calon anggota legislatif dalam bentuk apapun.

5. Melarang penggunaan lambang/simbol, dana, sarana, prasarana, dan fasilitas milik Persyarikatan seperti gedung sekolah/kampus, rumah sakit/poliklinik/balai pengobatan, masjid/mushalla, panti asuhan, kantor Persyarikatan, dan lain-lain dengan perlengkapannya untuk kegiatan apapun yang diselenggarakan oleh partai politik.

6. Menganjurkan kepada seluruh jajaran Pimpinan Persyarikatan maupun warga Muhammadiyah untuk ikut mendorong dan mensukseskan penyelenggaraan Pemilu yang jujur, bersih, demokratis, damai, dan memihak kepada kepentingan rakyat, serta dapat mencegah dan menjauhkan diri dari praktek-praktek kekerasan/anarkhis, praktek politik uang dan hal-hal yang melanggar norma-norma agama dalam Pemilu tersebut. Pimpinan Pusat Muhammadiyah meminta semua pihak untuk tidak menjadikan kampanye sebagai ajang konflik, kekerasan, dan hal-hal lain yang merugikan manusia dan hajat hidup publik, termasuk dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa.

7. Memberikan kebebasan kepada anggota/warga Muhammadiyah untuk menggunakan hak politik/hak pilih/hak asasi sesuai hati nuraninya, dengan sebaik-baiknya secara cerdas, kritis, disertai istikharah, dan mempertimbangkan kemaslahatan/kepentingan Persyarikatan, umat, dan masyarakat baik secara nasional, maupun di wilayah/daerah yang bersangkutan. Kebebasan menggunakan hak tersebut dimaknai sebagai wujud pertanggungjawaban amanah kepada Allah SWT dalam menentukan arah masa depan bangsa dan negara Indonesia.

8. Menghimbau warga Muhammadiyah yang memasuki dan apalagi menjadi pimpinan partai politik/tim sukses, selain dapat membawa missi Muhammadiyah juga tetap beraqidah dan berakhlaq Islam, serta memperjuangkan kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya.

9. Menyerukan kepada segenap warga dan Pimpinan Muhammadiyah untuk tetap menjaga keutuhan, meningkatkan kebersamaan dan lebih mempererat ukhuwah/persaudaraan antara anggota pimpinan khususnya serta antara anggota Muhammadiyah umumnya, sehingga Muhammadiyah tetap dapat melaksanakan perannya dalam rangka dakwah Islam amar ma`ruf nahi munkar.

Garis kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut dimaksudkan agar supaya pimpinan Persyarikatan tetap dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar di samping dapat berfungsi sebagai pengayom bagi warga Muhammadiyah secara keseluruhan yang berbeda dan beragam wadah dan saluran politiknya. Sedangkan bagi warga Muhammadiyah yang duduk di pimpinan partai, dengan adanya pengaturan dan pembagian tugas tersebut, tidak merasa terganggu bahkan dapat berperan maksimal dalam partai serta bisa memberikan keteladanan yang baik.

Demikianlah instruksi ini kami sampaikan agar dapat disosialisasikan kepada segenap Pimpinan Persyarikatan beserta Unsur Pembantu Pimpinannya, Amal Usaha, Ortom, dan warga Persyarikatan di tingkatan masing-masing untuk mendapat perhatian sepenuhnya dan dapat dilaksanakan dengan penuh kebijakan, kesadaran dan ketulusan. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan pertolongan dan perlindungan kepada kita.

Nasrun min Allah wa fathun qarib.

Yogyakarta, 16 Rajab 1429 H

19 Juli 2008 M

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ketua Umum, Sekretaris Umum,

Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, M.A. Drs. H. A. Rosyad Sholeh

Sabtu, 07 Maret 2009

TANWIR MUHAMMADIYAH TAHUN 2009



A Rosyad Sholeh

Melaksanakan amanat Anggaran Dasar Muhammadiyah, pada tahun 2009 ini, tepatnya tanggal 5 - 8 Maret 2009, Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan menyelenggarakan Sidang Tanwir tahun 2009, bertempat di kota Bandar Lampung. Tanwir tahun 2009 ini merupakan Tanwir kedua pada periode sekarang ini, dan Tanwir jelang Muktamar ke-46 yang akan dilangsungkan di Yogyakarta pada pertengahan tahun 2010 mendatang. Karenanya dapat dipahami kalau Tanwir Tahun 2009 ini mempunyai arti yang sangat penting dan strategis bagi perjalanan Persyarikatan. Melalui Tanwir ini, selain dapat dilakukan evaluasi terhadap perjalanan Muhammadiyah selama 1 tahun setelah Tanwir pertama yang lalu, juga dapat dilakukan evaluasi pula terhadap persiapan penyelenggaraan Muktamar ke-46 yang tinggal satu setengah tahun lagi itu. Di samping itu, Tanwir yang merupakan permusyawaratan di bawah Muktamar, yang dihadiri oleh seluruh anggota Pimpinan Pusat beserta Wakil Majelis, Lembaga dan Ortom Tingkat Pusat, Ketua Pimpinan Wilayah dan Wakil Wilayah dari seluruh Indonesia itu, rasanya juga tepat dijadikan sebagai forum untuk membahas permasalahan dan tantangan yang tengah dihadapi bangsa ini serta peran apa yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah dan Tajdid dalam ikut mengatasi permasalahan dan tantangan tersebut.
Bangsa Indonesia saat ini, -sebagaimana dilukiskan dalam pokok pikiran yang mendasari diselenggarakannya Tanwir tahun ini- masih menghadapi krisis multidimensi. Di antara krisis yang melanda bangsa ini, selain di bidang ekonomi, ialah krisis moral dan spiritual serta disorientasi (ketidakjelasan dan salah arah) visi kebangsaan dalam berbagai aspek kehidupan. Krisis orientasi nilai dan visi kebangsaan tersebut dapat ditunjukkan dalam sejumlah kasus seperti maraknya politik uang dan skandal di dunia politik, kian terbukanya orientasi kekuasaan para elit dan melemahnya kepekaan mereka dalam menghadapi problema bangsa, terbongkarnya berbagai kasus korupsi di birokrasi dan lembaga pemerintahan, kekerasan dalam menyelesaikan masalah dan konflik sosial, melemahnya harga diri dan kedaulatan sebagai bangsa dan negara merdeka, kekayaan dan aset-aset negara yang dijual kepada pihak asing, dan berbagai masalah krusial lainnya seperti kemiskinan, penjualan manusia, pengangguran dan sebagainya.
Berbagai krisis tersebut dalam aspek tertentu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tengah menghadapi krisis visi dan karakter kebangsaan. Bangsa ini, sebagaimana ditunjukkan oleh para elit dan warganya kehilangan pijakan dan orientasi nilai dalam sikap dan tindakannya. Tindakan-tindakan yang berpijak pada nilai benar-salah, baik-tidak baik, pantas-tidak pantas sering dikalahkan oleh orientasi serba kegunaan dan kepentingan. Selain itu terdapat pula kecenderungan lemahnya karakter para elit yang kehilangan ketegasan sikap dalam menghadapi pihak asing dan dalam menyikapi berbagai persoalan untuk memertahankan prinsip menjaga martabat bangsa. Lebih jauh lagi, bangsa ini seolah-olah tengah kehilangan arah tentang masa depannya sehingga menjauh dari cita-cita luhur kemerdekaan sebagaimana diletakkan oleh para pejuang dan pendiri bangsa ini.
Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam yang berkiprah di lapangan dakwah dan tajdid tidak boleh tinggal diam dalam menghadapi krisis visi dan karakter bangsa tersebut. Muhammadiyah perlu menjawab persoalan-persoalan krusial bangsa, khususnya menyangkut ikhtiar membangun visi dan karakter bangsa, sehingga bangsa ini benar-benar mengetahui arah masa depannya dan memiliki kepribadian yang berbasis akhlak mulia menuju terwujudnya peradaban yang dicita-citakan. Muhammadiyah dengan pengalaman sejarah yang panjang dan berkomitmen tinggi pada pembangunan cita-cita kebangsaan dituntut peran aktifnya untuk membangun kembali visi dan karakter bangsa ini di tengah pergulatan bangsa-bangsa lain yang semakin maju. Dengan demikian, Muhammadiyah secara obyektif mampu mewujudkan nilai-nilai Islam yang didakwahkannya sebagai rahmatan lil ‘alamin bagi bangsa Indonsia tercinta ini. Atas dasar inilah maka Tanwir Muhammadiyah tahun ini mengangkat sebuah tema, yaitu:
“MUHAMMADIYAH MEMBANGUN VISI DAN KARAKTER BANGSA”

Prof. DR. HM Amien Rais, MA:


Jika Merangkul Semua Partai,
Muhammadiyah Bisa Pingsan Berdiri!

Pesta demokrasi di Indonesia akan segera digelar tahun ini. Di tengah-tengah persiapan partai-partai politik menuju perhelatan akbar tahun ini, tidak sedikit para aktivis Muhammadiyah terjun ke dunia politik praktis. Banyak pengurus maupun anggota Muhammadiyah berebut mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg) maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Fenomena semacam ini sangat mengkhawatirkan, karena Muhammadiyah bisa diperalat untuk mencapai tujuan politik tertentu.

Dalam kondisi genting semacam ini, bagaimanakah agar idealisme dalam ber-Muhammadiyah tetap terjaga dan aspirasi politik warga persyarikatan dapat tersalurkan lewat partai-partai politik yang akan bertarung di ajang pemilu nanti? Berikut ini petikan wawancara Mu’arif dari Suara Muhammadiyah dengan Prof. DR. HM Amien Rais, MA, Penasihat PP Muhammadiyah, Bapak Reformasi, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan mantan Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI).

Menjelang pemilu kali ini, pragmatisme politik di Indonesia mulai tampak. Apakah fenomena semacam ini akan berpengaruh pada para aktivis Muhammadiyah?
Jadi, yang tidak boleh dilupakan, kehidupan politik itu tidak pernah bisa dipisahkan dari kehidupan sebuah negara modern. Tidak kalah pentingnya, harus disadari bahwa keputusan-keputusan politik yang diambil oleh sebuah negara akan punya implikasi sangat jauh di bidang sosial, ekonomi, pendidikan, bahkan pada cara berpikir dan model kehidupan bangsa bersangkutan. Begitu pentingnya keputusan politik, bisa kita lihat misalnya, apakah kita memilih sentralisasi kekuasaan atau desentralisasi kekuasaan, ini sebuah keputusan politik. Apakah kita mengundang IMF untuk menolong perekonomian kita atau lebih percaya diri tidak perlu IMF, itu juga sebuah keputusan politik. Malahan, apakah kita perlu reformasi atau tidak perlu, itu juga keputusan politik. Jadi, semua anggota masyarakat dari sebuah negara modern memang akan berhubungan, bersinggungan, bahkan hidup dalam wilayah politik.
Hanya masalahnya, orang-orang Muhammadiyah harus sedikit lebih cerdas daripada kebanyakan anggota masyarakat yang memang tidak dibimbing oleh kesadaran ilahiyah. Biasanya, politik itu selalu dikaitkan dengan pertanyaan mendasar, yaitu siapa, mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Ini adalah definisi politik yang sangat sekuleristik. Sedangkan, kalau kita kembali kepada asas agama kita, maka definisi politik yang anggun dan lengkap adalah berkaitan dengan siapa, mendapat apa, kapan, bagaimana, dan mengapa. Nah, masalah mengapa ini sangat penting karena berkaitan dengan niat. Padahal, kata Nabi saw, niat seseorang merupakan pokok pangkal kecelakaan atau keberhasilan dari usaha perjuangannya. Sesungguhnya, tidak ada salahnya orang-orang Muhammadiyah, para tokoh intelektualnya, tokoh angkatan mudanya, bahkan para pemikirnya, untuk ikut terjun ke gelanggang politik. Jangan sampai kekuasaan politik dimonopoli oleh orang-orang yang tidak paham dengan perjuangan Muhammadiyah.
Hanya saja, kepada kader-kader Muhammadiyah perlu dibekali bahwa mengapa mereka terjun ke dunia politik. Tentu bukan karena mengejar kursi, bukan mengejar honorarium yang gede, bukan karena mengejar kekuasaan demi kekuasaan, tetapi sesungguhnya mereka ingin berkhidmat melakukan ibadah dalam arti luas lewat kegiatan politik. Karena itu, seharusnya secara konseptual, tidak mungkin kader Muhammadiyah terjerembab ke dalam pragmatisme politik, apalagi politik yang berbau Machiavelli, yaitu tujuan menghalalkan cara. Nah, inilah yang sering saya katakan dulu, bahwa memang masuk ke wilayah politik selalu banyak godaan, banyak rintangan, tetapi banyak juga contoh bahwa tokoh-tokoh pemikir Islam, baik di Iran, Turki, Mesir, Syria, dan Malaysia, yang tetap piawai masuk dunia politik, justru menghasilkan kebajikan dan keuntungan buat umat Islam.

Ada semacam kekhawatiran dari Muhammadiyah sampai keluar SK PP No. 160 tentang para aktivis persyarikatan yang terjun ke dunia politik. Bagaimana menurut bapak?
Prinsipnya adalah, bahwa tokoh-tokoh Muhammadiyah yang masuk ke dunia politik, di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional, secara otomatis harus meninggalkan dan menanggalkan jabatannya di Muhammadiyah.

Secara otomatis?
Ya! Secara otimatis harus begitu.

Sekalipun tidak jadi?
Nah, kalau tidak jadi saya tidak tahu!
Contohnya, ketika saya menjabat sebagai ketua umum DPP PAN, maka otomatis saya berhenti menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah dilanjutkan oleh Pak Syafii Ma’arif. Ini percontohan yang saya berikan dulu. Mengapa? Supaya Muhammadiyah tetap ditekuni secara total sementara si tokoh yang masuk ke dunia politik juga bisa berpikir lebih total untuk mencapai cita-citanya. Jadi, tidak ada tokoh Muhammadiyah yang kakinya yang satu masih di persyarikatan sementara satunya lagi di dunia politik, nanti tidak akan berhasil dan malah menjadi bumerang. Lama-lama, dia bisa mengatasnamakan Muhammadiyah untuk mencapai tujuan politiknya. Atau sebalikya, dia akan membawa-bawa politik ke Muhammadiyah. Itu bisa merusak.

Bagaimana komentar bapak tentang beberapa pimpinan di Muhammadiyah yang terjun ke dunia politik?
Dalam hal ini, saya ingat dalam perjanjian bersama dari para anggota pimpinan Muhammadiyah seusai muktamar di Malang, dikatakan, siapa pun yang mencalonkan diri untuk memangku suatu jabatan publik, seperti bupati, walikota, gubernur, presiden, wapres, dan lain-lain, memang otomatis harus berhenti dari kepemimpinan di Muhammadiyah. Saya tidak ingin menggurui, saya kira anggota pimpinan Muhammadiyah, 13 yang terpilih, lebih arif dan piawai untuk memecahkan permasalahan ini.

Khittah Muhammadiyah tentang politik menggunakan istilah “menjaga jarak” dengan parpol. Belakangan ini, terdengar nyaring istilah baru, yaitu “menjaga kedekatan yang sama” dengan partai-partai politik. Bagaimana menurut bapak?
Saya kira, kata-kata “menjaga jarak” atau “menjaga kedekatan yang sama” hanya kata-kata dekoratif yang bisa diformulasikan secara berbeda-beda. Tetapi yang jelas, Muhammadiyah adalah sebuah jam’iyyah, persyarikatan, harakah, sebuah kekuatan Islam di negeri ini, yang berdurasi jauh lebih panjang dan punya cita-cita jauh lebih luhur dari partai-partai politik. Karena itu, ketika saya jadi Ketua Umum DPP PAN, saya sering mengatakan jangan pernah ada pimpinan Muhammadiyah mencoba menarik Muhammadiyah ke partai-partai yang ada. Bahkan, saya akan marah sekali kalau ada orang Muhammadiyah menganjurkan supaya orang-orang Muhammadiyah bernaung di bawah bendera PAN! Biarkanlah orang-orang Muhammadiyah yang umumnya kritis dan berpikir korektif memilih sesuai dengan pilihan masing-masing. Tetapi, jangan pernah menyangkutkan Muhammadiyah dengan sebuah partai politik secara organisatoris, secara psikologis, apalagi kemudian diformalkan.

Ada kesan, lewat kata-kata ini, Muhammadiyah hendak merangkul semua partai. Tanggapan bapak?
Itu tidak boleh! Muhammadiyah kehabisan tenaga. Kalau Muhammadiyah merangkul semua partai malah bisa pingsan berdiri! Jadi, itu aneh sekali. Muhammadiyah akan kehabisan tenaga.

Sidang Tanwir nanti akan mengangkat tema “Muhammadiyah Membangun Visi dan Karakter Bangsa”. Menurut bapak, bagaimanakah visi Muhammadiyah tentang bangsa ini?
Insya Allah, saya juga merupakan salah satu yang diundang untuk berbicara di Sidang Tanwir Muhammadiyah di Lampung nanti. Menyangkut masalah-masalah besar yang dihadapi bangsa, Muhammadiyah memang harus punya visi. Nah, visi Muhammadiyah itu tentu sepenuhnya kongruen, sama dan sebangun, dengan visi Al-Qur’an dan visi Sunnah Shahihah. Jadi, Islam dan Sunnah Nabi yang universal tidak mungkin bersilang selisih, apalagi bertolak belakang, dengan kebutuhan asasi umat manusia. Jadi, enaknya seorang politisi yang sudah paham Muhammadiyah, ke mana pun dia bergerak dan berkegiatan, maka tetap saja pegangannya adalah amar ma’ruf dan nahi munkar. Kemudian dengan pemahaman Qur’an dan Sunnah yang benar dan proporsional, maka dia akan bisa membawakan diri secara proporsional, juga di kehidupan pendidikan, ekonomi, politik, sosial, pembanguan hukum, pengembangan iptek dan lain-lain.

Muhammadiyah tidak pernah berusaha mendirikan Negara Islam, tetapi justru bercita-cita “mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Bisa dijelaskan maksudnya?
Jadi, membangun masyarakat jauh lebih sulit daripada membangun sebuah negara. Membangun sebuah negara memang lewat pemegangan kekuasaan dari sebuah bangsa. Kekuasaan itu bisa diambil lewat proses demokrasi melalui pemilu, bisa juga lewat kudeta, bahkan bisa lewat pemberontakan. Nah, Muhammadiyah tidak percaya bahwa misi ke-Islaman Muhammadiyah bisa dilaksanakan semata-mata lewat kekuasaan. Kekuasaan itu sesuatu yang sifatnya sangat rapuh. Kekuasaan itu datang dan pergi, jatuh dan bangun, bahkan kadang-kadang bisa lenyap secara tiba-tiba. Tetapi, kalau masyarakat itu jauh lebih lestari, karena masyarakat adalah kumpulan dari tiap individu yang membentuk sebuah bangsa dengan segala macam aspirasi, impian dan cita-cita. Nah, Muhammadiyah tidak membidik Negara Islam sama sekali, tetapi mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Artinya, melakukan transformasi mental, transformasi gagasan, transformasi cara kehidupan dan bersikap, serta tranformasi etiket dan etika dalam kehidupan sebuah bangsa. Nah, kalau masyarakat itu lebih kurang sudah landing kepada nilai-nilai Islam, maka sesungguhnya tujuan Muhammadiyah itu sudah terpenuhi, sekalipun kita juga paham bahwa untuk melakukan transformasi kehidupan Islami di tengah masyarakat adalah sebuah perjuangan abadi. Intinya adalah, bahwa Muhammadiyah tidak akan berebut kekuasaan, tetapi Muhammadiyah itu berkhidmat di bidang pendidikan, kesehatan, pembangunan SDM, mengarahkan kepemudaan, keputrian, kepanduan dan lain-lain, tanpa melupakan kehidupan politik.l Rif

MEMAHAMI DAN MELAKSANAKAN KETENTUAN LARANGAN RANGKAP JABATAN POLITIK DI MUHAMMADIYAH (2)



DR. H Haedar Nashir, M.Si


Jadi, secara organisatoris-konstitusional maupun kultur organisasi Muhammadiyah, maka kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang larangan rangkap jabatan politik dengan jabatan-jabatan tertentu di lingkungan Persyarikatan, selain memiliki landasan yang kuat, juga bukanlah hal baru, sehingga sesungguhnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari keberadaan Muhammadiyah. Bahwa, selalu ada bagian-bagian tertentu yang tampak baru dan harus diatur, tentu saja sesuai dengan perkembangan organisasi dan situasi yang dihadapi Muhammadiyah saat ini.

Dalam hal ini SK PP Muhammadiyah tersebut jangan ditafsirkan sebagai pengebirian dan mematahkan langkah para kader atau anggota untuk berkiprah di ranah politik-praktis atau di pentas politik nasional, tetapi sebagai pagar organisasi agar di satu pihak Muhammadiyah tetap berjalan di jalurnya sebagai gerakan dakwah di lapangan pembinaan masyarakat. Di sisi lain mereka yang berkiprah di dunia politik-praktis juga dapat berkonsentrasi sepenuhnya dalam menjalankan peran-perannya untuk kepentingan bangsa dan negara.

Bagaimana dengan pencalonan dan keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)? Masalah yang menyangkut pencalonan DPD memang terjadi perkembangan. Pada Pemilu 2004 melalui rapat pleno bersama Ketua-Ketua PWM se-Indonesia terdapat keputusan untuk mendorong anggota Muhammadiyah untuk menjadi calon dan anggota DPD, hal serupa juga berkembang ketika pertemuan PP Muhammadiyah dengan Ketua-Ketua PWM se-Indonesia di Jakarta tahun yang lalu. Dengan dasar itu, maka terjadi dukungan yang lebih khusus dan kadang melibatkan kelembagaan Muhammadiyah untuk menyukseskan anggota yang ditunjuknya guna menjadi calon dan anggota DPD. Ketentuan SK 160/2008 sebenarnya secara substantif tidak mengganggu proses penyuksesan calon anggota DPD yang ditetapkan oleh Muhammadiyah di wilayah masing-masing, karena yang diatur adalah soal perangkapan jabatannya dan bukan keabsahan para calon yang telah ditunjuk maupun dukungan warga Muhammadiyah. Memang, dalam situasi tertentu mungkin akan dipolitisasi oleh calon lain atau yang tidak setuju dengan calon yang ditetapkan oleh Muhammadiyah, tetapi jika proses kualitatif dan pengorganisasian dukungan berlangsung solid, maka dapat dicarikan solusi dan recovery yang baik.

Memang, ada perkembangan baru dengan DPD. Bahwa, DPD untuk Pemilu 2009 tidak murni non-politik sebagaimana Pemilu 2004, karena partai politik mulai terlibat dan diperbolehkannya calon yang mewakili dan memeroleh dukungan partai politik. Kedua, sejak Pemilu 2004 maupun untuk Pemilu 2009 di sejumlah wilayah tidak terdapat calon tunggal dari lingkungan Muhammadiyah, sehingga mulai terjadi fragmentasi calon dan dukungan. Masalah ini juga perlu menjadi perhatian, karena pada akhirnya akan mengganggu atau memengaruhi kondisi internal Muhammadiyah. Dipahami bahwa pada umumnya para anggota pimpinan yang maju menjadi calon anggota DPD memang karena didorong oleh warga atau organisasi Muhammadiyah, sehingga bukan karena ambisi pribadi. Namun, hal tersebut tentu tidak serta-merta menghimpitkan urusan dan jabatan secara sama dan sebangun dengan Muhammadiyah, sehingga apa pun memerlukan pengaturan dan jarak tertentu. Insya Allah dengan semangat niat ikhlas dan untuk kebesaran Muhammadiyah banyak hal yang menyangkut kemusykilan atau kesulitan dari implikasi kebijakan-kebijakan Pimpinan Pusat maupun Persyarikatan Muhammadiyah dapat dicarikan jalan keluarnya yang elegan.

Adapun perkembangan baru lain yang menyangkut kehadiran SK PP Muhammadiyah yang menyangkut larangan rangkap jabatan menjadi terasa lebih mengundang reaksi keberatan dari sebagian warga, tentu terkait dengan kondisi perpolitikan di Tanah Air yang berimbas pada Muhammadiyah. Sebenarnya secara umum dan memang telah menjadi budaya Muhammadiyah, ketentuan-ketentuan larangan rangkap jabatan seperti itu telah berlaku dan tidak banyak masalah. Memang, di sejumlah tempat belum terlaksana dengan baik, apakah karena kondisi setempat atau karena tidak ada eksekusi yang tegas dari Pimpinan Persyarikatan yang membawahinya, atau karena yang terkena larangan rangkap jabatan memang tidak bersedia untuk menantinya. Namun, kondisi Persyarikatan secara umum sesungguhnya berjalan normal dan tidak gaduh dengan kehadiran SK Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut.

Hal yang perlu dipahami bahwa, kehadiran SK PP Muhammadiyah tentang larangan rangkap jabatan politik bukanlah penyebab masalah. Jika mau diletakkan secara proporsional, ketentuan seperti itu selain telah berlaku atau berjalan dari periode ke periode, juga hasilnya telah memantapkan kondisi Muhammadiyah dari overlapping atau tumpang-tindih dan berhimpit dengan tarikan-tarikan partai politik dengan segala kepentingannya. Tetapi situasi jelang Pemilu 2009 memang terjadi kecenderungan anggota Muhammadiyah yang bergairah masuk ke dalam partai politik, menjadi calon anggota legislatif (DPR dan DPRD) maupun DPD, dan bahkan membidani lahirnya partai politik. Pada saat yang sama sebagian anggota Muhammadiyah tersebut memegang jabatan tertentu di struktur Persyarikatan, termasuk di amal usaha Muhammadiyah. Kondisi yang tumpang-tindih seperti itu menyebabkan terganggunya posisi dan proses perpolitikan dari para calon, sehingga kehadiran SK PP Muhammadiyah menjadi lebih terasa. Pangkalnya sebenarnya bukan SK Pimpinan Pusat, tetapi keterlibatan dalam berbagai kegiatan politik dan partai politik.

Memang disadari pula bahwa politik dan berjuang melalui partai politik itu penting; sebagaimana pentingnya bergerak di lapangan dakwah kemasyarakatan yang non-politik. Muhammadiyah maupun Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga tidak menutup mata terhadap kepentingan politik yang strategis seperti itu, juga tidak alergi apalagi anti-politik. Namun, dengan khittah dan kebijakan-kebijakan larangan rangkap jabatan yang ditetapkan, sebagaimana tercantum dalam pertimbangan bahwa Muhammadiyah harus tetap terjaga keberadaannya sebagai gerakan dakwah dan tajdid yang bergerak di lapangan masyarakat dan tidak bergerak di lapangan politik-praktis. Selain itu, karena penting dan strategisnya politik, maka harus ditangani secara serius, terfokus, optimal, dan tidak sambilan. Dalam pertimbangan yang ideal dan praktis seperti itulah hendaknya Khittah dan kebijakan-kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang ketentuan larangan rangkap jabatan politik harus dipahami, diletakkan, dan dilaksanakan oleh seluruh anggota Persyarikatan.

Bagaimana dengan sebagian lini organisasi atau amal usaha yang banyak terlibat dalam pencalonan dan rangkap jabatan di partai politik? Masalah ini jangan dilihat dari hilir, tetapi dari hulu. Kenapa perang-kapan jabatan tersebut dibiarkan makin meluas dan tidak dibatasi sejak awal. Jika organisasi Muhammadiyah dengan seluruh lininya termasuk organisasi otonom, tidak membatasi diri dan membiarkan rangkap jabatan itu berkembang maka akan terus meluas. Memang, setiap keputusan apalagi hasil manusia tidak diposisikan mutlak dan selalu ada rukhsah atau keringanan tertentu, tetapi harus dimulai dari penerapan kebijakan secara umum dan jangan diawali dari keringanan. Apalah bedanya organisasi kemasyarakatan dengan partai politik manakala tidak ada pembatasan. Manakala perangkapan jabatan politik dan organisasi telah meluas, maka dengan otomatis akan keberatan atau menolak setiap kebijakan yang membatasi atau melarang perangkapan.

Jika berpikir luas dan dari sudut pandang Muhammadiyah maupun kiprah politik, sebenarnya penerapan larangan rangkap jabatan politik itu dapat lebih meringankan bagi Muhammadiyah maupun partai politik dan para politisi sendiri. Masing-masing dapat bekerja terfokus dan optimal di tempatnya sesuai hukum pembagian kerja. Jika diterapkan bagi yang telanjur meluas perangkapan jabatan, memang dalam waktu tertentu akan terdapat kekurangan kader atau kevakuman, tetapi jika dilakukan recovery yang baik maka tidak ada yang terlalu sulit. Tetapi, manakala segalanya telah dimulai dari mempersulit atau menahan urusan, maka hal yang mudah pun akan menjadi sulit. Semuanya berpulang pada niat, komitmen, dan kesungguhan setiap anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah untuk bergerak dalam jalur yang proporsional baik di jalur politik maupun jalur gerakan Muhammadiyah.
Muhammadiyah itu merupakan aset umat dan bangsa yang telah mapan. Tidak bisa dipertaruhkan dengan kepentingan-kepentingan politik jangka pendek dan perorangan. Jika berpikir jernih, penerapan larangan rangkap jabatan itu dapat membesarkan Muhammadiyah sekaligus kerja-kerja politik para kadernya.

Tetapi sekali dibiarkan meluas, maka akan terjadi kerusakan sistem dalam Muhammadiyah. Jangan seperti peringatan Allah dalam Al-Qur’an, sekelompok orang yang mengurai kembali tenunan yang sudah dipintal, akhirnya bangunan keseluruhan menjadi cerai-berai dan berantakan. Pak Amien Rais sering mengingatkan secara bijak dan faktual, bahwa politik dan partai politik itu “up and down”, tetapi Muhammadiyah harus tetap jaya sepanjang masa. •


MEMAHAMI DAN MELAKSANAKAN KETENTUAN LARANGAN RANGKAP JABATAN POLITIK DI MUHAMMADIYAH (1)


DR. H Haedar Nashir, M.Si

Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 kembali mengeluarkan kebijakan larangan rangkap jabatan politik. Maksudnya larangan rangkap jabatan antara jabatan politik dengan jabatan tertentu di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 160/KEP/I.0/B/2008 tentang Ketentuan Penca-lonan Anggoa DPR/DPRD dan DPD Dari Lingkung-an Persyarikatan Mu-ham-madiyah. Kebi-jakan ter-sebut se-be-nar-nya merupakan kelanjutan atau rangkaian dengan keputusan sebe-lum–nya yakni Kepu-tus-an PP Muham-madiyah no-mor 149/2006 tentang Kon-solidasi Pimpinan Persyarikatan dan Amal Usaha Muham-ma-diyah; Keputu-san nomor 101/2008 tentang La-rangan Rangkap Jabatan, dan keputusan-ke-pu-tusan lainnya yang sena-pas. Semuanya me-rupakan penjabaran dari khittah dan kelan-jut-an atau penyempurnaan dari kepu-tusan-keputusan larangan rangkap jabatan politik dan organisasi sejenis yang berlaku dalam Mu-hammadiyah selama ini, Kecuali yang me-nyangkut penca-lonan anggota Dewan Perwa-kilan Dae-rah (DPD), sebenarnya kandungan isi kebijakan tersebut bukanlah hal baru.

Sebagaimana keputusan-kepu-tus-an sebe-lum-nya, Keputusan PP Muham-ma-diyah no-mor 160/2008 dila-ku-kan mela-lui Rapat Pleno Pim-pinan Pusat Muham-madiyah. Pleno ter-sebut dilak-sa-nakan di Kantor Yogyakarta pa-da 24 Oktober dan langsung dipimpin Ketua Umum PP Muham-madiyah, yang pem-bahas-an-nya ber-langsung penuh argu-men-tasi, dia-logis, dan jauh dari ngotot-ngototan. Setelah hal-hal yang tidak disepakati disisihkan, pleno akhirnya memu-tuskan apa yang di kemudian hari berupa Surat Keputusan nomor 160/2008. Keputusan tersebut bukan pikiran atau sikap perorangan dan tidak ada anggota PP Mu-hammadiyah yang tidak setuju dalam rapat itu, sehingga hasil-nya merupakan kepu-tusan kolektif, resmi, dan bersifat keputusan orga-ni-sasi. Dalam proses pembahasan bah-kan kalimat-kalimat pokok ditulis di pa-pan tulis sidang, sehingga benar-benar berdasar pada musyawarah yang me-nga-lir secara wajar sebagaimana lazim dalam mu-sya-warah atau rapat Muham-madiyah.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah sama sekali tidak bertindak sewenang-wenang dan melampaui wewenang yang diberikan Muk-tamar dalam menentukan kebijakan-kebijakannya, termasuk soal larangan rang-kap jabatan politik. Kenapa demikian? Per-tama, bahwa Pimpinan Pusat adalah pimpin-an tertinggi yang memimpin Muham-madiyah secara keseluruhan dan Pimpi-nan Pusat ter-diri atas sekurang-kurang-nya tiga belas orang, dipilih dan dite-tap-kan oleh Muktamar un-tuk satu masa jabatan dari calon-calon yang diusul-kan oleh Tanwir (Bab VI, pasal 11, ayat 1 dan 2); sehingga ke-13 anggota PP Muhammadiyah itu bertindak untuk dan atas nama organisa-si Muham-ma-diyah. Ke-dua, Pimpinan Pusat bertugas (a) Menetap-kan kebijak-an Muham-madiyah berdasarkan ke-putu-san Muktamar dan Tanwir, serta me-mim-pin dan mengendalikan pelaksa-naan-nya; (b) Membuat pedoman kerja dan pem-ba-gian wewenang bagi para anggo-tanya; (c) Mem-bimbing dan meningkat-kan amal usaha serta kegiatan Wilayah; dan (d) Membina, mem-bim-bing, meng-in–te-grasikan, dan mengoordi-nasikan kegia-tan Unsur Pembantu Pimpinan dan Organisasi Oto-nom tingkat Pusat (ART pasal 9, ayat 1). Karena itu meru-pakan we-wenang, tang-gungjawab, dan tu-gas Pimpinan Pusat untuk menen-tukan ke-bijakan-kebijakan penting organi-sasi yang nantinya akan dilapor-kan kepada Tanwir dan Muktamar atas segala kepu-tusan-nya. Jadi, setiap ke-bijakan bukan kepu-tu-san orang-per-orang, yang lapor-an atau pertang-gung-jawaban-nya pun disampaikan kepada Tanwir atau Muk-tamar serta bukan kepa-da perorangan.

Dalam menentukan kebijakan la-rang–an rangkap jabatan politik dengan jabat-an-jabatan di lingkungan organi-sasi Muhammadiyah sebagaimana se-jum-lah Surat Keputusan yang dike-luar-kannya, Pim-pinan Pusat Muham-madiyah berpi-jak pada sejumlah pertim-bangan yang kuat dan organisatoris. Dalam SK PP Mu-hammadiyah Nomor 160/2008 dise-but-kan dua pertim-bangan, yakni: (1) bahwa Muham-ma-diyah adalah Gera-kan Islam, Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Mun-kar dan Tajdid yang beramal dalam segala bi-dang kehi-dupan manusia dan ma-sya-rakat, serta tidak bergerak dalam bidang po-litik praktis; (2) bahwa calon anggota dan ang-gota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)/Dewan Perwa-kilan Daerah (DPD) dituntut untuk memusat-kan per-ha-tian, pikiran, dan tu-gas-nya secara se-rius dan optimal pada tu-gas-tu-gas-nya sebagai anggo-ta legis-latif. Dari pertim-bangan tersebut terkan–dung pertimbangan ideal (umum) dan riil (konkret) atau prak-tis, se-hingga apa yang dipu-tus-kan benar-benar memiliki san-daran yang jelas, serta tidak asal me-mutuskan.

Pertimbangan lain da-pat dikaitkan dengan hal-hal yang sifatnya orga-ni-sa-toris-kon-stitu-sio-nal. Se-suai dengan wewe-nang, tanggung- jawab, dan tu-gas yang dimiliki seba-gai-mana dise-butkan dalam AD/ART; Pimpinan Pusat Mu-hammadiyah mengam-bil kebi-ja-k-an ber-dasarkan berba-gai kepu-tus-an Tanwir dan Mukta-mar serta apa yang selama ini telah menjadi kebija-kan orga-nisasi yang ber-langsung lama. Pertama, berdasarkan pada Khit-tah Muham-ma-diyah. Kedua, da-lam ART terbaru dinya-ta-kan bahwa di an-tasa sya-rat Anggota Pimpinan Mu-ham-madiyah ialah “Tidak merangkap ja-batan dengan pimpinan organisasi po-litik dan pim-pinan organi-sasi yang amal usaha-nya sama dengan Muham-madiyah di semua tingkat” (ART pasal 1, huruf h.). Ketiga, berbagai Surat Keputusan Pimpi-nan Pusat Muham-ma-diyah sebe-lum ini, ter-ma-suk nomor 20/2005, dan pada periode-periode se-te-lah Muktamar tahun 1971 di Ujung Pan-dang dan tahun 1978 di Sura-baya, yang mem-berlakukan larang-an rangkap ja-batan po-litik. Keem-pat, Muk-tamar Mu-ham–ma-di-yah ke-45 di Malang tahun 2005 yang se-cara tegas menyata-kan “Menolak upaya -upaya un-tuk men-dirikan parpol yang memakai atau meng-gunakan nama atau simbol-simbol Per-sya-ri–katan Muham-madiyah” (Ke-pu-tus-an Umum point VI). BER-SAMBUNG